Mengorganisir Ibarat Membangun Rumah Bersama
Layaknya sebuah proses
pembangunan rumah mulai dari tahapan perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan
tindak-lanjut tidak bisa dilepas-pisahkan dengan peranan orang-orang sekitar,
baik dalam keluarga inti maupun keluarga besar bahkan masyarakat pun turut
mengambil bagian. Hal serupa juga dirasakan dalam proses mengorganisir rakyat baik
pada tingkat lokal, nasional maupun regional dan internasional. Maksudnya
adalah mengorganisir tidak semata-mata hanya berbicara tentang individu yang
memiliki kapasitas dalam memimpin organisasi, misalnya ketua organisasi atau
orang yang memikul tanggungjawab sebagai sang organizer melainkan berkaitan juga
dengan kebutuhan setiap individu yang turut mengambil bagian dalam organisasi
tersebut. Ketika kebutuhan masing-masing individu itu terpenuhi, maka secara
tidak langsung orang akan mendapatkan manfaat dari organisasi yang dibentuk.
Namun, pada kenyataannya
paradigma mengorganisir rakyat seringkali mengalami pergeseran. Bagi sebagian
orang mengorganisir rakyat hanyalah
untuk memperebutkan kekuasaan dan mempertontonkan kekuasaan yang telah
dimiliki. Sebagiannya lagi hanya ikut terlibat dalam organisasi tersebut tanpa
harus mengetahui latar belakang dan tujuan beroganisasi atau tujuan
mengorganisir rakyat. Hal ini yang membuat, terkadang proses mengorganisir
rakyat itu menjadi kehilangan makna. Apalagi organisasi masyarakat yang hanya
menempelkan sisi kemanusiaan sebagai objek yang paling ampuh. Misalnya, ada
sebagian orang atau kelompok tertentu yang berteriak-teriak memperjuangkan
hak-hak masyarakat sipil. Padahal ujung-ujungnya terjadi penyelewengan. Hak-hak
masyarakat sipil hanya dijadikan objek untuk memuaskan nafsu.
Realita ini menjadi
fenomena yang kerap kali terjadi di lingkungan sekitar. Suka tidak suka
fenomena ini tidak bisa dihindari. Bahkan tidak menutup kemungkinan muncul
sikap yang apatis terhadap setiap organisasi yang terbentuk dalam masyarakat.
Atau sebaliknya dapat terjadi perlawanan antara kelompok yang pro terhadap
kepentingan rakyat maupun kontra. Kondisi ini menjadi sebuah dorongan untuk
mempelajari tentang langkah-langkah mengorganisir rakyat secara baik dan benar.
Memahami Proses Pengorganisasian Masyarakat Sipil
Pada buku Tan, Jo Hann
dan Roem Topatimasang tentang mengorganisir rakyat yang berisi refleksi
pengalaman pengorganisasian rakyat di Asia Tenggara. Ada beberapa hal menarik yang
dikisahkan dalam buku tersebut, diantaranya menjadi seorang pengorganisir
rakyat bukanlah hal yang mudah seperti membalik telapak tangan tetapi
membutuhkan waktu yang panjang bahkan bertahun-tahun. Menjadi seorang
pengorganisir rakyat bukanlah menjadi orang yang selalu tampil di depan dan
menunjukkan kecakapannya bagi rakyat yang diorganisir. Sehingga rakyat menjadi
tergantung pada sosok sang pengorganisir melainkan menjadi seorang
pengorganisir rakyat berarti siap menfasilitasi setiap kebutuhan rakyat.
Membantu rakyat untuk melihat dan menemukan kebutuhan mereka dan mereka
sendirilah yang menentukan sikap terhadap realita yang terjadi dalam kehidupan
sekitar. Selain itu menjadi seorang pengorganisir rakyat berarti siap berkorban
dari berbagai aspek, misalnya tenaga, materi, jabatan, keluarga bahkan nyawa
menjadi taruhan.
Perjalanan hidup seorang
pengorganisir rakyat juga terlihat dalam kisah Ibu Aleta Baun ketika melakukan
gerakan penyelamatan hutan adat di Timor. Kisah perjuangannya dimulai ketika
pemerintah mengeluarkan izin penambangan bagi perusahaan pada tahun 1994.
