Rendah Hati vs Rendah Diri
Rendah Hati
vs Rendah Diri
Merendah bukan berarti mengemis untuk di
sanjung oleh orang lain. Satu hal yang perlu digaris-bawahi adalah rendah hati
bukan rendah diri. Itu berarti konsep rendah diri berbeda dengan rendah hati.
Rendah diri selalu diartikan dengan konotasi yang negatif, seperti rasa minder,
pemalu, penakut, dll. Sedangkan rendah hati memiliki arti yang positif, yaitu
tidak sombong, bersahaja, sederhana, tulus, dll. Jika demikian, manakah yang
kita pilih dalam kehidupan sehari-hari, rendah hati atau rendah diri?
Secara sederhana, kedua hal ini dalam waktu
yang bersamaan dapat berjalan berlawanan. Ada saat di mana seseorang dapat
bersikap rendah diri tetapi tidak rendah hati. Sebaliknya, dalam waktu yang
bersamaan juga dapat berjalan beriringan. Seseorang yang memiliki sikap rendah
hati akan berdampak terhadap perilakunya. Artinya, ketika seseorang memiliki
pandangan yang positif terhadap dirinya. Maka ia akan yakin terhadap dirinya
bahkan memberi penghargaan terhadap dirinya maupun orang lain.
Pandangan positif yang dimaksud adalah
seseorang memiliki kesadaran bahwa di dalam dirinya; ada kelebihan dan
kekurangan. Kalau kesadaran seperti ini telah dimiliki, maka secara tidak
langsung akan nampak dalam tindakan. Ia tidak malu atau minder untuk mengakui
kekurangannya dan mengakui kelebihan orang lain. Sebaliknya, ia mengakui
kekurangan orang lain dan kelebihan yang ada pada dirinya.
Berbeda halnya dengan orang yang memiliki
pandangan negatif terhadap dirinya. Kecenderungan dari orang yang memiliki
pandangan tersebut adalah menyalahkan diri, tidak yakin terhadap kemampuan
diri, melakukan tindakan tertentu untuk memperoleh pengakuan dari orang lain,
merendahkan orang lain, tidak mau bekerja sama dll. Orang seperti ini tidak
mampu melihat kekurangan dan kelebihan yang ada pada dirinya maupun pada orang
lain.
Cara pandang terhadap diri sendiri dan orang
lain yang bersifat positif maupun negatif tanpa kita sadari sering terjadi
dalam kehidupan sehari-hari. Alangkah bahagianya, jika yang kita jumpai adalah
orang-orang yang memiliki pandangan yang positif. Kita akan merasa dihargai,
diapresiasi tanpa memandang status maupun golongan. Tetapi tidak bisa
dibayangkan, bila yang kita jumpai adalah orang-orang yang memiliki pandangan
yang negatif. Orang-orang tersebut adalah orang tua, sanak-saudara, teman,
rekan kerja, para pemimpin di bidang pemerintahan maupun gereja atau diri kita
sendiri. Sungguh sangat berbahaya! Sebab yang terjadi adalah kehancuran. Hidup
menjadi tidak nyaman bahkan saling bermusuhan.
Cara hidup seperti ini juga diungkapkan
melalui perumpamaan yang dikatakan Yesus, khususnya pada Lukas 18:9-14. Pada
perumpamaan tersebut ada dua sikap manusia yang ditunjukkan melalui orang
Farisi dan Pemungut Cukai. Pertama,
gambaran orang Farisi begitu sombong dengan kelebihannya. Ia menggambarkan
dirinya; bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah, bukan pemungut
cukai, berpuasa 2 minggu sekali dan memberikan persepuluhan dari setiap
penghasilannya. Dengan mengungkapkan segala kelebihannya, ia berharap
kekurangannya tidak terlihat. Ia menjelekkan orang lain supaya ia kelihatan
baik.
Ketika kita menelusuri latar belakang orang
Farisi secara sekilas, kita akan menemukan bahwa orang Farisi adalah golongan agama
dari bangsa Yahudi. Orang-orang Farisi sangat taat kepada hukum-hukum agama
Yahudi dan peraturan-peraturan yang sudah ditambahkan pada hukum-hukum itu dari
zaman ke zaman. Kelompok ini dikenal sangat memperjuangkan pengetahuan yang
mendasar tentang Taurat dan tradisi para nenek moyang. Namun, apa yang terjadi
cara hidupnya sangat jauh berbeda dari ajaran agamanya. Sebab semua yang
dipelajari semata-mata hanya untuk memenuhi kewajiban agamanya bukan untuk
memuliakan Allah.
