Wisata Bahari Wangel Teracam Hilang
Wisata
Bahari Wangel Teracam Hilang
Memiliki pesona pantai yang indah menjadi
kebanggaan tersendiri bagi setiap wilayah. Hal inilah yang dirasakan oleh desa
Wangel. Desa ini ditetapkan oleh pemerintah daerah Kepulauan Aru menjadi salah
satu desa yang masuk dalam tata ruang daerah sebagai tempat wisata bahari pada
tahun 2016. Karena sesuai dengan letakknya berada di pesisir pantai pulau Wamar.
Selain itu desa ini memiliki pasir pantai yang bersih, pemandangan yang indah, lokasi
yang sangat strategis dan mudah untuk
dijangkau oleh pengunjung, baik pengujung lokal maupun dari luar wilayah.
Jauh sebelum desa Wangel ditetapkan sebagai
tempat wisata bahari oleh pemerintah daerah Kepulauan Aru, Jemaat GPM Wangel
telah mengembangkannya lebih dulu pada tahun 2006. Tempat tersebut kemudian
dinamakan sebagai ‘Kora Evar’. Kora berasal dari kata kora-kora yang artinya
perahu. Sedangkan, Evar berasal dari bahasa Aru yang artinya indah atau cantik.
Jadi Kora Evar yang artinya batu yang indah.
Beberapa tahun kemudian, sebagian warga
jemaat juga mulai membuat tempat-tempat pariwisata, diantaranya; tempat wisata
‘Batu Kora’, tempat wisata ‘Gunung Bali’ dan tempat wisata ‘Pantai Kasuari’.
Tempat-tempat wisata ini merupakan milik pribadi berdasarkan daerah petuanan
dan pemberian nama sesuai dengan ciri khas tempat tersebut. Misalnya, disebut
sebagai batu kora karena perahu/belang/arumbai yang akhirnya menjadi batu.
Sedangkan penyebutan gunung Bali hanya karena ada sebuah bukit yang menyerupai
gunung yang terbalik sehingga masyarakat setempat lebih cenderung menyebut
tempat itu gunung Bali. Begitu pula dengan pantai Kasuari. Lokasi ini banyak
ditumbuhi pohon pinus tetapi masyarakat setempat menyebutnya sebagai pohon
kasuari.
Jika dilihat dari segi nama dan letaknya,
tempat-tempat wisata ini memiliki keunikan dan daya tarik tersendiri. Sayangnya,
lokasi tersebut tidak seindah nama yang dimiliki. Lokasi ini diprediksi
beberapa tahun ke depan terancam hilang karena abrasi gelombang laut sebagai
akibat dari ulah manusia yang selalu mengambil bahan galian C. Realita ini
melukiskan perbedaan pemandangan dan keindahan pantai Wangel di tahun 90-an ke
bawah dengan tahun 90-an ke atas. Hal ini disebabkan karena
perilaku manusia yang membuatnya menjadi tidak indah dipandang mata. Bukan cuma
tidak indah dan tidak sedap dipandang mata tetapi imbas dari kerusakan
lingkungan itu dirasakan langsung oleh masyarakat Wangel.
Kerusakan lingkungan pada bibir pantai Wangel
dan hutan diakibatkan oleh gelombang laut pada musim angin barat maupun ulah
warga sendiri yang menjual bahan galian C untuk pembangunan infrastruktur baik
jalan maupun perumahan/bangunan di kota kabupaten. Larangan bahkan sasi yang
dilakukan oleh pihak gereja tidak mampu membendung dan menghentikan kegiatan
penjualan bahan galian C. Hal ini membutuhkan kerjasama dengan pemerintah
daerah dan aparat penegak hukum untuk menetapkan kawasan bebas galian C. Karena
masing-masing warga mengkomplein bahwa pesisir pantai itu menjadi milikya
berdasarkan petuanan marga dan dusun kepala. Di sisi lain, hutan yang selama
ini difungsikan telah dirusakkan oleh warga dari luar jemaat dengan dalih
berkebun.
Aktivitas pengambilan bahan galian C
berdasarkan hasil pengamatan sangat tinggi. Setiap hari mobil truk besar maupun
kecil selalu beroperasi mulai dari jam 07:30 – 17:30. Banyangkan saja setiap
hari mobil-mobil tersebut beroperasi seperti ini maka dalam hitungan beberapa
bulan atau dalam jangka waktu satu tahun saja kehidupan masyarakat setempat
sudah sangat teracam bahkan mungkin tinggal nama. Bagaimana tidak! Jalan
penghubung antar desa Wangel dan Durjela saja sudah terputus. Akhirnya, langkah
yang diambil adalah membuka jalan baru sementara jalan yang telah terputus
belum ada upaya perbaikan. Begitu pula dengan jalan masuk desa wangel sebagian
jalan telah terkikis akibat abrasi gelombang laut, jika tidak ada upaya
pemberhentian galian C oleh pemerintah setempat maka jalan tersebut juga akan terputus.
Dampak lain yang ditimbulkan juga adalah banyak pepohonan yang tumbang, seperti
pohon kelapa maupun pohon kasuari. Kemudian lokasi bekas pengambilan bahan
galian C sudah menjadi muara sungai yang terhubung langsung dengan air laut.
Menyikapi hal tersebut salah satu langkah
yang dilakukan adalah masyarakat setempat membangun tanggul pemecah ombak untuk
mengantisipasi abrasi gelombang laut pada musim barat. Namun, ironisnya saat
beberapa kelompok masyakarat setempat sementara berusaha keras untuk membangun
tanggul pemecah ombak, selang beberapa langkah mobil truk sementara asyik
mengambil bahan galian C. Situasi seperti ini sangat memprihatinkan. Di satu
sisi, sangat diharapkan perhatian dan upaya pemerintah setempat untuk
menghentikan proses pengambilan bahan galian C. Sementara dipihak lain sebagian
masyarakat setempat menjadikan bahan galian C sebagai sumber utama pendapatan
keluarga. Karena itu, hampir setiap hari mereka berada di pantai untuk
mengumpulkan batu untuk dijual maupun mengkleim batas-batas petuanan untuk
penjualan pasir.
Realita seperti mendorong adanya kerjasama
dari semua pihak baik negeri maupun swasta bahkan lembaga-lembaga pemerhati
lingkungan lainnya. Karena lokasi tersebut sudah sangat kritis. Jika diibaratkan
sebagai orang yang menderita penyakit kanker, mungkin telah berada pada stadium
akhir. Sel-sel kanker sudah menyebar di mana-mana sehingga membutuhkan pengobatan
yang sangat esktra hati-hati dan intens.
Komentar
Posting Komentar