Aku dicurangi
Suatu saat saya pergi ke salah satu tempat
fotokopi untuk melakukan scan file pendaftaran beasiswa adikku. Sesampainya di sana
aku meminta salah seorang karyawan untuk melakukan scan. Setelah itu semua file
disimpan pada flesku. Ketika tiba di rumah aku langsung menaruh fles tersebut
pada leptop. Aku mencoba melihat file-file yang telah discan itu. Ternyata yang
tersimpan hanyalah foto sedangkan file-file yang tidak ada. Betapa kecewa dan
marahnya aku, saat membuka flesku dan tidak menemukan file-file yang lain. Aku
merasa sudah ditipu karena biaya yang dibayar sedikit mahal bagi orang
sepertiku. Hitung-hitung biaya yang dipakai untuk melakukan scan, sudah bisa
membeli satu porsi nasi ikan untuk makan siang.
Akupun berniat untuk keesokan harinya pergi
ke tempat fotokopi tersebut untuk menyampaikan kekesalahku dan meminta mereka
untuk melakukan scan ulang. Ketika sejenak aku berpikir, tiba-tiba aku
diingatkan bahwa aku juga pernah melakukan kecurangan. Kecuranganku adalah
mengunakan sesuatu atau barang tertentu yang bukan milikku secara pribadi. Sampai-sampai aku tidak segan-segan menggunakan uang
persembahan dari sebuah perkumpulan yang nantinya akan diserahkan ke gereja. Aku
menggunakannya dengan penuh percaya diri tanpa ada perasaan bersalah apapun.
Padahal barang yang aku gunakan bukanlah milikku tetapi
milik orang lain.
Berdasarkan pengalaman itu saya berkesimpulan
bahwa terkadang kita tidak ingin orang lain bertindak curang terhadap kita.
Namun, secara sadar atau tidak sadar kita juga pernah melakukan hal yang sama
pada orang lain. Jika kita tidak ingin dicurangi atau tidak ingin orang lain
mengambil apa yang menjadi hak kita maka berlakulah sejawarnya seperti yang
kita ingin orang lain lakukan untuk kita. Kata ‘curang’ memiliki arti orang yang
tidak jujur, tidak lurus hati suka menipu. Orang-orang seperti ini
kecenderungannya berlaku baik hanya di depan saja sedangkan di belakang
tindakannya menjadi terbalik. Hal ini yang disebut sebagai orang yang munafik.
Betapa tidak bisa dibayangkan berapa banyak
orang yang berlaku demikian bahkan tidak menutup kemungkinan kita menjadi
barisan dari orang-orang tersebut. Atau bisa saja anggota keluarga kita, rekan
kerja, sahabat, dll. Pasti ada yang bertindak sebagai pelaku kecurangan tetapi
adapula yang menjadi korban dari kecurangan tersebut. Kalau kita diposisi
‘pelaku’ pasti kita akan sangat berbangga dan merasa biasa-biasa saja saat
tindakan kita tidak diketahui oleh siapapun. Namun, saat kita berada pada
posisi ‘korban’ pasti kita akan merasa marah, kecewa bahkan mungkin ingin
membalas dendam. Kita menjadi lupa untuk melakukan evaluasi terhadap diri
sendiri. Karena itu bagian Alkitab pada Matius 7:12a, yang berbunyi; “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya
orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka.”
Ayat ini mengisyaratkan satu hal yaitu
melakukan kebenaran kepada sesama. Kalau kita tidak ingin dicurangi, janganlah
berlaku curang. Kalau kita tidak ingin dihakimi, janganlah menghakimi orang
lain, dst. Ingatlah selalu pengajaran yang dilakukan Yesus tidak hanya
berkaitan dengan apa yang harus ketahui dan percayai melainkan melakukan apa
yang harus kita lakukan. Terkait dengan ‘apa yang harus kita lakukan’ tidak
hanya kepada Allah melainkan juga terhadap sesama mahkluk ciptaan yang tidak
bisa dibatasi oleh suku, ras dan golongan.’ Ayat ini dianggap sebagai hukum
emas dalam bidang keadilan, yaitu berbuatlah kepada orang lain seperti yang
kita inginkan mereka perbuat untuk kita. Sederhananya, setiap orang pasti tidak
menginginkan hal-hal buruk terjadi atas dirinya. Orang akan selalu melindungi
dirinya dari berbagai bentuk kejahatan. Kalau demikian, maka orang lain juga
akan melakukan hal yang sama. Karena itu, sebelum kita melakukan tindakan
apapun bertanyalah pada diri kita, bagaimana jika saya sendiri yang mengalami
perlakukan orang lain? Hal ini mengajarkan kita untuk selalu menempatkan orang
lain pada posisi yang setaraf dengan diri kita sendiri. Jika kita memiliki hak
untuk mendapatkan keadilan maka orang lain juga memiliki hak yang sama.
Itu berarti, saat kita berurusan dengan orang
lain, kita harus menganggap diri kita berada dalam masalah dan keadaan yang
sama dengan orang-orang yang berhubungan dengan kita dan
menangganinya sesuai keadaan itu. Berpikirlah, seandainya saya mengalami
keadaaan seperti itu, bagaimanakah saya ingin dan berharap untuk diperlakukan?
Anggapan seperti ini menjadi hal yang wajar. Sebab tidak menutup kemungkinan
kita pasti akan mengalami hal yang sama. Seharusnya kita merasa takut, jangan
sampai Allah dalam penghakimanNya akan perbuat kepada kita apa yang telah kita
perbuat kepada orang lain.
Dengan demikian, marilah kita belajar untuk
tidak memperlakukan orang secara sewenang-wenang tetapi perlakukanlah
sewajarnya seperti yang kita lakukan pada diri sendiri bahkan inginkan orang
lain perbuat kepada kita.
Komentar
Posting Komentar