GEREJA KAUM MISKIN (Suatu Kajian Eklesiologi tentang Pelayanan Gereja terhadap Kaum Miskin di Jemaat GPM Hative Besar)
GEREJA
KAUM MISKIN
(Suatu
Kajian Eklesiologi tentang Pelayanan Gereja terhadap Kaum Miskin di Jemaat GPM
Hative Besar)
SKRIPSI

Untuk Memenuhi
Persyaratan
Mencapai Gelar Sarjana
Sains Teologi (S.Si.Teo)
Diajukan
oleh
Maria
Johanis
NPM:
12120502090064
Kepada:
FAKULTAS TEOLOGI
PROGRAM
STUDI ILMU TEOLOGI
AMBON
2014

“BERKARYA DI DALAM IMAN KASIH DAN PENGHARAPAN
LEMBARAN PERSEMBAHAN
Dengan
Kasih,
Memberiku
Kekuatan dan Kenyamanan
Dengan
Iman,
Memberiku
Keyakinan akan Janji-Mu
Dengan
Pengharapan,
Memberiku
Kesabaran dan Ketekunan
Ketiganya
Membuatku Mengerti Makna Hidup
Dengan
ucapan syukur
Kepada
TUHAN
YESUS KRISTUS
Dan
Dengan
Penuh “CINTA”
Skripsi
ini kupersembahkan untuk-Mu
Mama
Au dan Papa Nus (Alm.) beserta adikku Udi, Ita dan Oya
Lewat
Skripsi ini,
Kukatakan,..
Aku bangga memiliki kalian
Untuk
itu terimalah keberhasilanku sebagai jawaban dari pergumulanmu
Mama….
Serta semuanya
Keberhasilan
ini adalah sebuah langkah awal
(Sesungguhnya tidak pernah berakhir tetapi selalu berawal,
jika berakhir pada satu titik maka titik itu pula akan
menjadi awal)
UCAPAN
TERIMA KASIH
Perjalanan
menempuh pendidikan di Fakultas Teologi UKIM adalah perjalanan yang penuh
perjuangan dan pengorbanan. Terkadang menjadi ragu dan putus asah, ada air
mata, adapula canda-tawa. Dalam perjuangan inilah, penulis sadar bahwa kasih
dan penyertaan Tuhan selalu ada tanpa dibatasi ruang dan waktu. Semua menjadi
kekuatan untuk terus berjuang menempuh pendidikan. Hanya kepada-Mu, penulis
mengucapkan puji syukur dan terima kasih atas penyertaan dan kemurahan-Nya,
studi ini boleh berakhir dengan sukacita.
Berakhirnya
studi ini tentu tidak terlepas juga dari keterlibatan orang-orang yang ada di
sekeliling penulis dengan setia, sabar dan tulus, menemani, membimbing, menolong,
memberikan topangan dan kerja sama. Karena itu, tiada sesuatu yang berarti yang
dapat penulis berikan selain mengucapkan terima kasih dengan hati yang tulus
kepada:
1.
Pihak
Rektorat Universitas Kristen Indonesia Maluku bersama seluruh karyawan dan
karyawati yang telah membantu dan mengarahkan penulis sejak masuk sampai akhir
menulis skripsi ini, Tuhan Memberkati.
2.
Dr.H.Talaway
selaku Dekan Fakultas Teologi beserta seluruh staf Dosen yang telah memberikan
didikan dan bimbingan kepada penulis sejak masuk di Fakultas Teologi UKIM
sampai akhir menulis skripsi ini, Tuhan memberkati.
3.
Dr.I.W.J.Hendriks
dan keluarga, selaku Dosen Pembimbing yang telah meluangkan waktu membimbing
dan mengarahkan penulis dalam proses penulisan sampai penyelesaian skripsi ini,
Tuhan Memberkati.
4.
Dr.C.A.Alyona
selaku Dosen Penasehat Akademik, yang penuh perhatian membina dan memberi
motivasi bagi penulis selama kuliah sampai akhir penulisan skripsi ini, Tuhan
Memberkati.
5.
Seluruh
karyawan dan karyawati Fakultas Teologi yang dengan sabar dan senang hati
melayani penulis selama mengikuti perkuliahan. Mama Bace, Mama Popi, Mama Oke,
Mama Nane, Mama Ita, Mama Co, Usi Yoti dan Bapa Cak, atas bantuan dan
kemudahannya, Tuhan memberkati.
6.
Para
Pegawai Perpustakaan Wilayah kota Ambon, lebih khusus para Pegawai Perpustakaan
UKIM Ambon yang telah membantu penulis untuk memperoleh buku-buku bagi
kelancaran penulisan: Bapa Lex, ibu Co, bapa Kos, usi Maya, dan yang lainnya
yang tidak sempat penulis menyebutkan nama. Terima kasih atas semuanya, Tuhan
Memberkati.
7.
Pengelola
LSPB semester genap 2012-2013: Dr.Cl.Pattinama/K, G.Payer, M.Si yang telah
membina penulis, selama berproses di Kamal, Tuhan Memberkati.
8.
Teman-teman
LSPB Angkatan I Semester Genap 2012-2013, terlebih khusus teman-teman di Walang
Ina Hendriks; Mira, Ulet, Jean, dan Jeny. Terima kasih atas kebersamaan dan
kasih sayang yang diberikan, Tuhan Memberkati.
9.
Teman-teman
FF Generation 09: Jonel (pardos), Ega, Au, Econ, Mira, Rince,
Ulen, Ulet, Jeni, Chepu, Maco, Putri, Lia R, Eko, Lekan, Engel, Jufri, Judhit,
Lia, Dalen, Mitha, Lina, Thalia, Tine, Tita, Viny, Marlen, Fany, Ona, Nando,
Miky, Petrik, Icon, Olan, Ebi S, Ebi L, Ria, Rey, Abner, Hence, Acha, An, Etis,
Usi Ansye, Usi Aca, Usi Iren, Beny, Ema, Merli, Eva, Falen, Felix, Ika, Inka,
Iren, Jean K, Jean N, Jey, Levi, Lisa, Novi, Oga, Rinda, Yuni, Agri, Sari.