Upayanya menyelamatkan lingkungan ternyata mendapat perlawanan keras dari
pihak-pihak yang tidak setuju dengan tindakannya. Bahkan ia nyaris dibunuh
tetapi sama sekali tidak menghentikan langkahnya untuk terus berjuang hingga
akhirnya membuahkan hasil, yaitu pada
tahun 2005 pihak tambang menarik diri dari Mollo, Kabupaten Timor Tengah
Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Memahami Cara Pengorganisasian Yesus
Pada buku, Yesus Sang
Organiser penulis menampilkan beberapa hal yang dilakukan Yesus ketika
melakukan pengorganisasian. Misalnya, Yesus memulai dengan penanaman nilai
diantaranya keprihatinan terhadap rakyat, tidak mementingkan diri sendiri dan
melayani orang lain. Sebab tujuan Yesus melakukan pengorganisasian adalah
memberitakan Injil dan Pemerintahan Allah. Sehingga proses pengorganisasian itu
tidaklah berorientasi pada status atau posisi melainkan lebih menekankan
kemampuan melaksanakan peran-peran pelayanan dan memampukan orang lain.
Cara Yesus mengorganisir
adalah tidak hanya mengumpulkan orang-orang percaya tetapi juga mengumpulkan
orang-orang yang kontraversi. Orang-orang
yang diorganisir Yesus sangatlah beragam, seperti orang-orang yang
mengantungkan diri sebagai nelayan, orang yang dikenal memiliki integritas dan
karakter, orang yang pandai mengatur keuangan, orang yang terlibat dalam partai
politik yang radikal atau revolusioner, orang yang terlibat dalam gerakan
pemberontakan maupun orang yang dikenal keras kepala dan pemarah. Karakter
orang-orang ini sangatlah kontradiksi baik secara pribadi maupun kolektif. Namun, Yesus
mampu mengelola konflik tersebut dan memberikan peluang bagi murid-murid agar
potensi-potensi mereka terungkap dan kemampuan ditemukan.
Disisi lain, dari
kelompok orang-orang yang telah dikumpulkan Yesus, kemudian dipilih kelompok inti.
Terbentuknya kelompok inti melalui
proses reorientasi dan membentuk kembali pribadi dan karakter pengikutNya.
Yesus memberi kesempatan untuk pelatihan dan menawarkan peluang untuk
berkembang melampaui harapan dan kemampuan mereka. Yesus mempersiapkan para muridNya agar tidak
memiliki ketergantungan dan sandaran terhadap diriNya. Para murid dipersiapkan
untuk melakukan segala sesuatu dengan penuh tanggungjawab tanpa kehadiran
Yesus. Dalam melakukan tugas pelayanan, Yesus menganjurkan para murid untuk membentuk
tim kerja atau kelompok kerja. Hal ini menunjukkan bahwa cara pengorganisasian
Yesus bukan berorientasi pada individu melainkan kelompok.
Hasil pengalaman belajar dari para murid
menjadi hidup dan benar-benar tertanam dalam pikiran dan hati mereka. “Belajar
bukan semata menjadi latihan mental tetapi juga peluang untuk menguji
ketrampilan dan kemampuan serta memikul tanggungjawab.” Pendekatan tim kerja
sebagai upaya untuk melakukan kritik dan menunjukkan bahwa di dalam diri
individu ada kelemahan dan kekuatan. Itu berarti dalam melakukan tugas
pelayanan, khusus pemberitaan injil dan Pemerintahan Allah tidak bisa dilakukan
seorang diri tetapi berkelompok.
Tujuannya adalah menghindari diri dari
penonjolan secara pribadi. Pembentukan kelompok inti/tim kerja semakin sedikit,
semakin besar interaksinya diantara setiap individu dan tidak ada satu pun
terabaikan. Pembetukan kelompok inti inilah yang menjadi dasar pengorganisasian
rakyat dewasa ini. Langkah-langkah yang ditempuh untuk proses perekrutan dimulai
dari identifikasi potensi dan bakat dari masing-masing individu. Untuk mencapai tujuan
dari proses pengorganisasian maka setiap individu perlu memiliki pengetahuan
tentang lingkungan sosial budaya masyarakat setempat. Ada dua cara untuk mengetahui konteks sosial
dan budaya. Pertama, pengetahuan melalui sumber langsung atau
pengenalan langsung dengan tokoh-tokoh injil. Kedua, data sosial yang dikumpulkan Yesus mencakup
aspek-aspek seperti adat-istiadat, praktek dan nilai-nilai rakyat setempat. Ia
memasuki susunan kehidupan komunitas, misalnya pola hubungan dan kekerabatan,
praktek keagamaan dan kebiasaan setempat, sistem dan struktur ekonomi dan
sosial.
