Perempuan Yang Menyangkal Diri

Perempuan Yang Menyangkal Diri
Suatu hari saya duduk bercerita bersama salah seorang seniorku tentang pengalamannya menjadi pendeta. Ia adalah seorang anak yang hidup dan bertumbuh di tengah-tengah keluarga yang matang secara finansial ekonomi. Melalui penuturannya, dikatakan bahwa ia tidak bisa hidup dalam situasi yang penuh dengan tekanan atau kekerasan. Namun, kondisi ini berbanding terbalik saat ia memilih menjadi seorang pendeta.
Sesuai SK yang diterima, ia ditempatkan menjadi pendeta di salah satu jemaat kecil yang jumlah kepala keluarganya sekitar 17KK. Jemaat ini merupakan jemaat yang belum pernah ditempati pendeta sehingga ia menjadi pendeta pertama di tempat tersebut. Secara psikologis ia benar-benar tertantang untuk hidup dalam situasi yang jauh berbeda dari kehidupan sebelumnya. Kehidupan di jemaat ini sama sekali jauh dari keadaan yang disebut modernisasi.
Jika dibandingkan jemaat ini dengan jemaat-jemaat di tempat lain, mungkin sangat jauh berbeda. Ketika diukur dari segi infrastruktur, di jemaat ini belum ada listrik, jaringan komunikasi maupun jalan penghubung antar jemaat yang satu dengan yang lain.  Dari segi, pendidikan, angka buta huruf sangat tinggi di jemaat ini. Selain itu pula kondisi rumah yang masih sangat sederhana. Yang terpenting rumah tersebut dapat menjadi tempat perlindungan. Pada umumnya setiap rumah yang dibangun tidak memiliki MCK bahkan ruang-ruang kamar dari rumah tersebut tidak memiliki pintu hanya menggunakan kain untuk menutupinya. Sehingga jemaat setempat menggunakan WC gantung yang berada dikali sebagai WC umum.
Realita ini tentu memberikan makna tersendiri bagi seniorku. Saat pertama kali ia menginjakkan kaki di jemaat tersebut, ia hanya bisa berharap kepada Sang Pemberi Hidup. Ia benar-benar keluar dari zona nyaman dan berada dalam situasi hidup yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Ia mengatakan bahwa ia menyangkal diri sebagai anak yang sebelumnya hidup berkecukupan untuk memenuhi tanggungjawab panggilannya sebagai pendeta. Menyangkal diri terhadap segala fasilitas yang telah ia nikmati sebelumnya dan hidup bersama jemaat. Kadang ia merasa sangat kesepian ketika tidak ada orang untuk bisa berbagi kesedihan yang dialaminya. Selama perjalanan hidupnya, satu-satunya orang yang menjadi tempat berbagi kesedihan adalah ibu. Namun, saat berada di jemaat tempat tugasnya ia tidak bisa berbagi kesedihan dengan sang ibu lagi sebab ketiadaan jaringan komunikasi.
Ia mengakui bahwa mungkin di jemaat inilah, ia dibentuk menjadi orang yang tangguh dan memulai segala sesuatu dari nol. Seiring berjalannya waktu, ia terus berusaha memahami maksud panggilan Sang Pemberi Hidup bagi dirinya. Baginya, untuk segala sesuatu ada waktunya seperti kata Pengkhotbah. Ketika ia ditempatkan di tengah-tengah kehidupan jemaat yang hidupnya masih sangat tradisional pasti ada maksud Tuhan dibalik kehadirannya. Dalam pengakuan yang penuh keyakinan bahwa Tuhan mengetahui pontesi dirinya karena itu ia ditempatkan di jemaat tersebut.
Cerita ini tentunya tidak jauh berbeda dengan kisah tokoh-tokoh Alkitab. Salah satunya adalah Abraham. Dalam perjalanan hidupnya, ia juga berasal dari keluarga yang mapan secara ekonomi. Namun untuk memenuhi panggilan Allah ia harus meninggalkan tanah kelahirannya dan pergi ke tempat yang Allah tunjukkan kepadanya. Disinilah iman Abraham diuji melalui berbagai peristiwa. Melalui berbagai peristiwa yang dilaluinya Abraham berhasil menunjukkan ketaatannya terhadap perintah-perintah Allah.
Berdasarkan cerita yang disampaikan oleh seniorku maupun kisah Abraham yang pasti berada dalam konteks atau situasi sosial yang berbeda. Namun, satu hal yang mirip adalah keduanya menggabdikan diri untuk memenuhi panggilan Allah. Hal ini berkaitan dengan pengakuan terhadap Kemahakuasaan Allah sebagai pemberi hidup. Pengakuan itu merujuk kepada sebuah komitmen dan ketaatan. Melalui kemahakuasaan Allah sebagai pemberi hidup maka Allah memiliki kehendak bebas untuk memanggil setiap orang sesuai kemampuan dirinya. Yakinlah ketika berada di tempat mana pun Allah memiliki kehendak untuk membentuk setiap orang yang mengaku percaya kepada-Nya. Menjadi pribadi yang tangguh tidak bisa selamanya hidup dalam zona nyaman. Setiap orang perlu belajar di tempat yang sama sekali baru karena dengan begitu ia akan mengetahui potensi diri yang dikarunia Allah maupun panggilan Allah terhadap dirinya.


Komentar

Postingan Populer