SAYUR SAJA LAYU

Sayur Saja Layu

"Mas, sayurnya sudah layu!" Begitulah ucapanku saat melihat dua ikat bayam yang berada pada keranjang jualan seorang pria pedagang sayur. Pria itu pun menyahutku dengan mengatakan: "Iya, Mba manusia saja layu!" 
Mendengar ucapan pria itu saya pun tertawa dan berpikir ada benarnya juga, bahwa terkadang sebagai manusia juga layu. Artinya, saya ingin mengajak kita melihat sisi lain dari percakapan singkat itu adalah tentang bagaimana kita memahami proses kehidupan, seperti sayur yang layu. Dengan kata lain, sayur saja layu apalagi manusia.
Sampai di sini terlihat jelas tentang sayur bayam yang awalnya ditanam dan tumbuh subur, kemudian dicabut, dipotong, diikat, dan dijual. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan atau maksud baik, yaitu untuk menopang dan memenuhi kebutuhan manusia. Namun sebelum sampai pada tujuan baik, sayur tersebut harus melewati proses yang panjang dan terkena sinar matahari. Hingga akhirnya layu dan sudah tidak menarik lagi untuk dibeli. Maka tidaklah heran, jika ada pembeli yang menolak untuk membeli tetapi adapula yang memutuskan untuk membeli dengan harga yang sedikit murah atau turun dari harga sebelumnya. 
Sama halnya dengan proses kehidupan yang dialami manusia. Setidaknya memiliki kemiripan, yakni terkadang untuk mencapai tujuan yang baik harus melewati berbagai tantangan tahap demi tahap. Akibatnya, ada yang hampir menyerah, adapula yang menyerah dan memilih untuk menguburkan mimpi-mimpi mereka. Salah satu penyebabnya adalah mendapat penolakan.
Itu berarti, sikap menyerah sebelum mencapai tujuan atau meraih impian adalah ibarat "Sayur yang layu." Dikatakan "layu" berarti secara tidak langsung sayur tersebut membutuhkan hal lain dari luar untuk bisa segar kembali, misalnya memberi air. Ini sebagai isyarat hidup yang saling membutuhkan.
Dengan kata lain, dalam perjuangan untuk mencapai sebuah impian sudah pasti tantangan itu selalu ada. Tantangan diperlukan untuk membentuk kita menjadi pribadi yang lebih kuat dan lebih baik. Jika demikian. Jika tantangan itu selalu ada dan hadir bersama dalam proses mencapai tujuan atau impian, maka sudah pasti kita tidak bisa berjuang sendiri dan mengandalkan kekuatan kita.
Namun, kita selalu membutuhkan pihak lain untuk menolong dan membantu kita dalam mencapai impian. Apalagi dalam masa-masa sulit. Pihak lain yang dimaksudkan adalah keluarga, kerabat, dan kenalan. Bahkan lebih dari itu, kita selalu membutuhkan kehadiran dan pertolongan Allah di setiap langkah dan juang kita. Sampai di sini menjadi pertanyaan adalah mengapa kita selalu membutuhkan pihak lain, saat kita berjuang mencapai impian? Mengapa? Mengapa tidak kita saja? Mengapa harus ada pihak lain? Jawabannya adalah:
Pertama, supaya kita tidak menyombongkan diri atau menganggap diri superior dan bertindak sewenang-wenang terhadap orang lain. Sebab dalam proses kehidupan tidak ada segala sesuatu yang murni perjuangan sendiri tanpa kehadiran pihak lain, melainkan sebaliknya perjuangan untuk mencapai impian selalu melibatkan pihak lain, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Kedua, kita belajar tentang nilai perjuangan yang sesungguhnya, bahwa dalam perjuangan itu ada harga yang harus dibayar. Ada hal yang harus dikorbankan. Hal ini dilakukan saat kita diperhadapkan dengan berbagai tawaran yang menggiurkan, kita tidak dengan mudah melepaskan dan melupakan impian yang telah dicapai dengan sudah payah.
Ketiga, saat mencapai impian, kita memiliki tanggungjawab untuk menolong orang lain. Berbagi dengan mereka yang sangat membutuhkan.
Dari ketiga aspek di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa tak ada seorang pun yang memiliki alasan untuk menyombongkan diri atas prestasi yang diraih. Atas impian yang dicapai. Semua itu dilalui, agar kita dapat menolong orang lain. Sebaliknya, jika ada orang yang berani menyombongkan diri, maka dapat dipastikan perjuangannya tidak murni dan selebihnya menipu diri sendiri bahkan perjuangannya tidak akan bertahan lama.
Selain itu pula, jika sampai saat ini masih ada yang ingin menyerah. Memilih menguburkan impian karena berbagai tantangan yang datang silih berganti. Maka belajarlah untuk membuka diri terutama kepada Allah sebagai sumber kehidupan dan terimalah kehadiran orang lain yang dipakai Tuhan untuk menolong kita. Sebab dengan begitu kita akan melihat hanya ada satu sumber utama kekuatan, yaitu Allah sendiri. Karena itu, dalam menghadapi badai kehidupan, jangan melupakan Allah. Tetapi libatkanlah Allah dalam setiap proses hidup. Niscaya perjuangan yang dilakukan akan berhasil dan hidup kita menjadi berkat bagi orang lain.

Komentar

Postingan Populer