Pemimpin vs Penguasa
Pemimpin
vs Penguasa
Pemimpin vs Penguasa
merupakan dua kata yang selalu menyatu tetapi memiliki makna yang berbeda. Jika
seseorang dikatakan pemimpin, berarti ia mampu memberikan teladan maupun
menjadi pelindung bagi orang yang dipimpinnya. Sebaliknya, jika dikatakan
pemimpin tetapi tidak mampu memberikan teladan maupun menjadi pelindung bagi
orang yang dipimpinnya, berarti ia adalah “penguasa”. Penguasa adalah orang
yang selalu mengedepankan kepentingan pribadi atau kelompok dan mengabaikan
kepentingan orang lain. Jika hal ini terjadi, maka sangat ironis sekali wajah
pemimpin kita baik tingkat nasional maupun lokal. Sebab, sejujurnya, setiap
orang pasti menginginkan seorang pemimpin yang ideal. Pemimpin yang dapat
memberikan kenyamanan, ketentraman, kesejateraan,dll. Namun, apa yang terjadi,
jika orang yang dipilihnya bukanlah orang yang tepat. Maka sampai kapan pun
keinginan yang mulia itu tidak akan pernah tercapai.
Mungkinkah demikian,
realita kepemimpinan kita dewasa ini? Terkadang kita menjadi sangat sulit untuk
membedakan antara pemimpin dan penguasa. Terkhususnya, menjelang pemilihan
kepala daerah maupun kepala Negara. Setiap orang yang dicalonkan dan
mencalonkan diri mulai menunjukkan “taring”.
Berbagai hal mulai dimunculkan dan diperlihatkan dari hal yang umum
sampai kepada hal yang sifatnya privasi. Dengan cara begini, mulai menarik
simpati masyarakat agar dapat menentukan idolanya dari setiap figur yang telah
dipublikasikan. Tidak bisa dipungkiri bahwa setiap “figur” yang kita idolakan
sungguh sangat romantis ketika menunjukkan cintanya kepada sesama yang “kurang
beruntung”. Keromantisannya membuat masyarakat menjadi terlena sehingga tidak
mampu untuk melihat, merasakan bahkan membedakan mana tipe “pemimpin” dan tipe
“penguasa”.
Bisa saja seorang penguasa bertopeng pemimpin.
Simbol seorang pemimpin hanya dipakai sebagai topeng sebelum pemilu dan setelah
pemilu. Pacsa pemilu topeng itu perlahan-lahan menjadi susut bahkan menjadi
hilang. Munculah wajah baru yaitu penguasa. Pertanyaan, mengapa situasi ini
bisa terjadi? Padahal jika mau dirujuk, realitas Negara kita berada pada empat
pilar, yaitu; Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika. Munginkah keempat pilar ini hanya sebatas
tataran konsep atau teori yang dikonsumsi oleh sebagian orang? Konsep terhadap
keempat pilar hanya bisa diketahui tetapi tidak dapat diaplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari, teristimewa dalam cara berdemokrasi. Wajah demokrasi
kita menjadi sangat lemah, mudah dimanupulasi, ditunggani, bahkan mudah
diobrak-abrik semaunya kita, selagi itu masih menguntungkan. Secara sadar wajah
demokrasi telah mengalami pergeseran, sebab sejatinya demokrasi lahir dari
kekuatan rakyat.
Sebagai orang-orang
yang memiliki kesadaran demokrasi, khususnya bagi kalangan politikus ada
UU/Perda tentang sikap demokratis tetapi ini sama sekali tidak dihiraukan. Hal
yang lebih diutamakan adalah sikap politik transaksional, perimbangan,
primordialisme (kesukuan dan keagamaan). Mungkinkan ketiga hal ini menjadi
wajah politik atau kekuatan politik kita dewasa ini.
Politik
Transaksional
Sikap politik
transaksional menjadi lahan subur bagi setiap “figur pemimpin” yang berada di
tingkat nasional maupun lokal. Setiap orang yang mencalonkan diri sebagai
kepala daerah maupun Negara mulai berinteraksi dan bereaksi. Ada yang bertindak
sebagai penjual dan yang lain bertindak sebagai pembeli. Baik sebagai “pembeli”
maupun “penjual”, keduanya memiliki hubungan ketergantungan atau timbal balik.
Media yang dipakai
untuk melakukan transaksional berupa kekuasaan atau jabatan, uang maupun berupa
benda-benda lain. Menariknya, uang dan kekuasaan menjadi simbol kekuatan,
ibarat taring hewan yang menjulur keluar. “Taring” yang menunjukkan kemampuan
untuk mengigit dan memangsa. Sama hal-nya dengan uang dan kekuasaan. Siapa yang
memiliki uang yang banyak, dia-lah yang berkuasa. Sebaliknya, siapa yang
berkuasa dia akan memiliki banyak uang.
