TAMPA KAKI
TAMPA KAKI
Pagi
ini cuaca kurang begitu cerah, sedikit berawan ditambah lagi dengan hujan
geremis. Kendati demikian, pikiranku sama sekali tidak terganggu dengan cuaca
yang begitu berawan. Rupanya, aku digelisakan oleh pemandangan pantai yang
begitu indah, desiran ombak yang begitu mengoda. Maklum aku adalah orang baru
ditempat ini sudah pasti rasa penasaran pun mulai datang menghampiriku.
Kebetulan
jarak antara rumah tempat aku nginap dengan pantai sangat dekat. Aku mulai menetapkan
langkah demi langkah menuju pantai. Aku berjalan mengikuti jalan setapak dari
arah rumah menuju pantai.
Sesampainya
diujung jalan ada tangga turun, seperti jalan bertingkat. Pada bagian ujung
jalan yang bertingkat-tingkat itu terletak sebuah batu karang yang sangat indah
di atas batu karang tumbuh sebuah pohon. Daunnya sangat hijau dan rimbun, indah
sekali pohon itu.
Saat
aku duduk di atas batu tersebut, seolah-olah mataku dimanjakan dengan keindahan
pantai yang begitu mempesona. Pasir
pantai yang putih dan air laut yang begitu bersih. Seakan tempat itu jauh dari
polusi udara yang biasanya aku rasakan saat berada di kota.
Setelah
aku merasa puas dengan melihat pemandangan laut yang begitu indah. Aku mulai
memberanikan diri untuk mendekati sekolompok bapak-bapak yang sedang asyik
bersenda-gurau di sebelah pantai. Aku mulai menyapa mereka... selamat pagi bapak-bapak!
Mereka pun serempak menyahutku; ia Nona...selamat pagi juga!
Cerita
kami mulai berlanjut, tanpa basa-basi bapak-bapak tersebut mulai bercerita
tentang sejarah dari tempat aku duduk tadi. Kata seorang bapak, batu itu
memiliki nilai sejarah yang sangat tinggi. Konon, sejarah patah siwa – patah lima, ada seekor kerbau yang disembelih di
tempat tersebut. Pada waktu pembagian masyarakat di sini mendapat gigi kerbau.
Makna pemberian gigi diartikan sebagai orang yang selalu berbicara. Orang
setempat menyebut batu tersebut “Wat Wing”.
Wat artinya batudan Wing artinya gigi.
Wat-Wing
dipercaya dapat membawa berkat bagi keluarga yang akan menikah. Sehingga setiap
resepsi nikah adat sepasang suami istri harus berjalan melalui tempat itu,
kemudian mandi di laut. Upacara ini dikhususkan bagi wanita yang berasal dari
luar kampung. Upacara ini dilakukan sebagai tandabahwa seorangwanita telah
diterima secara adat di kampung tersebut. Selain itu seorang wanitaakan terhindar
dari hal-hal yang jahat dan para leluhur akan selalu menjaganya.
Batu
menjadi simbol kekuatan dan melindungi, jadi seorang istri diharapkan dapat
menjaga keutuhan keluarganya. Begitulah cerita yang dituturkan oleh bapak-bapak
tersebut. Aku hanya bisa tersenyum mendengar cerita mereka. Tiba-tiba seorang
bapak bertanya padaku; Non... mengapa tadi duduk di situ? Aku duduk saja, aku
tertarik sekali dengan pemandangan di sini; jawabku. Memangnya kenapa, kalau
duduk di situ? Aku kembali bertanya.
Batu
itu tidak bisa duduki oleh sembarang orang, apalagi wanita dari luar; pinta
seorang bapak. Aku semakin dibingungkan dengan mendengar ucapan bapak tersebut.
Bapak itu melanjutkan pembicaraan; kalau Nona duduk di situ berarti nona harus
kawin di sini.
Mendengar
penjelasan tersebut, aku terkejut bagaikan di sambar petir. Aku mulai
bertanya-tanya dalam hatiku; mungkinkah yang disampaikan oleh bapak tersebut
benar atau hanya sekedar bercanda? Tanpa berpikir panjang, aku berpamitan dari
bapak-bapak tersebut dan aku kembali ke rumah.
Sesampainya
di rumah aku bertemu dengan seorang ibu yang sedang menyiapkan sarapan pagi. Ibu
Oke namanya. Aku mulai bercerita tentang apa yang baru saja aku alami.Bu... apa
benar kalau orang baru duduk di tempat itu nanti kawinnya di sini? Ujarku sambil
menunjuk ke arah pantai.
Ibu
Oke tersenyum simpul sambil menatapku, iapun bertanya; Non... dengarnya dari
siapa? Aku dengarnya dari seorang bapak yang sedang asyik bersenda-gurau, saat
aku duduk di pantai; jawabku. Lalu di mana bapak itu? Ibu Oke kembali bertanya.
Bapak itu masih berada di pantai bersama teman-temannya; ujarku.
Rupanya,
ibu Oke penasaran juga dengan bapak tersebut. Ia mulai berhenti sejenak dan
menoleh ke arah pantai. Perlahan-lahan matanya mulai tertuju kearah bapak-bapak
tersebut. Oh.... itu namanya bapak Etus; cetus ibu Oke. Aku kembali bertanya;
jadi benar ya, apa yang disampaikan bapak Etus? Iya Non... apa yang disampaikan
benar.
Waduh...
mati deh aku, kalau sampai aku benaran kawin di sini. Ini tidak mungkin, mimpi
apa aku semalam? Sampai aku bangun pagi langsung bergegas ke tempat itu; ujarku
dalam hati. Aku mencoba untuk meyakinkan diriku; Ah... aku tidak percaya, mana
mungkin orang hanya duduk di batu itu langsung kawinnya di sini? Non... Non tidak
langsung kawinnya di sini, tapi percaya atau tidak jodoh Non nanti berasal dari
sini; ujar ibu Oke.
Ia
melanjutkan pembicaraannya, kalau Non tidak menemukan di sini berarti
setelahNon kembali ke kota, pasti Non akan berjumpa dengan orang di kampung ini
yang telah lama merantau ke kota.
Mendengar
penjelasan ibu Oke, aku terdiam. Aku tidak bisa berkata-kata lagi. Pikiranku
mulai melayang-layang. Semua ini gara-gara tindakanku yang suka penasaran
dengan hal-hal yang baru. Aku tidak bertanya sebelumnya, ketika aku melangkah
ke tempat tersebut. Aku berharap semuanya dapat berlalu dengan berjalannya
waktu. Ini adalah pengalaman pertamaku, yang tak pernah aku bayangkan
sebelumnya, pintaku dalam hati.
Tanpa
terasa dua hari telah berlalu, keesokkan harinya aku harus bersiap-siap untuk
kembali ke kota. Saat aku berpamitan, ibu Oke kembali mengingatkanku;
Non...jangan lupa ya sama tampa kaki!
Aku tertawa tersipu malu; iya...bu akan selalu kuingat, semoga kita dapat
berjumpa kembali di lain waktu, pintaku.
Begitulah
keadaan yang aku alami, saat berada di tempat yang baru. Tempat yang sama
sekali aku tidak tahu seluk-beluk sejarahnya. Tidak tahu tentang tempat-tempat
yang dianggap pantangan bagi warga setempat. Bagiku, tempat-tempat yang
dianggap pantangan merupakan hal-hal yang biasa-biasa saja. Beda halnya dengan
orang-orang setempat yang sudah menganggapnya sebagai kepercayaan
turun-temurun.
Komentar
Posting Komentar