Kalian adalah saudaraku yang selalu kubanggakan dan tidak pernah penulis
lupakan. Terima kasih untuk semua yang dibeerikan dalam suka dan duka. Terima
kasih atas kebersamaan yang dibina selama ini “ AKU BISA”, Tuhan Memberkati.
10. Ketua Majelis Jemaat GPM Hative Besar dan Perangkat
Pelayanan, beserta Wadah-wadah pelayanan jemaat, dan semua warga jemaat maupun
Desa yang telah memberikan tempat bagi penulis dalam melakukan proses Live-in
dan juga sebagai tempat penelitian bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini. Terima kasih atas semua dukungannya. Tuhan Memberkati.
11. Keluarga Besar Hendriks; Bapa Oni, Mama Nel, Tanti,
Enca dan Mevi, Keluarga Besar Lelapary; Mama Be, Bapa Poli, dan Mama Lin,
Keluarga Besar Mahubessy; Mama Baya, Bapa Eca, Bu Hard dan Egi, Keluarga Besar
Leatemia; Mama Ko, Kaka In, Ade Elin dan Kak Lin, Keluarga Besar Nunumete; Oma
Ita, Mama Omi, Jean, Stevi dan Etis, Keluarga Besar Tuasun; Mama Nona, Bapa
Hans, Silvia dan Jorgen. Terima kasih atas, fasilitas dan bantuan yang
diberikan selama proses Live-in maupun penelitian, Tuhan Memberkati.
12. Rekan-rekan Wadah Pelayanan Pemuda Sektor Anggrek
Jemaat Kategorial Pniel-Bentas, yang juga memberikan motivasi bagi penulis
selama berstudi sampai penyusunan skripsi. Terima kasih atas batuan yang
diberikan. Tuhan Memberkati.
13. Potensi Gerakan GMKI Cabang Ambon, terkhususnya
Komisariat Teologi UKIM, yang turut membentuk karakter penulis dalam
berorganisasi selama berstudi. Terima kasih atas kerja sama dan batuannya.
Tuhan Memberkati.
14. Rekan-rekan Persekutuan Mahasiswa Asal Pulau Kisar
beserta para Pembina yang selalu memberikan motivasi bagi penulis selama
berstudi. Terima kasih atas kebersamaan dan pengorbanan yang kalian berikan,
Tuhan Memb erkati.
15. Specially, Papa Nus (Alm.) dan Mama Au, beserta adik-adikku;
Udi, Ita dan Oya. Terima kasih buat pengobanan, cinta dan doa yang kalian
berikan. Kalian adalah bagian dari hidupku. Kalian adalah anugerah terindah
dalam hidupku. Di balik keberhasilan penulis, kalian adalah kelurga yang selalu
ada dan terus menopang. Tiada hal yang terindah yang dapat penulis berikan,
hanyalah “Doa” yang dapat diberikan. Tuhan Memberkati.
16. Keluarga Besar Bakker/Rainuny: Oma Zus, Om Oce, Om
Angki, Tanta Mia, Tanta Ata, Tanta, Ace, Tanta Nona, Oma Karpan, Tanta Neli, Om
Rein, Om Faron, Farah, Injil, Rigel, Jean, Firji, Lala, Nyong, Resya, Jordan,
Steven. Terima kasih telah menjadi
keluarga bagi penulis, selama berstudi. Terima kasih untuk semuanya, Tuhan
Memberkati.
17. Keluarga Besar Rupidara di Madara; Om Niko, Tanta
Engge, Om Okto, Oma Mia, Opa Maku, Om Stevi, Tanta Lusi, Om Pit, Om Semi, Tanta
Tin, Tanta Adu, Om Dan, Kaka Oya, Kaka Welem, Kaka Opi, Geli, Opa Uben, Oma
Pau, Oma Tin, Tanta Dor, Tanta Ata, Tanta Uli, Om Oyang, Om Dadi, Tanta Ko,
beserta semua keluarga yang lain yang tidak sempat penulis sebutkan nama.
Terima kasih atas, Doa, Cinta dan Kasih Sayang yang diberikan bagi penulis.
Tuhan Memberkati.
18. Semua Keluarga Besar Johanis/Rupidara di mana saja
berada; Opa, Oma, Om, Tante, Kakak, Adik dan semuanya. Terima kasih atas
dukungan dan bantuan yang kalian berikan bagi penulis. Tuhan Memberkati.
19. Keluarga Besar Petrus di Eiwuri: Oma Oyang Ros, Opa
Chau, Opa Yai, Opa Loy, Opa Oyang, Oma Inai, Oma Yeni, Opa Edi, Oma Ida, Opa
Oyang Orlando, Tanta Oca, Tanta Rara, beserta keluarga yang lain yang tidak
sempat penulis sebutkan nama. Terima kasih atas bantuan dan dukungan yang
diberikan bagi penulis selama berstudi. Tuhan Memberkati.
20. Sahabat tercinta; Ena, Edi, Au, Econ yang selalu setia
membantu dan menolong penulis. Terima kasih atas kebersamaan dan kasih sayang
yang kalian berikan selama ini di saat suka maupun duka. Pengalaman bersama
kalian adalah “Mutiara Berharga”, Tuhan Memberkati.
21. Kepada semua pihak yang telah membantu penulis, baik
dalam proses belajar mengajar maupun dalam proses penyelesaian skripsi ini,
atas semua yang telah penulis terima. Penulis tidak dapat membalasnya, hanyalah
“Doa” yang penulis panjatkan sebagai ungkapan terima kasih, semoga Tuhan Yesus
Memberkati kita semua.
Penulis
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Maha
Esa, karena atas kasih dan penyertaanNya penulis mampu melewati setiap
tantangan yang dihadapi. Sehingga skripsi ini dapat dirampungkan guna memperoleh
Gelar Sarjana Sains pada Fakultas Teologi UKIM.