Hal lain yang dibutuhkan
juga adalah penguasaan wilayah geografis masyarakat setempat. Terkhususnya bagi
sang pengorganisir yang berasal dari luar daerah yang melakukan pengorganisasia
pada wilayah tertentu. Mengetahui tempat-tempat yang tepat untuk menyampaikan
misi atau mengajar tentang Kerajaan Allah adalah hal yang penting. Pengetahuan
tentang letak geografis suatu tempat mempermudah seorang organizer untuk
melakukan akses dan hasil-hasil mobilitasnya. Tujuannya adalah terhindar dari
pengalaman yang sia-sia demi menghemat waktu dalam melakukan tugas.
Tugas Sang Organizer
Setelah semua proses ini
telah dilewati maka tugas seorang organizer meliputi beberapa hal, yaitu pertama; kepekaannya terhadap kebutuhan
rakyat yang diorganisir. Hal inilah
yang ditunjukkan Yesus tanpa memandang status sosial. Bagi Yesus merespon
rakyat yang membutuhkan uluran tangan merupakan aspek yang sangat sensitif. Keseluruhan dari proses
pengorganisasian mengarah kepada kebutuhan setiap individu berupa penghargaan,
penghormatan dan kasih sayang. Kebutuhan itu meliputi; kebutuhan fisik, kesehatan, kesejahteraan,
etika dan moral ekonomi, sosial dan politik bahkan yang bersifat pribadi. Kedua, mendidik dan
membentuk sebagai cara
menghampiri rakyat baik dalam kelompok yang besar maupun kecil. Metode
pengajarannya bervariasi, kreatif, tidak terikat pada tempat,
waktu maupun alat bahan tetapi menggunakan sumber-sumber yang diketahui,
tersedia dan dikenal maupun muda mendidik atau terdidik.
Cara mengajarnya menggunakan
contoh/perumpamaan yang umum dilakukan masyarakat. Tujuan dari pengajaran Yesus
adalah mendorong yang lain berpartisipasi dalam pemecahan masalah, terlebih
khusus membuka pemikiran rakyat. Hal yang terpenting adalah pendidikan masa
maupun pendidikan popular bertujuan untuk mendukung pengetahuan dan gagasan
yang membebaskan. Karena itu dampak langsung dari proses ini adalah rakyat
turut berpartisipasi dalam proses pengorganisasian. Sehingga informasi tentang
kebutuhan rakyat mendorong perhatian dan partisipasi. Ini merupakan dasar bagi
implementasi dan keterlibatan mereka dalam organisasi dan gerakan.
Ketiga, memberikan
program pelatihan untuk kelompok inti. Belajar dari pengalaman merupakan cara
pelatihan yang
dilakukan Yesus. Ia memberikan kesempatan bagi para murid untuk
belajar terhadap berbagai situasi hidup, misalnya saat Yesus berdebat dengan
para pemimpin agama dan penguasa maupun dalam kegiatan pelayanan penyembuhan.
Adanya proses saling belajar dan pendidikan terjadi melalui hasil interaksi
antara para murid dan rakyat. Bilamana para murid diperhadapkan dengan masalah
dan kondisi hidup yang dialami rakyat dan mendorong mereka untuk membantu
pemecahan masalah.
Respons Pihak Luar Terhadap Proses Pengorganisasian
Belajar dari proses
pengorganisasian yang dilakukan Yesus
bersama para pengikutNya dalam perjumpaan-perjumpaan dengan para penguasa
politik maupun agama ternyata juga mengalami
konflik kepentingan, konfrontasi dan interpretasi yang beragam terhadap
pelayanan yang dilakukan Yesus. Dalam prakteknya, Yesus menentang para penguasa
yang menyalahgunakan kekuasaan. Begitu pula Ia memberikan penafsiran yang baru
terhadap hukum taurat. Karena itu tidak heran jika mereka merencanakan untuk
membunuh Yesus. Penangkapan hingga kematian yang
dialami Yesus membuat beragam reaksi dari para murid. Namun kematian Yesus
bukan membuat organisasi yang dipimpinNya berakhir melainkan mendorong para
murid untuk melanjutkan perjuangan yang telah diprakasai Yesus. Tindakan ini
tentu menuntut komitmen dan cara hidup yang baru serta menjadi tanda-tanda
datangnya Kerajaan Allah.