Kedua, pemungut cukai terbuka dengan
kekurangannya. Ia mengaku bahwa dirinya
adalah orang berdosa. Firman Tuhan mencatat bahwa sikap pemungut cukai inilah
yang dibenarkan Allah. Kita perlu melihat bahwa sosok pemungut cukai bukanlah
gambaran dari orang miskin yang tidak berdaya melainkan ia adalah orang yang
memiliki harta bahkan memiliki hubungan baik dengan pemerintah Romawi. Dari
hubungan tersebut, ia bisa saja meninggikan diri dan membalas siapapun yang
merendahkannya.
Pertanyaannya, mengapa ia memilih untuk
merendahkan diri? Seperti yang diketahui pemungut cukai adalah pengumpul pajak
di kerajaan Romawi. Seringkali mereka memeras rakyat untuk menguntungkan diri,
sehingga mereka disebut bersama dengan orang berdosa. Akibatnya, pemungut cukai
dilihat sebagai gologan manusia yang hina. Berdasarkan apa yang dialami, ia menyadari
bahwa pekerjaannya sebagai pemungut cukai sudah mengambil hak orang lain.
Karena itu, ia mengakui dirinya sebagai orang berdosa. Pemungut cukai
benar-benar menyadari kekurangan atau kesalahan yang telah diperbuat. Melalui
tindakan tersebut, ia menunjukkan kesungguhan dan kerendahan hati yang dalam,
menyatakan hatinya yang sungguh hancur, menyesal dan taat.
Kehidupan orang Farisi dan pemungut cukai
memberi isyarat bahwa terkadang dalam kehidupan sehari-hari, kita juga berlaku
demikian. Pasti ada yang memiliki karakter sebagai orang Farisi. Ada pula yang
memiliki karakter sebagai pemungut cukai. Kendati demikian, kita dapat menarik
makna dari cerita perumpamaan orang Farisi dan pemungut cukai adalah
merendahkan diri harus dimiliki oleh siapapun tanpa memandang status sosial,
profesi atau jabatan. Mengapa? Sebab kita hidup tidak sendiri melainkan
bersamaan dengan orang banyak yang memiliki beragam karakter.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana cara kita
merendahkan diri? Sekali lagi yang perlu diingat adalah merendahkan diri tidak
akan membuat kita bersikap rendah diri atau merasa minder. Justru saat kita
merasa minder itu berasal dari kesombongan. Ketika pemikiran seperti ini muncul
dan ditunjukkan melalui tindakan maka kita sementara berusaha untuk menutupi
kekurangan yang dimiliki. Sama halnya
dengan kita berusaha membangun tembok yang sangat tinggi, agar orang tidak bisa
mengenal atau mengetahui siapa kita sebenarnya.
Di sisi lain, saat kita bersikap minder, kita
merasa bahwa tindakan tersebut telah menunjukkan cara hidup yang merendahkan
diri. Padahal sangat keliru dengan berpikir yang demikian. Justru sebaliknya kita
sementara meninggikan diri. Contoh yang sederhana dapat kita lihat dalam diri
orang Farisi, saat ia berkata-kata. Melalui perkataannya, ia berusaha menutupi
kekurangannya bahkan menganggap diri sebagai orang yang saleh dan paling benar.
Sedangkan, contoh sikap hidup yang merendahkan diri dapat kita lihat dalam diri
pemungut cukai. Merendahkan diri berarti menyadari kekurangan dan berusaha
untuk memperbaiki. Dengan begitu, kita lebih percaya diri karena bersikap apa
adanya, terbuka dengan kekurangan dan tidak melebih-lebihkan kelebihan yang ada
pada diri kita.
Dengan demikian ada tiga hal penting yang
dapat disimpulkan. Pertama, merendahkan
diri sama artinya memiliki sikap rendah hati. Kedua, merendahkan diri berarti terbuka menerima kekurangan yang
ada dalam diri dan tidak memandang rendah orang lain dengan kekurangannya. Ketiga, merendahkan diri merupakan
sebuah proses untuk mencapai pemulihan hidup baik diri sendiri maupun orang
lain. Karena itu, sebagai orang-orang yang beriman marilah kita memelihara
sikap rendah hati, mau mengalah, sikap yang tak segan-segan untuk mengakui kesalahan
dan meminta maaf bila diperlukan. Jika mampu berlaku demikian, maka kita telah
menjaga kehidupan dari kehancuran. Cara hidup seperti inilah yang dimaksud
untuk memuliakan Allah.
Komentar
Posting Komentar