Manusia Terluka, Manusia Haus
Manusia Terluka, Manusia Haus
Pernahkah kita mendengar kalimat-kalimat yang membuat diri kita tersudutkan, merasa dilecehkan, merasa diancam, dihakimi dan lain-lain. Atau sebaliknya kita mengucapkan kalimat tertentu terhadap orang lain. Jika pernah didengar atau dilakukan maka tanpa disadari kita berada dalam hubungan toxic.
Kalimat-kalimat itu diantaranya: "Karibo, karempeng/kurus, gemuk/gajah/bolduser, pesek, hitam, keriting, cengeng, bego, botak, kumis, lonjong, itu aja nggak bisa, ade jang keluar su malam, jang pi situ ada setan dan masih banyak lagi."
Bayangkanlah, ketika kalimat ini diucapkan secara berulang-ulang kepada seseorang tanpa disadari, kita sudah memupuk dan memelihara hubungan toxic. Kita membuat titik-titik yang nantinya dihubungkan menjadi hubungan toxic dalam membangun relasi dengan orang lain. Dampaknya adalah kita menemukan pribadi yang penakut, pemalu, tidak bisa mengambil inisiatif bahkan mudah lepas kendali atau tidak terkontrol, dll.
Di sini saya mencoba mengangkat dua contoh kasus. Kasus yang pertama: seorang ibu berusia 60 tahun, mengalami kekerasan fisik maupun verbal pada usia 12 tahun. Kejadian itu diingat sangat detail, yakni sekitar tahun 1982. Apabila dihubungkan sampai tahun 2020, maka sekitar 38 tahun ia menyimpang benih kepahitan. Bilamana saat itu, ia dituduh berselingkuh dengan bapak angkatnya oleh ibu angkatnya. Akibat dari tuduhan itulah, ia dipukul, di tendang dan dicaci-maki. Sudah pasti luka tersebut dibawa sampai ia menikah dan memiliki anak. Tanpa disadari anaknya juga meneruskan hal yang sama, mengeluarkan kata-kata yang serupa, misalnya anaknya sering menyangkali ayahnya, membuang pakaian ibunya bahkan mengatakan ibunya biadab.
Ketika ditelusuri, anaknya merawarisi sifat pendendam dari orangtuanya. Jadi di sini orang tua dan anak saling mendendam. Sikap pendendam muncul sebagai akibat dari cara orang tua dan anak membangun komunikasi, yakni pertama orang tua suka membandingkan anak yang satu dengan anak yang lain. Kedua, orang tua memilih kasih sayang membuat anak dengan anak saling cemburu. Ketiga, orang tua dan anak saling mengalahkan.
Kasus kedua, adalah seorang anak laki-laki berusia 18 tahun membunuh ayahnya sendiri yang berumur 72 tahun. Ketika ditelusuri penyebab dari tindakan tersebut adalah bermula dari anak dan ayahnya berdebat. Kemungkinan besar reaksi ini muncul karena perdebatan tersebut telah dilakukan secara ulang-ulang, sehingga menumbuhkan benih-benih kebencian yang berujung pada pembunuhan.
Kedua kasus tersebut hanyalah sebuah contoh kecil dari ribuan persoalan yang dihadapi manusia saat membangun relasi, baik pada lingkungan keluarga maupun masyarakat.
Berdasarkan kasus di atas, maka dapat dikatakan bahwa anak meneruskan hubungan toxic dari orang tua. Kemudian anak melanjutkan pada lingkungan di mana ia berada bahkan sampai menikah, hubungan toxic terus terpelihara.
Namun, pada aspek lain, hubungan toxic juga dapat dibawa oleh orang lain dari lingkungan luar, misalnya dalam relasi dengan orang lain kita menemukan orang-orang yang sulit mengucapkan maaf, mudah marah, tersinggung bahkan melecehkan secara pribadi, maka tindakan itu menjadi signal bagi kita untuk mengetahui latar belakang keluarganya. Besar kemungkinan sikap negatif itu dibawa dari keluarga.
Hal yang sangat penting agar kita terhindar dari hubungan toxic adalah mencari titik temu atau sebab akibat dari alasan seseorang melakukan hal tersebut. Tujuannya adalah supaya kita tidak menghakimi orang lain menurut standar yang kita anggap benar dan tidak menumbuhkan virus kebencian terhadap orang tersebut. Selain itu pula, langkah yang dapat diambil agar terlepas dari hubungan toxic adalah (1). Kenali diri sendiri (Kekuatan - Kelemahan). (2). Apa yang dibutuhkan jiwa (dihargai, rasa aman, kasih sayang). Kedua hal ini tentunya menjadi hal yang sangat mendasar dalam diri seseorang sebelum ia mengambil keputusan untuk mengenal orang lain atau lingkungan di mana ia berada.
Mengapa demikian? Karena, jika bagian ini tidak terpenuhi, maka kita bertumbuh menjadi pribadi yang teluka dan pribadi yang haus. Pribadi yang terluka dan haus, diantarnya haus perhatian dan kasih sayang yang akhirnya memiliki pengaruh negatif, seperti mencelakai diri sendiri bahkan mencelakai orang lain. Sehingga tidaklah heran kita menemukan banyak kasus yang terjadi antara lain, pembunuhan, pencurian, pelecehan seksual, dll.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa segala sesuatu yang kita alami, rasakan dan lakukan bukan terjadi secara kebetulan melainkan sudah ada titik sebelumnya, ketika seseorang melakukan sesuatu atau tindakan menyimpang. Artinya, tindakan menyimpang yang dilakukan seseorang selalu memiliki keterkaitan dan menjadi sebuah lingkaran, misalnya dari kata-kata keluar tindakan, dari tindakan keluar kata-kata begitu seterusnya.
Komentar
Posting Komentar