Tantangan
dan resiko pengorganisasian
Menjadi seorang organizer berarti memasuki
suatu kawasan yang berbahaya atau wilayah bertanda ‘Masuklah dan resiko
ditanggung sendiri.’ Dalam melakukan pengorganisasian tidak ada hal-hal yang
istimewa yang diperoleh seperti kelimpahan harta benda/kekayaan maupun jabatan
melainkan menuntut sebuah komitmen untuk hidup yang tidak menetap dan
meninggalkan sanak saudara dan keluarga. Itu berarti
pengorganisasian bukanlah bidang pekerjaan yang mengiurkan, banyak tuntutan
pelayanan yang dirasakan dan harus dilakukan. Sehingga pekerjaan itupun
memiliki resiko yang sangat besar. Namun tidak memiliki jaminan apapun.
Seringkali dalam melakukan fungsi-fungsi pengorganisasian selalu terjadi
penolakan dari berbagai pihak bahkan mungkin mengancam nyawa atau keselamatan
organizer. Jika resiko seperti ini, mengapa seseorang memberikan dirinya
sebagai organizer? Apakah ada kaitannya dengan idealisme dirinya? Ataukah
pengalaman kehidupan sehari-hari yang menjadi faktor pendorong? Atau respons
terhadap belas kasih, keadilan dan cinta kepada rakyat?
Kesimpulan
a.
Makna Pengorganisasian
Rakyat
Pengorganisasian merupakan sebuah proses
keberlanjutan dan menjadi gerakan rakyat. Pengorganisasian rakyat juga dimaknai sebagai sarana yang menuntut
keterlibatan. Bentuk pengorganisasian yang dilakukan haruslah secara terencana
dan tersistematis. Prinsip-prinsip
dalam melakukan pengorganisasian, yaitu;
-
Memiliki
visi misi yang jelas
-
Memiliki
target dan tujuan yang jelas tentang siapa yang diorganisir
-
Membentuk
kelompok inti yangterdiri dari calon organizer
-
Pahami
konteks sosial budaya maupun lokasi fisik dan geografis
-
Merespon
kebutuhan rakyat dan meyediakan pengalaman belajar bagi masa maupun kelompok
inti
-
Membekali
kelompok inti dengan pengalaman dan pelathan berkesinambungan untuk
meningkatkan kerja pengorganisasian
-
Kelompok
inti akhirnya tersebar menuju wilayah, komunitas dan rakyat yang lain.
b.
Analogi Pengorganisasian
Rakyat
Proses pengorganisasian
rakyat, baik yang dilakukan oleh
orang-orang yang terpanggil menjadi sang organizer maupun yang dilakukan oleh
Yesus bersama para murid sebenarnya memberikan gambaran tentang sebuah proses
yang dibangun bersama. Proses yang dilalui itu diibaratkan sebagai upaya
membangun rumah bersama. Rumah itu dilihat dan dimaknai sebagai tujuan yang ingin
dicapai dari sebuah proses pengorganisasian rakyat. Sedangkan bahan material dan rancangan
bangunannya adalah orang yang diorganisir dan orang yang mengorganisir. Untuk
mendapatkan sebuah rumah yang berdiri kokoh, maka perlu diketahui tata letak
dari rumah tersebut. Sehingga rumah yang dibangun dapat memberikan kenyamanan,
kehangatan dan kebahagiaan bagi setiap individu. Karena itu dalam memahami
proses pengorganisasian dapat dilakukan melalui analogi membangun rumah. Jika demikian,
maka proses pengorganisasian tidak bisa dilakukan hanya oleh satu orang
melainkan membutuhkan kerjasama kelompok yang memainkan peranan masing-masing
sesuai kemampuan.
Komentar
Posting Komentar