Kupon Putih
Sejenak aku mengamati aktivitas di salah satu
pasar tradisional. Sore itu ramai sekali dikunjungi orang. Ada yang sementara
menjaga barang dagangannya. Adapula yang sementara asyik menghitung atau
menulis di kertas. Pikirku pasti yang dihitung itu adalah hasil penjualan hari
ini. Aku mecoba mendekati ternyata yang dihitung adalah sederet angka-angka
yang berada pada kupo putih. Aktivitas ini dilakukan seorang diri bahkan
berkelompok.
Aku mulai bertanya pada salah seorang temanku
yang juga saat itu berada di pasar. Rendi…
orang-orang ini semuanya bermalam di pasar ataukah pulang ke rumah? Tanyaku. Jawabnya,
tidak! Ada yang pulang dan ada yang bermalam. Biasanya mereka pulang di atas
jam sebelas atau duabelas malam. Kemudian besok sekitar jam tujuh pagi barulah
mereka kembali lagi. Begitulah penjelasan Rendi.
Kalau begitu kamu tidak berniat untuk pasang
kupon putih, aku mencoba bertanya pada padanya. Entah mengapa ia tidak menjawab
pertanyaanku tetapi ia balik bertanya padaku. Apakah kamu ada mimpi semalam?
Tanya Rendi. Maksudmu mimpi apa? Aku bertanya kembali kepadanya. Iya, mimpi
supaya aku bisa pasang kupon putih. Oh, begitu ya! Mimpi dulu baru pasang kupon
putih, ujarku. Jika demikian semalam aku bermimpi tentang sebuah pohon yang
tercabut dengan akar-akarnya. Mendengar cerita mimpiku itu, ia mengatakan kamu jangan bercanda.
Berdasarkan pengamatan dan percakapan singkat
itu, membuatku berpikir tentang satu hal yaitu kupon putih membuat setiap
berharap mendapatkan mimpi yang bagus agar nomor yang dipasang menjadi angka
yang jitu. Pemberian angka-angka pada kupon putih membuat mereka sangat
bersemangat. Mereka melakukannya dengan sebuah harapan supaya bisa mendapatkan
uang dalam jumlah yang banyak.
Bayangkan korelasinya; tidur malam, mimpi, paginya
pasang nomor, sore dengar hasil, begitu seterusnya dilakukan secara berulang.
Rupanya ini menjadi sebuah kebiasaan yang dapat merugikan manusia itu sendiri.
Sebab kemungkinan untuk mendapatkan nomor yang jitu sangatlah kecil. Sementara
uang yang dikeluarkan setiap hari, misalnya Rp.10.000,- bahkan kemungkinan
lebih sudah bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan yang lain.
Hal lain yang dipikirkan juga adalah orang
tidak lagi melihat pekerjaan sebagai bagian dari merespon potensi yang telah
diberikan Allah. Namun, orang hanya hidup dalam bayang-bayang mimpi dan
berharap besok paginya mimpi yang diperoleh semalam dapat memberikan rejeki.
Tindakan ini mengingatkanku pada sebuah cerita tentang kisah seorang ibu janda.
Ibu ini memiliki dua orang anak. Satunya berada pada kelas 2 SMP dan satunya
lagi berada pada kelas 4 SD. Karena tanggungjawabnya sebagai orangtua tunggal
begitu berat, keesokan harinya ia pergi ke makam suaminya. Ia menangis dengan
terseduh-seduh dan menyampaikan permintaan pada suaminya. Ia mengaduh kalau
tetangga sebelahnya biasa mendapatkan uang dari kupon putih dalam jumlah yang
banyak. Sehingga ia mengharapkan hal yang sama terjadi atas dirinya. Karena itu
ia meminta kepada suaminya yang telah meninggal itu hadir dalam mimpinya dan
memberikan nomor.
Ironi sekali tindakan seperti ini. Bukankah
manusia diberikan kemampuan oleh Allah Sang Pencipta untuk menjalani dan
mengusahakan kehidupan bagi dirinya maupun keluarganya. Ataukah manusia menjadi
pasif dalam bekerja bahkan relasi manusia dengan Allah menjadi terputus karena
tanggungjawab kehidupan yang begitu berat. Realita seperti ini menjadi sebuah
pergeseran nilai dalam bekerja perlahan-lahan mulai terkikis. Tanpa disadari
orang-orang tersebut berada dalam sebuah lingkaran kehidupan yang berpikir
instan. Bekerja dianggap sebagai tindakan yang membosankan dan melelahkan
bahkan untuk mendapatkan hasilnya sangat lama lebih baik tidur dan bermimpi
kemudian mendapatkan nomor yang bisa memberikan uang dalam jumlah yang banyak.
Itulah cita-cita yang diharapkan dari setiap orang yang bersahabat dengan kupon
putih.
Memang diakui kupon putih menjadi solusi yang
paling ampuh bagi sebagian orang yang hidup di zaman sekarang ini. Apalagi
dengan kesulitan mendapatkan lapangan pekerjaan, ditambah dengan tuntutan
ekonomi yang semakin meningkat. Jika itu yang dicari manusia maka selamanya
berputar-putar dalam kehidupan yang dapat menjebak diri sendiri. Manusia
menjadi lupa bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk mengusahakan hidup yang
telah diberikan Allah. Tugas manusia adalah bekerja sesuai kemampuan yang ada
dalam dirinya. Selebihnya berserahlah kepada Allah sebagai sumber kehidupan.
Komentar
Posting Komentar