Dalam keterbatasan penulis, skripsi ini boleh
dirampungkan dengan judul “Gereja Kaum Miskin; Suatu Kajian Eklesiologis
tentang Pelayanan Gereja terhadap Kaum Miskin”. Bilamana melalui skripsi ini, penulis
hendak memberikan deskripsi yang jelas
tentang faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kemiskinan dan pelayanan
gereja terhadap kaum miskin.
Namun, dengan segala keterbatasan dan kekurangan
dalam proses penulisan skripsi ini. Penulis sangat mengharapkan kontribusi
pikiran, baik saran maupun kritik dari setiap pembaca demi penyempurnaan
penulisan ini.
Akhirnya dengan penuh kebanggaan, kiranya skripsi
ini dapat bermanfaat.
“Nos
Autem Praidicamus Christum Crucifixum”
Ambon, April 2014
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
|
……………………………
|
i
|
LEMBARAN PERSETUJUAN
PEMBIMBING
|
……………………………
|
ii
|
LEMBARAN PERSETUJUAN
JURUSAN
|
……………………………
|
iii
|
LEMBARAN PENGESAHAN
|
……………………………
|
iv
|
LEMBARAN PERSEMBAHAN
|
……………………………
|
v
|
MOTTO
|
……………………………
|
vi
|
KATA PENGANTAR
|
……………………………
|
vii
|
UCAPAN TERIMA KASIH
|
……………………………
|
viii
|
DAFTAR TABEL
|
……………………………
|
ix
|
DAFTAR ISI
|
……………………………
|
x
|
BAB I: PENDAHULUAN
|
|
|
A.
Latar Belakang Masalah
|
……………………………
|
1
|
B.
Perumusan Masalah
|
……………………………
|
4
|
C.
Tujuan Penulisan
|
……………………………
|
5
|
D.
Manfaat Penulisan
|
……………………………
|
5
|
E.
Kerangka Teori
|
……………………………
|
6
|
F.
Kerangka Pikir
|
……………………………
|
13
|
G.
Metode Penelitian
|
……………………………
|
15
|
|
|
|
BAB II: GAMBARAN UMUM
DAN ANALISA DATA
|
|
|
A.
Gambaran Umum
|
……………………………
|
20
|
B.
Deskripsi Data dan Analisa
|
……………………………
|
31
|
C.
KesimpulanAnalisis
|
……………………………
|
71
|
BAB III: REFLEKSI
TEOLOGI
|
|
|
A.
Tanggung Jawab Gereja terhadap
Kaum Miskin
|
……………………………
|
73
|
B.
Pelayanan Pelayanan yang
Memberdayakan Kaum Miskin
|
……………………………
|
79
|
BAB IV: PENUTUP
|
|
|
A.
Kesimpulan
|
……………………………
|
88
|
B.
Saran
|
……………………………
|
90
|
DAFTAR PUSTAKA
|
|
|
LAMPIRAN
|
|
|
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Pada dasarnya kemiskinan merupakan masalah yang
sangat kompleks dan menjadi bagian dari masalah global. Situasi kemiskinan pun
dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat baik di daerah terpencil, pedesaan, perkotaan maupun pinggiran
kota. Fenomena yang dirasakan juga sangatlah beragam. Ada yang mengalami
kemiskinan karena faktor sumber daya manusia maupun alam bahkan juga
dipengaruhi oleh situasi sosial kemasyarakatan.[1] Terlebih khusus di Maluku, tentu
setiap orang akan mengatakan bahwa Maluku adalah negeri
yang kaya dengan sumber daya alam yang berkelimpahan karena itu tidak ada orang
yang miskin. Memang benar adanya pernyataan yang demikian, namun apalah artinya
memiliki sumber daya alam yang kaya tetapi tidak berimbang dengan sumber daya
manusia yang belum memiliki kemampuan untuk mengelola.
Kendati demikian,
dalam realitas kehidupan sehari-hari, ada yang mau mengakui situasi kemiskinan
yang dialami baik secara individu maupun kelompok tetapi ada pula yang tidak
mau mengakui. Artinya, orang akan enggan jika mereka disebut sebagai orang-orang yang
dikategorikan miskin. Sangatlah ironis orang menolak pengkategorian sebagai
yang miskin tetapi pada saat adanya bantuan dari pemerintah, seperti RASKIN
orang berbondong-bondong untuk menerimanya.
Seringkali orang yang mestinya
menerima bantuan tersebut (memiliki hak)
karena kemiskinan mereka justru tidak mendapat bagian. Bantuan-bantuan yang diberikan,
seperti yang telah disebutkan di atas merupakan salah satu cara untuk mengurangi beban
kaum miskin dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selebihnya cara tersebut
tidak mampu untuk membawa kaum miskin keluar dari mata rantai kemiskinan. Karena
itu, diberbagai tempat cara yang dipakai
untuk mengatasi kemiskinan pun sangatlah beragam dengan menggunakan
standarisasi tertentu.
Jemaat GPM Hative Besar yang merupakan bagian dari
jemaat pinggiran kota tentu kondisi kemiskinan juga dirasakan. Jika dilihat dari potensi
sumber daya alam, belum diberdayakan secara maksimal untuk penguatan ekonomi
keluarga. Kegiatan pertanian pun masih dilakukan secara tradisional. Misalnya,
tanaman cengkeh yang dimiliki oleh anggota jemaat, ketika dipanen selalu
mendapatkan hasil yang berbeda dari setiap tahun. Hal ini disebabkan, oleh cara
perawatan dan pemeliharaan yang tidak maksimal. Artinya, cara perawatan dan
pemeliharaan hanya menitikberatkan pada bantuan alam. Selain itu pula orang hanya bekerja untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari tanpa perencanaan sebuah masa depan. Dengan kata lain,
bekerja hanya untuk makan hari ini.[2]
Ketergantungan terhadap alam mengakibatkan rendahnya
sumber pendapatan yang sangat mempengaruhi sumber daya manusia, terkhususnya
pada pendidikan anak-anak. Ada anak-anak yang putus sekolah karena keterbatasan
biaya. Begitu pula kesadaran orang tua untuk menyekolahkan anak ke perguruan
tinggi menjadi sangat rendah.[3]
Itu berarti, perlu adanya upaya keseimbangan antara sumber daya manusia dan
sumber daya alam yang memiliki hubungan timbal balik.
