Sahabat; Relasi Tanpa Batas
Sahabat;
Relasi Tanpa Batas
Dunia dewasa ini mendapatkan rekan kerja
seperti seorang sahabat gampang-gampang susah. Kalau kita bertanya siapa itu
sahabat? Pasti kita memiliki banyak definisi. Ada yang bilang sahabat itu orang
yang selalu ada dalam suka maupun duka. Sahabat itu orang yang memiliki
kedekatan emosional melebih batas-batas tertentu. Sahabat itu orang yang dapat
dipercaya, dll. Sampai di sini dapat dikatakan bahwa sahabat merupakan relasi
tanpa batas. Jika demikian, maka dalam pengalaman kehidupan sehari-hari kita
dapat belajar dari model relasi-relasi sosial yang terbangun maupun cerita
tokoh-tokoh Alkitab. Salah satunya yang dikisahkan dalam Filipi 2:19-30. Bagian
Alkitab ini mengkisahkan tentang persahabatan yang terjalin antara Paulus,
Timotius dan Epafroditus. Paulus menyebut Timotius sebagai orang yang sehati
dan sepikir dengannya (ayat 20). Maksud dari kata sehati dan sepikir adalah memiliki semangat yang sama dalam
memberitakan injil. Begitu juga dengan Epafroditus disapa sebagai saudara,
teman sekerja dan seperjuangan. Kerena Epafroditus menunjukkan kesungguhannya
dalam melayani pekerjaan Tuhan bahkan rela mempertaruhkan nyawanya demi injil.
Artinya, rela melayani siapa saja tanpa memandang status, jabatan, suku, ras
dan golongan.
Cara berpikir dan bertindak seperti ini,
ketika dibandingkan dengan realita kehidupan sekarang, rupanya sedikit sulit.
Mengapa? Sebab segala sesuatu serba susah! Orang mau membantu orang lain harus
berpikir dua kali bahkan beribu-ribu kali; “jika saya membantunya, apa yang
saya dapatkan? Apa untungnya bagi saya? Keluargaku mendapatkan apa? dsb.” Nah,
orang-orang seperti ini yang dikatakan pada ayat 21 sebagai orang-orang yang
tidak sejalan dalam memberitakan injil. Mereka hanya mementingkan diri sendiri,
keluarga, pekerjaan dan kemajuan hidup mereka. Sedangkan pekerjaan Tuhan hanya
sekedar pelengkap atau sebatas formalitas; ‘yang terpenting saya mengikuti
semua ritual keagamaan, yang terpenting saya dapat memberikan sumbangan bagi siapa
saja atau lembaga mana saja, dsb’. Semua itu ‘yang terpenting’. Padahal itu
bukan maksudnya. Cara berpikir yang demikian tentu sangat keliru. Hal yang
dilihat adalah bagaimana relasi-relasi sosial yang terbangun antar sesama
manusia terutama dalam dunia kerja. Bukan sikap individu yang ditonjolkan
melainkan kekompakkan tim kerja.
Dari persahabatan Paulus, Timotius dan
Epafroditus, bukan tanpa alasan. Ada
hal-hal prinsip yang sangat mendasar, yaitu;
Pertama, relasi pelayanan yang berpusat pada
Kristus. Ketiganya menunjukkan sikap saling mendukung, saling percaya
bahkan tetap bersukacita di tengah tantangan pelayanan. Hal ini dapat dilihat
melalui cara Paulus menyapa Timotius dan Epafroditus. Sehingga ada
prinsip-prinsip kekeluargaan dan persahabatan yang diutamakan oleh Paulus dalam
pelayanannya.
Kedua, dalam hubungan kerja, khusus dalam
memberitakan injil Paulus tidak membedakan dirinya dengan Timotius dan
Epafroditus. Paulus menganggap keduanya sebagai sahabat yang setara dalam
hubungan kerja. Aspek penting yang mau diperlihatkan Paulus adalah relasi kerja
yang tidak mencari keuntungan sendiri untuk menjatuhkan orang lain atau
menggunakan tenaga dan kontribusi orang lain demi memajukan diri sendiri.
