Isi Dompetku Kosong


Isi Dompetku Kosong
Aku menatap lembaran-lembaran kertas putih yang dilumuri tinta hitam, perlahan-lahan kata demi kata pun mulai terlihat jelas. Aku menarik nafas yang dalam, hmmm...ternyata itu adalah jadwal kuliahku. Malam itu aku mulai menyiapkan semua perlengkapan kuliah. Setelah membereskan semua perlengkapan kuliah aku mulai beristirahat.
Kukuruyu.... kukuruyu.... begitulah suara ayam berkokok tandanya hari sudah mulai pagi.

Pagi itu aku hampir saja putus asa, isi dompetku kosong sama sekali dan tidak ada sepeser rupiah pun. Pikirku dalam hati apa yang harus dilakukan agar aku dapat mengikuti kuliah di hari ini?
Aku hanya bisa terdiam dan pasrah kepada keadaan dan sambil berharap ada orang yang dapat membantuku dan mengerti keadaanku. Ternyata pikiranku hanya imajinasi belaka. Se-jam telah berlalu dan waktu terus berputar mendekati jam perkulihanku. Pikiranku semakin kacau, gumanku dalam hati; aku tak ingin menyia-nyiakan waktu kuliahku sedikit pun apalagi sampai tidak hadir. Hati kecilku mulai tergerak, aku tidak bisa terus-menerus ada pada keadaan seperti ini. Aku tidak bisa hanya duduk dan berharap. Aku harus melakukan sesuatu, jangan ada kata menyerah, gumanku dalam hati. Sejenak terdiam, aku pun mulai berbesar hati dengan berjalan kaki menuju kampus.  
Jarak kampus dengan tempat tinggalku kurang lebih 3 km. Jarak tempuh yang juga menguras tenaga dan waktu. Keberangkatanku menuju kampus pada pukul 05.30 dan perkulihan akan dimulai pada pukul 06.30 – 08.30.
Setiap hentakan kakiku, aku selalu bertanya dalam hati, haruskah di hari ini aku terlambat mengikuti perkuliahan? Pikiranku semakin dikacaukan oleh pertanyaan-pertanyaan yang hampir saja membuatku putus asa.  
 Ketakutanku tidak bisa di bendung lagi, saat aku tidak mengingat jalan menuju kampus dengan baik. Aku hanya bisa mengandalkan kekuatan hatiku untuk membelokkan kaki ketika mendapatkan jalan yang banyak jalurnya. Tanpa aku sadari, aku sedang berjalan menuju sebuah pelabuhan kecil tempat berlabuhnya kapal perintis.
Waduh, di mana ini? Kok aku bisa sampai di sini? Pikirku dalam hati. Dari arah ke pelabuhan aku melihat seorang laki-laki yang sedang duduk. Aku mencoba untuk mendekatinya. 
Selamat pagi Pak; ujarku, laki-laki itu pun menjawabku: iya selamat pagi juga nak, ada apa? Ada yang bisa bapak bantu? Tanpa ragu-ragu akupun menjawab; sebenarnya begini pak, aku mau pergi ke kampus. Namun, aku tidak ingat jalannya hingga aku berjalan ke arah sini. Dengan penjelasanku itu, sang bapak mulai menerangkan arah jalan menuju ke kampus kepadaku; nak ikuti saja jalan ini, nanti ke depan sedikit barulah belok ke kiri. Mendengar penjelasannya, aku pun merasa sedikit lega.
 Aku mulai meneruskan perjalanan lagi, sambil mengikuti penjelasan yang disampaikan oleh bapak tadi. Hmmmm...belum juga sampai kira-kira masih berapa Km lagi yang harus aku tempuh, ujarku dalam hati. 
Langkahku semakin dipercepat, aku kembali diperhadapkan dengan jalan buntuh. Hampir saja aku berjalan menuju pantai untuk kedua kalinya. Sambil kebingungan, terdengar suara; srek...srek...srek... aku berusaha untuk mencari arah datangnya bunyi tersebut dengan menengok ke kiri dan ke kanan, ternyata bunyi itu datangnya dari arah sebelah kanan.
Perlahan-lahan aku mengarahkan pandanganku terhadap seorang nenek yang sedang membersihkan halaman rumahnya. Aku berusaha mendekati dan menyapanya; selamat pagi nek, aku mau numpang tanya, kalau jalan menuju kampus lewat mana ya? Nenek itu pun menjawabku: nak, ikuti saja jalan ini nanti ke depan dapat jembatan belok kanan. Sahutku; iya nek, terima kasih!
Aku kembali melanjutkan perjalananku, sinar mentari pagi mulai mengusik tubuhku tandanya hari semakin cerah. Kecemasan datang lagi, mungkinkah dosen telah memberikan kuliah? Ujarku dalam hati. Langkah kakiku semakin dipercepat, aku berjumpa dengan seorang ibu yang baru saja pulang membeli jajan buat anak-anaknya. Permisi bu, numpang tanya; apa benar ini jalan menuju kampus? Jawabnya; iya nak, jalan terus saja kampusnya di depan. Sahutku; iya tante, terima kasih! 
Semangat! Ujarku dalam hati, perlahan-lahan atap kampus semakin terlihat jelas di depan mataku. Sambil menarik nafas yang panjang, ujarku dalam hati; hmm...akhirnya sampai juga di kampus. Cepat-cepat aku menuju ruang kuliah, sesampainya di sana, ternyata dosen belum juga masuk dan teman-temanku baru sekitar lima orang di dalam ruangan. Aku sempat berhenti di depan ruangan dan berkata; syukurlah dosen belum juga masuk, aku pikir sudah terlambat.
Siska,,, kamu kenapa? Sampai bajumu bisa basa kuyup seperti itu, kata Rani. Begini Ran, hari aku datang di kampus dengan berjalan kaki, aku tidak memiliki uang sama sekali, aku memang tinggal dengan keluarga dari mamaku. Namun,aku malu untuk meminta uang pada mereka, akhirnya aku memutuskan untuk berjalan kaki. Dengan nada yang sedikit terharu, Rani pun berkata; Sis,, aku bangga memiliki sahabat sepertimu, kamu memang pejuang yang sejati, sampai-sampai kamu rela berjalan kaki untuk dapat mengikuti kuliah. Akupun memegang pundaknya dan berkata; Ran, terima kasih ya! Atas pujiannya dan kepedulianmu terhadap dengan keadaanku. Senyum manis tergambar di wajahnya; kamu kan sahabatku, ujarnya.





 

Komentar

Postingan Populer