Renungan Hosea 4:7-10 Makna Panggilan Seorang Imam

Renungan Hosea 4:7-10
Makna Panggilan Seorang Imam

Berbicara tentang imam tentu memiliki arti yang sama sebagai seorang pemimpin. Imam yang dimaksudkan oleh Alkitab adalah wakil manusia dalam urusan-urusan mengenai Allah. Pertanyaannya, Siapakah yang disebut sebagai imam? Kalau ditinjau dari sejarah penulisan Alkitab, pada zaman tertua di Israel kepala keluarga atau kepala suku adalah imam. Kemudian berkembang lagi imam itu adalah para raja. Sehingga berkembanglah keturunan keluarga imam. Namun, keturunan dari para imam ini tidak diketahui dengan jelas. Maka pada zaman Daud, para imam dari suku Lewi yang melakukan pelayanan di Bait Allah. Sedangkan di dalam Perjanjian Baru, Yesus mengakui kekuasaan Yahudi sebagai imam. Inilah penyebutan imam pada zaman Alkitab. Selanjutnya zaman sesudah Alkitab, para imam itu mulai dikenal sebagai para pemimpin agama, seperti uskup, pendeta, presbiter, penatua dan diaken.
Tanggungjawab seorang imam adalah mengajarkan tentang hal-hal religious dan ibadat. Pada Perjanjian Lama, tanggungjawab seorang imam yaitu melakukan pelayanan kurban, mengatur administrasi pada Bait Allah dan pengawasan. Sedangkan pada Perjanjian Baru, tanggungjawab seorang imam, yaitu sebagai pengawas jemaat, berkhotbah, mengajar dan melayani orang-orang sakit.
Pertanyaan sederhana, yaitu dapatkah seorang imam mampu melaksanakan tanggungjawabnya sesuai dengan penyebutannya sebagai wakil manusia? Pertanyaan seperti ini sangat mengelisahkan, apalagi sebagai seorang imam. Untuk memperoleh sebuah jawaban kita dapat belajar dari teks Hosea 4:7-10. Pada bagian teks ini membicarakan tentang ketidakmampuan para imam dalam menjalankan tanggungjawabnya sesuai dengan panggilan. Ketidakmampuan para imam mengakibatkan kurangnya pengetahuan umat Israel akan Tuhan Allah. Sehingga muncullah berbagai kejahatan, seperti mencuri, menyesatkan, membunuh, berdusta, sumpah palsu, merampok dan saling membunuh. Hal inilah yang dikritik oleh nabi Hosea.
Mengapa demikian, sikap para imam? Jawabannya adalah mereka lebih mementingkan kepentingan pribadi dan materi ketimbang kebenaran Allah. Nabi Hosea secara jelas mengatakan bahwa para imamlah yang mempelopori sikap menolak akan Allah (ayat 6). Kata ‘menolak’ berasal dari kata Ibrani ‘yada’ yang berarti menolak persekutuan dengan Allah dan memilih untuk bersekutu dengan ilah-ilah lain. Sebagai seorang imam haruslah memiliki relasi yang dekat dengan Allah. Persekutuan dengan Allah adalah persekutuan yang suci. Hal ini mengarah pada salah satu sifat Allah, yaitu kesucian atau kekudusan. Oleh karena itu, pada ayat 7, kata ‘kemuliaan’ akan ditukar dengan ‘kehinaan’. Artinya, para imam akan menukar kemuliaan Tuhan dengan kehinaan Baal. Dengan demikian, penolakan terhadap pengenalan Allah sama dengan kehidupan yang disesatkan oleh roh perzinahan.
Allah tidak tinggal diam melihat sikap penolakan umat terhadap Diri-Nya, terlebih khusus para imam. Allah tidak hanya menghakimi tetapi juga menghukum! Rakyat dan para pejabat agama akan mendapat hukuman yang sama (ayat, 9, 10).
Pertanyaan, selanjutnya bagaimana dengan kehidupan para pemimpin agama sekarang ini? Apakah mengalami nasib yang sama seperti yang dikisahkan oleh Nabi Hosea? Tentunya, kita memiliki respons yang berbeda-beda sesuai dengan pengalaman masing-masing. Ada yang berusaha untuk tetap mempertahankan relasinya dengan Allah. Tetapi ada pula yang tidak mampu mempertahankan relasinya dengan Allah. Sehingga tersesat dengan roh penyimpangan.
Kehidupan para imam pada konteks Hosea tentunya sangat berbeda dengan kehidupan para pemimpin agama sekarang ini. Artinya, para pemimpin agama sekarang ini tidak lagi berhadapan dengan penyembahan-penyembahan berhala, seperti yang dikisahkan oleh Hosea. Tetapi mereka akan berhadapan dengan kehidupan-kehidupan dunia yang serba instan dan terus mengalami perkembangan. Contoh sederhana, orang melakukan tugas sebagai pemimpin umat bukan sebagai panggilan tetapi hanya formalitas. Misalnya, menyampaikan khotbah tanpa persiapan, bekerja hanya karena uang. Secara perlahan-lahan makna sebuah panggilan menjadi bergeser. Sebagai pemimpin agama atau umat mulai terjebak dengan hal-hal yang sifatnya rutinitas.
Kesimpulanya:
Tanggungjawab seorang imam adalah membangun relasi yang intim dengan Allah, melayani dan memberikan teladan bagi umat. Itulah makna panggilan seorang imam atau pemimpin agama.


Komentar

Postingan Populer