Uang vs Pengorbanan
Beberapa hari yang lalu saya mengikuti Sidang Jemaat di salah satu gereja, ada hal yang menurut saya menarik ketika dilakukan pleno komisi. Hal tersebut adalah Komisi Program memutuskan untuk menaikan insentif pengasuh (guru Sekolah Minggu) dari Rp.30.000 menjadi Rp.35.000. Keputusan ini kemudian diakomodir oleh Komisi Anggaran. Selang beberapa menit sebelum keputusan ini disetujui oleh forum terjadi perdebatan hangat diantara para peserta sidang. Salah satunya peserta komisi umum. Ada beberapa pertimbangan yang disampaikan, diantaranya dengan meminta dana operasional untuk masing-masing unit. Kemudian, ada yang meminta agar dana stimulan perayaan Hari-hari Besar Gerejawi dari Rp.1.000.000,_ dinaikan menjadi Rp.1.500.000,_ untuk setiap sektor. Bagi saya tidak salahnya jika meminta demikian, kalau dilihat rentang kendali wilayah pelayanan masing-masing sektor. Tetapi yang menjadi persoalan adalah uang menjadi tujuan utama dalam pelayanan. Artinya, ketika seseorang melakukan pelayanan khususnya di gereja, ia akan menuntut haknya. Ia mulai mempertimbangkan untung ruginya. Orang tidak lagi memikirkan hakekat pelayanan. Berpikir tentang panggilan hidup yang harus dijalani sebagai orang-orang yang mengaku percaya kepada Allah Sang Pemberi Hidup.
Cara berpikir seperti ini tentu menjadi salah satu tantangan terbesar dalam kehidupan bergereja sekarang ini. Nilai sebuah pengorbanan tidak ada artinya ketika uang menjadi raja bagi manusia.
Hal ini juga yang Yesus katakan di dalam Matius 6:24 tentang "Hal Mengumpulkan Harta". Bilamana, seseorang tidak dapat mengabdi kepada dua tuan antara Allah dan Mamon.
Tulisan ini hanya sebagai bahan refleksi, untuk kita dapat merenungkan kembali cara bergereja sekarang ini. Di mana-mana uang menjadi perdebatan yg sangat menegangkan. Bahkan gereja sebagai lembaga moral juga mengalami hal yang sama.
Komentar
Posting Komentar