Uang dan kekuasaan
tidak lagi dilhat sebagai media untuk melayani dan menolong sesama yang menderita
atau kurang beruntung. Tetapi sebaliknya dengan uang dan kekuasaan kita dapat
menguasai dan memperalat orang lain.
Politik
Perimbangan
Sikap perimbangan yang
kerap kali terjadi dalam dinamika politik hanya berorientasi pada kepuasaan
partai. Setiap partai akan sangat berbangga jika setiap kader yang diusung
mampu mengusai setiap kebijakan publik. Maka, tidak bisa dipungkiri bahwa
penerapan terhadap kebijakan partai menjadi lebih kuat ketimbang kesejateraan
rakyat. Pada taraf inilah setiap orang akan berusaha untuk mempertahankan
kekuasaan partai atau kelompoknya. Padahal mau dikatakan sikap perimbangan
sangat penting untuk menghindari dominasi salah satu kelompok.
Politik Primordialisme
Sikap primordialisme
dalam berpolitik memasuki dua sentral sosial dalam masyarakat, yaitu budaya dan
agama. Ketika seseorang menentukan sikap politiknya selalu dikait-kaitkan
dengan status atau identitas sosialnya. Tentunya, orang akan bertanya; dari
mana dia berasal, siapa orang tua, kakek/nenek, satu garis keturunan dapat
dibahas tuntas, begitu pula dengan agama yang dianut. Kesadaran primordial, pada
dasarnya adalah sesuatu yang baik. Namun, yang sangat berbahaya adalah ketika
kesadaran itu muncul tidak dibarengi kualitas. politik identitas dan lokalitas akan semakin meningkat dalam
kampanye-kampanye yang otomatis berbau SARA nantinya.
Ketiga sikap politik
yang telah diuraikan di atas menjadi senjata ampuh bagi setiap orang yang akan
bertarung dalam panggung politik. Rupanya, sikap politik transaksional, perimbangan
dan primordialisme menjadi media yang sangat strategis dan paling dibutuhkan
oleh setiap orang yang sangat mengejar “prestise”. Hal ini merupakan gaya hidup
yang sangat mengiurkan di era modern. Tentunya menjadi kebanggaan tersendiri,
jika ada orang yang mencalonkan diri dan dicalonkan dapat mewakili suku, agama
dan kelompok partai tertentu. Rasa bangga yang muncul adalah sesuatu yang
wajar-wajar saja. Namun, tidaklah berarti elektabiltas dan kualitas seorang
figur dikesampingkan atau diabaikan.
Elektabiltas dan
kualitas seorang figur dapat dilihat dan diukur melalui kinerja yang dilakukan
sesuai bidang keahliannya. Penilaian terhadap kinerja seorang figur secara
objektif dapat dilakukan dengan melihat pada “rekam jejak” perjalanan
kariernya. Pertanyaannya, apakah setiap figur bakal calon pemimpin daerah
memiliki rekam jejak kariernya dan bersedia untuk memperlihatkannya pada saat
kampaye?
Sebab memperlihatkan
rekam jejak seorang bakal calon pemimpin daerah merupakan hal sederhana.
Mungkin butuh jiwa yang besar atau jiwa seorang patriot. Sebab memperlihatkan
sisi baik dan buruk seorang figur bakal calon pemimpin daerah yang
diangung-agungkan oleh kelompok tertentu bukanlah hal yang mudah. Intinya
tindakan ini dilakukan untuk menghindari, yang namanya “kampanye hitam” yang
hanya menguntungkan kelompok tertentu. Kelompok yang mengatas-namakan, agama,
suku, ras maupun golongan. Lebih parahnya lagi berjuang demi kesejateraan
rakyat.
Secara sederhana, rekam
jejak seorang figur bakal calon pemimpin daerah dapat dibuat dalam bentuk video
atau film pendek. Tentunya memiliki nilai jual tersendiri. Tidak bisa
dibayangkan dan dilukiskan bagaimana rasanya, jika semua figur bakal calon
pemimpin daerah bersedia untuk membuat rekam jejak perjalanan kariernya dalam
bentuk film pendek. Film itu kemudian diputar pada saat kampanye. Dengan
demikian, cara berdemokrasi kita menjadi sangat terbuka bahkan dapat
memperkecil isu-isu yang dapat menyesesatkan rakyat dalam menentukan hak
demokrasinya.
Komentar
Posting Komentar