Selain itu, kesehatan juga menjadi salah satu bagian
penting dalam menopang produktivitas sumber daya manusia. Jika lingkungan
kurang bersih, maka manusia sangat rentang terhadap penyakit. Misalnya,
pengadaan air bersih untuk konsumsi keluarga. Sistem sanitatasi lingkungan dan
pembangunan jalan yang belum tertata mengakibatkan jemaat lebih memilih untuk
memanfaatkan air kali demi kebutuhan sehari-hari.[4]
Kondisi yang demikian
tentu sangat mempengaruhi kehidupan bergereja. Artinya, Gereja perlu
memberdayakan umat dalam mengelola sumber daya alam. Upaya tersebut juga
mempunyai keterkaitan adanya perubahan pola pikir yang hanya bergantung
terhadap alam. Dengan kata lain,
orang hanya mau mengambil tanpa adanya usaha untuk mengusahakan dan memelihara kebunnya. Tindakan ini jika diulangi secara terus-menerus
akibatnya,
alam yang tadi-tadinya dikatakan kaya secara perlahan-lahan menjadi musnah.
Akhirnya alam yang kaya hanya menjadi sebuah slogan yang indah dan membuat
orang merasa bangga di atas
ketidaktahuan bertambahnya angka kemiskinan. Sehingga
gereja perlu melakukan pembinaan secara berkelanjutan
dalam membangkitkan kesadaran umat untuk tidak bergantung terhadap alam.
Sehubungan dengan itu, gereja juga perlu melakukan kerja sama dengan pemerintah
demi keseimbangan hidup, baik terhadap sumber daya alam maupun sumber daya
manusia.
Hal inilah yang hendak penulis telusuri sebagai bahan
penulisan. Dengan memilih Jemaat GPM Hative Besar
sebagai tempat yang strategis untuk diteliti dalam mengembangkan pemahaman eklesiologis
yang menyentuh realitas jemaat.
B.
Perumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka masalah dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan
kemiskinan di Jemaat Hative Besar?
2. Bagaimana
kaum miskin mendapat pelayanan gereja di Jemaat GPM Hative Besar?
C.
Tujuan
Penulisan
Bedasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari
penelitian ini adalah :
1. Mengkaji
faktor-faktor yang menyebabkan kemiskinan di Jemaat GPM Hative besar.
2. Mengkaji
pelayanan gereja terhadap kaum miskin.
D.
Manfaat
Penulisan
Berdasarkan tujuan yang tertera di atas, maka manfaat
dari penelitian:
o
Manfaat Akademis:
Agar dapat melahiran cara
berteologi secara baru dan memberikan kontribusi akademik dalam memahami
eklesiologi yang muncul dari setiap realita kehidupan yang kompleks.
o
Institusional :
Menjadikan proses ini sebagai
bahan evaluasi bagi kehidupan bergereja, baik sebagai institusi maupun
persekutuan untuk tetap menjadi gereja yang terus dibaharui.
o
Manfaat Praktis :
Menjadikan setiap
problematika konteks sebagai acuan atau langkah awal untuk menyelamatkan
manusia dari setiap penderitaan yang dialami.
E.
Kerangka
Teori
Kemiskinan merupakan keadaan di mana terjadi
ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat
berlindung, pendidikan, kesehatan, lapangan kerja, nilai-nilai hidup,
kebahagiaan dan kegembiraan, kepenuhan hidup, kekurangan cita-cita dan impian,
tekad dan kemauan, kemungkinan dan kesempatan, kekurangan keadilan, kebebasan
dan perdamaian.[5]
Secara sederhana, Levitan (1980) mendefinisikan kemiskinan sebagai kekurangan
barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan untuk memenuhi
standarisasi hidup yang layak.[6] Bagi sebagian ahli, kemiskinan seringkali
dilihat sebagai fenomena ekonomi seperti, rendahnya tingkat pendapatan, lajunya
arus urbanisasi, tidak memiliki pekerjaan yang tetap maupun ketergantungan
hidup terhadap mata pencaharian tertentu.
Kemiskinan dari aspek ekonomi terbagi atas dua
bagian yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut mencakup
kubutuhan primer, seperti pangan, sandang, papan, kesehatan (air bersih,
sanitasi), kerja yang wajar dan pendidikan dasar. Kemudian kebutuhan sekunder,
seperti rekreasi dan partisipasi dalam kegiatan sosial. Sedangkan kemiskinan
relatif mengacu pada pembagian pendapatan nasional. Pada bagian ini, adanya
pemberlakuan sistem kelas antara yang kaya dan miskin. Ada yang memiliki
pendapatan di atas rata-rata, menengah dan pas-pasan. Sehingga terdapat empat
kelompok manusia yaitu kelompok kaya, relatif kaya, relatif miskin dan miskin.[7]
Pendapat ini hendak menegaskan bahwa kemiskinan
merupakan keadaan ketidakberdayaan manusia dalam mempertahankan kehidupannya.
Kemiskinan yang dialami oleh Jemaat GPM Hative Besar sebagai bentuk dari
ketidakmampuan warga jemaat dalam mengelola alam yang telah tersedia. Hal ini
terjadi sebagai akibat dari lemahnya faktor sumber daya manusia. Jika demikian,
maka rendahnya tenaga profesional dalam mengelola alam.[8]
Jemaat hanya bergantung pada apa yang alam berikan tanpa ada usaha untuk
mengembangkannya. Dengan kata lain, sistem kerja jemaat adalah sistem kerja
musiman (perhitungan musim) yang mengakibatkan ketergatungan terhadap alam
sebagai sumber pendapatan keluarga. Karena itu, terdapat tiga masalah utama
kemiskinan, yaitu (1), terbatasnya mutu pangan, (2), terbatasnya mutu layanan
kesehatan, (3), terbatasnya tingkat pendidikan.