Relasi seperti ini dapat diperhatikan dalam
kehidupan sehari-hari, khususnya dalam dunia kerja. Relasi antara pimpinan dan
bawahan, relasi antara tuan/nyonya dan majikan, relasi antara orang yang
memiliki pangkat atau golongan dengan orang yang biasa-biasa saja maupun relasi-relasi yang terbangun dalam
kehidupan bergereja. Pertanyaannya, seberapa dalam kita mengenal rekan sekerja
dalam tugas dan pengabdian maupun pelayanan bergereja? Model hubungan seperti
apa yang dikembangkan? Apakah semuanya bersifat hierarki dan otoriter ataukah
kita perlu hubungan kerja yang berorientasi sebagai ‘hamba yang diutus atau sahabat?’
Melihat orang yang di sekitar lingkungan kerja maupun pelayanan bergereja sebagai
sahabat atau hamba yang diutus?
Hal ketiga
adalah penekanan pada pribadi yang
mengutus. Artinya, pribadi yang mengutus bukan berada pada otoritas Paulus
melainkan mengisyaratkan bahwa pribadi yang mengutus sesungguhnya adalah
Kristus yang menjadi pusat pemberitaan. Oleh karena itu otoritas yang ada pada
diri Paulus adalah otoritas Kristus bukan pribadi Paulus semata.
Kemudian hal yang keempat
adalah sambutlah di dalam Tuhan dan
memberi hormat (ayat 29). Penekanannya tentang hal menerima seseorang,
menyambutnya dan menghargainya di dalam Tuhan dengan penuh sukacita. Prinsip
tersebut dapat dijadikan sebagai prinsip dasar membangun kemitraan yang
sejajar, karena Tuhan sudah lebih dulu menyambut setiap orang dan menyebutnya
sahabat. Kesetaraan yang sejajar akan menjadikan kita orang-orang yang saling
menghargai dan saling menghormati bahkan saling melengkapi, karena kita saling
membutuhkan seorang akan yang lain.
Sebagai orang-orang yang mengaku percaya
kepada Yesus Kristus, aspek-aspek yang perlu diperhatikan untuk mengembangkan
iklim kerja maupun pelayanan di tengah gereja adalah membangun sikap saling
percaya, saling mendukung dan tetap bersukacita di tengah tantangan pelayanan
yang dihadapi. Aspek-aspek ini tidak tercipta begitu saja jika tidak diuji
melalui proses ‘saling mengenal (bukan sekedar saling tahu) dan bersedia
menjadikan orang-orang di sekitar sebagai teman seperjalanan, teman
seperjuangan yang setara atau mitra yang sejajar’. Setiap orang yang menerima
tugas pengutusan ataupun yang mengutus perlu memiliki satu pemahaman yang sama
bahwa di dalam dirinya terkandung otoritas Kristus yang mengutus untuk
mengabarkan injil kebenaran. Konsep tersebut menjadi sebuah catatan kritis yang
diutamakan agar tercipta hubungan kerja yang sejajar dan terarah pada Kristus.
Kepentingan diri, keluarga dan kenyamanan hidup sendiri harus diletakkan pada
kepentingan Kristus sebagai pribadi yang mengutus.
Karena itu, ada sebuah kata bijak yang
berbunyi; “lupakanlah dirimu, jika engkau mau melayani Allah”. Sebab
kepentingan Kristus adalah menghadirkan damai sejahtera, keadilan di tengah
masyarakat, menyuarahkan anti kekerasan, diskriminasi dan perbuatan kejahatan lainnya terhadap sesama. Kita harus mengakui bahwa apapun pekerjaan/tugas
yang diberikan adalah sebagai bentuk pengutusan Allah untuk melakukan
kehendak-Nya di tengah-tengah dunia.
Selain itu, Kemitraan dianggap penting dan akan terwujud ketika setiap
orang mampu memciptakan suasana kerja yang nyaman yang dimulai dari diri
sendiri. Suasana tersebut dapat tercipta ketika setiap orang menyadari bahwa di
dalam Tuhan ia sudah disambut dengan sukacita, karena tugas yang harus dilanjutkan
adalah belajar menyambut dan menerima setiap orang sebagai bagian yang sejajar
atau setara dengan dirinya di dalam Tuhan. Dengan demikian, apapun status,
golongan, pangkat atau jabatan tidak menjadi penghalang bagi setiap orang untuk
menjalin persahabatan dalam dunia kerja. Ketika hal ini dapat dilakukan maka tercipta
sikap saling menerima dan mengakui tanpa perbedaan apapun.
Komentar
Posting Komentar