Menurut Weinata Sairin tantangan terbesar dalam
menghadapi dunia sekarang ini yaitu menghadapi persaingan dan kesempatan kerja.
Persaingan tersebut tidak hanya cukup dihadapi dengan ketrampilan tangan dan
kekuatan otot tetapi akan lebih banyak dihadapi adalah persaingan “otak” dan
kepribadian. Semuanya menuntut mutu pendidikan yang tinggi dan pribadi-pribadi
yang matang dalam banyak hal yang dilandasi dengan kematangan iman.[9] Pendapat yang demikian benar adanya, karena
manusia dianugerahi akal dan fisik yang menunjang kehidupan. Tetapi kedua hal
ini, jika tidak diasah melalui sebuah pendidikan formal maupun
pelatihan-pelatihan tertentu, maka manusia akan bertumbuh menjadi manusia yang
kurang berkualitas dan tidak mampu bersaing.
Kemiskinan berdasarkan faktor penyebab dibedakan
menjadi dua ketegori. Pertama, kemiskinan alamiah, yaitu kemiskinan yang timbul
sebagai akibat kelangkaan sumber-sumber daya maupun tingkat perkembangan tekonologi yang sangat
rendah. Kedua, kemiskinan buatan, yaitu kemiskinan yang terjadi karena struktur
sosial yang ada membuat anggota atau kelmpok masyarakat tidak menguasai sarana
ekonomi dan fasilitas-fasilitas secara merata.[10]
Dalam kehidupan Jemaat GPM Hative Besar, situasi ini
memang sangat dirasakan. Anggota jemaat
tidak mampu bersaing dengan dunia pasar. Artinya, kemampuan kerja hanya
berorientasi pada pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Bagi Brownlee, kondisi yang
demikian sebagai bentuk dari kemiskinan material. Dengan kata lain, kondisi
tersebut menjadikan Jemaat GPM Hative Besar sangat terbatas secara materi.
Kurangnya uang dan harta benda mengakibatkan orang menjadi kurang gizi, sering
sakit maupun kurangnya ketrampilan atau pendidikan.
Sehingga terlihat bahwa kemiskinan yang dialami oleh
Jemaat Hative Besar dapat dilihat dalam dua aspek yaitu pertama, kemiskinan alamiah yaitu kehidupan yang bergantung
terhadap alam atau musim. Kedua, kemiskinan
dilihat sebagai kebudayaan/mental. Kemiskinan ini disebabkan oleh taraf
pendidikan yang rendah sehingga mengakibatkan sempitnya cakrawala berpikir.
Misalnya, menjadi petani atau nelayan karena tradisi secara turun temurun.[11] Kedua
aspek ini menunjukkan bahwa melemahnya sumber daya manusia sebagai akibat dari
rendahnya tingkat pengetahuan, dan akses terhadap informasi, pendidikan,
pelatihan dan bimbingan. Dengan kata lain, apabila pendapatan rendah,
pendidikan pun menjadi rendah, produktivitas pun menjadi rendah bahkan produksi
juga menjadi rendah. Hal-hal ini menyantu bagaikan lingkaran yang saling
mempengaruhi satu dengan yang lain.[12]
Ada variabel-variabel tertentu yang dipakai untuk
mengukur sebuah realitas kemiskinan dari aspek kepemilikan, seperti yang
digagas oleh Badan Pusat Statistik. Ukuran kemiskinan digambarkan sebagai
berikut; tiap rumah tangga harus memiliki luas lantai 8m2, jenis lantai bukan
tanah, ketersediaan air bersih, keberadaan jamban, kepemilikan asset, variasi
konsumsi lauk-pauk, pembelian pakaian (membeli pakaian satu stel pakaian dalam
satu tahun) dan mengambil bagian dalam kegiatan sosial. Kedelapan variabel
tersebut telah mencakup aspek sosial dan ekonomi penduduk atau rumah tangga di
antaranya aspek sandang, pangan, perumahan, kepemilikian asset dan aktivitas
sosial. Pada tahun 2002 kedelapan aspek tersebut ditambahkan satu variabel lagi
yakni jika rumah tangga yang mendapat skor 5 atau tidak dapat memenuhi
variabel-variabel tersebut sampai 5 berarti dikategorikan miskin. [13]
Di dalam Alkitab konsep tentang kemiskinan memiliki
makna yang sangat mendalam. Arti pokok dari kemiskinan adalah keadaan yang
buruk dan keji yang menghina martabat manusia dan berlawanan dengan kehendak
Allah. Bilamana pada masa Pentateukh, kemiskinan hanya dimengerti sebagai kesusahan
untuk memiliki harta milik atau materi.
Makna kemiskinan pada masa nabi-nabi maupun di dalam kitab-kitab Puisi
dan Hikmat, bukan hanya pada kekurangan harta milik, tetapi lebih dari itu
merujuk kepada orang yang dimarjinalkan, ditindas dan dimiskinkan oleh
penguasa, tua-tua dan orang kaya maupun kemiskinan secara fisik dan spiritual.[14]
Dalam Perjanjian Lama, ada beberapa istilah yang dipakai untuk menyebut kaum
miskin yaitu ebyon (orang yang
menginginkan dan membutuhkan sesuatu), dal
(orang yang lemah dan tidak berdaya), ani
(orang yang terbungkuk, yang diinjak dan diperas orang lain), anaw yang sama artinya dengan ani tetapi bermakna religius (orang yang
rendah hati di depan Allah).[15]
Begitu pula di dalam Kitab Injil, lebih diperjelas
lagi bahwa orang yang disebut miskin adalah orang yang lapar, menderita sakit,
kusta, orang yang membawa beban, orang yang terhilang dan pendosa. Istilah yang
dipakai adalah ptokos berarti orang
yang begitu melarat sehingga tidak dapat
hidup kecuali mengemis. Selain itu kata-kata yang memiliki makna sinonim yaitu
“Tidak berdaya”, “Terbungkuk”, “Melarat” menerangkan keadaan yang sangat hina
(dapat dilihat pada kisah Ayub 24:7-12). Pada kondisi inilah orang meminta
pertolongan kepada Allah untuk mendapatkan keadilan.[16]
Sehubungan dengan realita kemiskinan yang sangat
kompleks tentunya gereja memiliki peranan yang sangat penting. Keikutsertaan
gereja dilihat sebagai sikap solidaritas terhadap kaum miskin yang merupakan
tugas utama dalam pekabaran injil. Hal ini nampak dalam konperensi pekabaran
injil di Melbourne. Konperensi tersebut merujuk pada satu kesimpulan bahwa
gereja ikut serta dalam mission Dei
yang berarti gereja memberi perhatian istimewa kepada mereka yang diperhatikan
secara khusus oleh Allah yaitu mereka yang lemah secara ekonomi dan politik.
Karena itu, mission dei juga berarti
bahwa gereja yang percaya kepada Allah yang membebaskan, memberikan pengharapan
kepada kaum tertindas dan memperjuangkan pembebasan.[17]
Jadi, di Melbourne kaum miskin diletakkan di pusat refleksi misiologis atau
menjadi prioritas utama dalam misi Kristen. Pada misi ini, hal utama yang
diperhatikan adalah misi pembebasan. Guiterrez, mendefinisikan teologi
pembebasan sebagai “suatu ungkapan hak kaum miskin untuk berpikir dari iman
mereka sendiri”.[18]
Pembebasan mesti dilihat pada prespektif Kerajaan Allah.
Pemahaman yang demikian, memiliki makna yang sama dengan
kehidupan Jemaat GPM Hative Besar. Artinya, misi pembebasan yang ungkapkan oleh
Guiterrez juga memiliki keterkaitan
dengan konteks kemiskinan yang dialami oleh sebagian anggota Jemaat GPM Hative
Besar. Misi pembebasan yang dilakukan oleh Guiterrez bertujuan untuk mengangkat harkat dan martabat manusia atau
berjuang demi kemanusiaan. Hal yang sama pula perlu dilakukan di Jemaat GPM
Hative Besar. Bilamana, kaum miskin di Jemaat GPM Hative Besar mestinya
dibebaskan dari kondisi kemiskinan yang dialami baik secara individu maupun
terhadap sistem sosial yang berlaku dalam jemaat maupun masyarakat.
Upaya untuk mewujudkan kehidupan manusia yang bermartabat
merupakan bagian dari tugas gereja dalam menghadirkan Kerajaan Allah. Bagi
gereja, Yesus Kristus adalah sumber pelayanan Kristen yang diarahkan pada
manusia baik fisik maupun rohani, baik pribadi maupun kelompok.[19]
Gereja dilihat sebagai representasi dari tindakan-tindakan Allah yang berperan
aktif di dalam seluruh sejarah kehidupan manusia. Karena itu, berbicara tentang
gereja ada tiga aspek yang saling berkaitan yaitu institusi
(persekutuan/koinonia), etika (pelayanan / diakonia) dan ritual (kesaksian /
marturia).[20]
Ketiga aspek ini menjadi hal yang sangat penting dalam upaya melihat
keberpihakan gereja terhadap kaum miskin. Gereja yang mewartakan Kerajaan Allah
tidak hanya dengan kata-kata tetapi juga melalui tindakan.
F.
Kerangka
Berpikir
Kemiskinan yang dialami oleh manusia baik secara
individu maupun kelompok merupakan bagian dari situasi yang tidak seimbang.
Artinya, timbulnya kemiskinan sebagai akibat dari ketidakseimbangnya kehidupan.
Di satu sisi, setiap manusia tidak menginginkan terjadinya kemiskinan atau
tidak mau mengalami kemiskinan tetapi karena situasi tertentu membuat sehingga
manusia harus merasakan kemiskinan dan bergumul dengan situasi tersebut. Di
lain sisi, secara sadar maupun tidak, situasi kemiskinan merupakan realita yang
sangat menakutkan bagi sebagian orang. Sedangkan bagi sebagian orang yang lain,
kemiskinan menjadi sumber keberuntungan atau kekuatan. Misalkan ketidakmampuan
dalam mengelola sumber daya alam mengakibatkan sumber pendapatan rendah. Ketika
sumber pendapatan rendah akan mempengaruhi kebutuhan manusia. Dengan kata lain,
manusia hanya bisa memenuhi kebutuhan hidupnya di masa sekarang tanpa adanya
sebuah target untuk mencapai masa depan. Hal ini sangat berpengaruh kepada
kelompok usia produktif. Jika situasi ini dibiarkan secara terus-menerus, maka
akan menimbulkan pihak yang dikuasai maupun menguasai atau mengakibatkan
kesenjangan sosial antara orang kaya dan orang miskin.
Dengan situasi yang demikian, perlu adanya pola
kehidupan yang lebih layak. Karena itu, gereja yang dilihat sebagai
representasi kehadiran Allah di dalam sejarah kehidupan manusia memiliki
peranan penting untuk mencapai perubahan. Artinya, iman kepada Yesus Kristus
mestinya terwujud dalam kehidupan sehari-hari. Dalam ajaran Alkitab maupun kehidupan
gereja mula-mula, perhatian kepada kaum miskin tidak boleh hanya dibatasi pada
hal pemberian materi melainkan adanya upaya pemberian kesempatan untuk mencapai
perubahan, misalkan usaha untuk mendapatkan kesehatan maupun pendidikan yang
layak.
Kendati demikian, kehidupan yang saling membantu
untuk memperoleh keseimbangan seringkali berlawanan dengan apa yang dipahami
atau diajarkan Yesus. Hal inilah yang kemudian disebut sebagai diakonia
karitatif yang menciptakan ketergantungan dari yang lemah kepada yang
kuat.Bukanlah berarti diakonia karitatif tidak penting tetapi mesti dipahami
bahwa pelayanan ini hanya sebatas tanggap darurat. Selanjutnya, manusia
diajarkan untuk mempergunakan berbagai kesempatan demi mencapai perubahan
kehidupan.
Sehubungan dengan memahami “gereja kaum miskin”
tidak boleh dibatasi pada “gereja untuk orang miskin” atau gereja yang hanya
terdiri dari orang-orang miskin melainkan haruslah dipahami sebagai bentuk
pemaknaaan terhadap tindakan solidaritas yang dilakukan oleh Allah untuk
mengubah struktur kehidupan yang tidak adil. Sebab, kehidupan yang tidak adil
sering mengakibatkan terjadinya kesenjangan sosial, jurang pemisah antara yang
kaya dan yang miskin. Pemaknaan terhadap kata “mendahulukan” kaum miskin tidak
boleh dipahami secara eksklusif, seolah-olah Allah hanya tertarik kepada kaum
miskin. Begitu pula dengan kata “pilihan” tidak boleh ditafsirkan sebagai
“manasuka”. Sebaliknya, maksudnya ialah kaum miskin adalah yang pertama tetapi
bukan satu-satunya yang menjadi perhatian Allah. Karena itu, tidak ada pilihan
lain bagi gereja selain menunjukkan sikap solidaritas terhadap kaum miskin.
G.
Metode Penelitian
1.
Jenis
Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif
dengan metode deskritif. Metode deskritif adalah suatu metode dalam meneliti
status sekelompok manusia, suatu objek , suatu kondisi, suatu pemikiran ataupun
suatu peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian adalah untuk membuat
deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis dan akurat mengenai fakta-fakta,
sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diteliti.[21]
2.
Tempat
dan Waktu Penelitian
· Tempat
: Jemaat GPM Hative Besar
· Waktu :
November – Desember 2013
3.
Sumber Data
· Warga
jemaat : Orang yang dilihat
representase dari kaum miskin
· Perangkat
pelayan : Pendeta dan majelis jemaat
4.
Teknik Pengumpulan Data
Dalam penulisan ini penulis menggunakan teknik
pengumpulan data sebagai berikut:
o
Observasi,
dilakukan untuk mengetahui; 1) kemampuan kaum miskin dalam memenuhi kebutuhan
dasar, 2) melakukan peran sosial. Kegiatan ini merupakan pengamatan secara
langsung di lokasi penelitian untuk memperoleh data informasi dari informan
sesuai dengan permasalahan yang diteliti.
o
Wawancara, adalah
teknik pengumpulan data, di mana peneliti bertemu langsung dengan informan secara
individu dan melakukan wawancara terbuka berdasarkan instrumen penelitian yang
telah disusun. Informan yang dipilih sebagai sampel merupakan represtasi dari
kaum miskin (pemilihan informan diambil secara sengaja berdasarkan kriteria
tertentu).
o
Studi
pustaka, mengumpulkan bahan atau data tertulis melalui buku atau
dokumen-dokumen lain untuk memperoleh data yang lengkap. Data ini dijadikan
sebagai sumber data sekunder. Sedangkan data yang diperoleh dari hasil
wawancara dijadikan sebagai sumber data primer.
5.
Teknik
Analisa Data
Dalam pelaksanaan penganalisaan diperlukan beberapa
langkah sebagai berikut:
o
Reduksi data. Maksudnya adalah data yang
diperoleh di lapangan atau diketik dalam bentuk uraian atau laporan yang
terperinci. Laporan ini akan terus-menerus bertambah dan akan menambah
kesulitan bila tidak dianalisis sejak mulanya. Laporan-laporan itu perlu
direduksi, dirangkum, dipilih hal-hal yang pokok dan difokuskan pada hal-hal
yang penting serta dicari tema atau polanya. Data-data yang telah memberikan
gambaran yang lebih tajam tentang hasil pengamatan dan mempermudah peneliti
untuk mencarinya, jika sewaktu-waktu diperlukan.
o
Display data
agar dapat melihat gambar keseluruhan atau bagian-bagian tertentu untuk
mengambil kesimpulan yang benar, harus diusahakan membuat berbagai pencatatan
agar dapat menguasai data dan tidak tenggelam dalam tumpukan detail. Membuat
display juga merupakan upaya menyajikan data dalam bentuk matrik, network chart
atau grafik.
o
Mengambil kesimpulan dan verifikasi. Sejak
semula peneliti berusaha mencari makna dari data yang telah diperoleh dari
hasil wawancara. Untuk maksud itu, peneliti berusaha mencari pola, model, tema,
hubungan, persamaan, hal-hal yang sering muncul, hipotesis, dsb. Data awal yang
diperoleh sangatlah banyak, karena itu verifikasi diperlukan untuk mengumpulkan
data yang baru.[22]
6.
Definisi
Operasional
Kaum miskin: Orang-orang yang hidup
dibawah taraf kewajaran atau mengalami dampak dari kesenjangan sosial yang
mengakibatkan ketergantungan pada lingkungan sebagai bentuk dari
ketidakberdayaan.
Gereja Kaum Miskin: Gereja yang
melibatkan diri dalam pilihan cinta kasih untuk mendahulukan kaum miskin dan
percaya kepada Allah yang membebaskan, memberikan pengharapan kepada kaum
tertindas dan memperjuangkan pembebasan.
Kerajaan Allah : Pemberlakukan
suatu cara hidup yang didasarkan pada pengampunan yang telah Allah tawarkan
sebagai analogi seorang raja yang meminta pertanggungjawaban dari
budak-budaknya.
7. CARA
PENYAJIAN
Tulisan ini disajikan dalam sistematika sebagai berikut:
BAB I, Pendahuluan: Latar Belakang, Perumusan Masalah,
Pembatasan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan,
Kerangka Teori, Kerangka Pikir, Metode
Penelitian (Jenis Penelitian, Tempat dan Waktu Penelitian, Sumber Data, Teknik
Pengumpulan Data, Teknik Analisa Data, Definisi Operasional dan Cara
Penyajian). BAB II, merupakan bagian
Gambaran Umum dan Analisa Data. BAB III, berisikan Refleksi
Teologis. BAB IV, merupakan bagian Penutup yang berisikan Kesimpulan dan Saran.
BAB
II
GAMBARAN
UMUM DAN ANALISA DATA
I. GAMBARAN UMUM JEMAAT GPM HATIVE BESAR
A.
Letak
Geografis
Jemaat GPM Hative Besar berada di
desa Hative Besar Kecamatan Teluk Ambon secara astronomis berada pada posisi
128,1041’45” – 128,1019’77” Bujur Timur dan 03,6075’29”
- 03,6085’46” Lintang Selatan dengan batas sebagai berikut:
-
Sebelah Timur berbatasan dengan Jemaat GPM
Souhuru
-
Sebelah Barat berbatasan dengan Jemaat GPM
Palungan Kasih
-
Sebelah Utara berederetan dengan hutan daerah
pertanian umat
-
Sebelah Selatan dengan pesisir laut Teluk Ambon
luar
Keadaan
geografis di permukaan wilayah Jemaat GPM Hative Besar memiliki permukaan bumi
yang menonjol tinggi yang terdiri atas gunung, lereng gunung dan kaki gunung.
Dengan pengunungan adalah daerah yang terdiri atas bukit-bukit dan
gunung-gunung yang berbentuk suatu rangkaian dengan kelerengan 0-45%.
Dengan panjang
wilayah pelayanan jemaat + 2,8 Km. Jika dilihat dari letak geografis wilayah,
maka umumnya pemukiman anggota jemaat tersebar di sepanjang pesisir Jemaat GPM
Hative Besar dan sebagian wilayah Jemaat GPM Palungan Kasih Negeri Tawiri[23]
B.
Demografi
Jumlah anggota Jemaat GPM Hative
Besar adalah sebanyak 2044 jiwa atau 470 KK yang terdiri dari anggota jemaat
laki-laki 1031 orang atau 50,49% dan jumlah anggota jemaat perempuan 1013 orang
atau 49,56%[24]
C.
Sosial
ekonomi
Kondisi ekonomi jemaat sangat
beragam, sesuai dengan pekerjaan masing-masing keluarga. Seperti yang tergambar
pada tabel di bawah ini:
Tabel
01
Pekerjaan
Jemaat
No.
|
Pekerjaan
|
Frekuensi
|
Presentase
|
1.
|
Pegawai
Negeri Sipil
|
83
|
17,66%
|
2.
|
Pegawai
Swasta
|
60
|
12,77%
|
3.
|
Petani
|
141
|
30
%
|
4.
|
Nelayan
|
49
|
10,43%
|
5.
|
Pedagang
|
4
|
0,85%
|
6.
|
Wirausaha
|
42
|
8,94%
|
7.
|
TNI/POLRI
|
5
|
1,06
|
8.
|
Pensiunan
|
41
|
8,72%
|
9.
|
Sopir
|
6
|
1,28%
|
10.
|
Bekerja
tidak tetap
|
17
|
3,61%
|
11.
|
Tidak
bekerja
|
22
|
4,68%
|
|
Total
|
470
|
100 %
|
Sumber: data renstra
jemaat
Berdasarkan tabel di atas,
presentase terbesar adalah orang yang bekerja sebagai petani. Sebagai
gambarannya ada petani yang memiliki lahan di atas 1-3 hektar yang sudah
ditanami tanaman umur pendek berupa sayur-sayuran dan umbi-umbian yang hanya
menghasilkan uang dalam waktu 3-6 bulan berkisar Rp.250.000 s.d Rp.1.500.000
serta tanaman umur panjang berupa cengkeh, pala, kelapa dan cokelat, dengan
penghasilan yang diperoleh dalam waktu 6 bulan s.d 1 tahun hanya berkisar
antara Rp.1.000.000 s.d. Rp.5.000.000. Sehingga kecenderungannya adalah hasil
pertanian hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dengan kata lain, uang
yang diperoleh dari hasil pertanian tidak dapat dimanfaatkan untuk menjadi
modal usaha.[25]
Sedangkan untuk nelayan, ada yang memiliki kelompok nelayan dengan jumlah mencapai 20 orang
dengan bantuan perahu yang diberikan oleh salah satu pengusaha
(cina). Hasil yang diperoleh dibagi tiga diantaranya;
· Orang
yang menyalakan lampu penangkap ikan (rompong)
· Orang
yang menjaga atau merawat mesin
· Pemilik
perahu.
Uang yang
diserahkan kepada pemilik perahu dijadikan sebagai gaji dari
kelompok nelayan. Uang tersebut dikumpulkan selama satu tahun baru dibagikan dengan
masing-masing orang mendapatkan Rp.2.000.000. Setelah pembagian tersebut
ikan-ikan yang tersisa dijaring diambil oleh setiap orang dari kelompok nelayan dan
diberikan kepada istri untuk dijual demi memenuhi
kebutuhan sehari-hari.
Lain halnya dengan orang yang memiliki perahu sendiri. Seringkali hasil
tangkapan ikan, ketika dijual dapat mencapai Rp.300.000 – 1.000.000. Namun, hal
ini sangat tergantung terhadap kondisi alam. Terkadang bisa lebih dari yang
diharapkan tetapi bisa juga kurang.[26]
Secara umum kedua pekerjaan
tersebut, dilakukan berdasarkan sistem perhitungan musim atau disesuaikan
dengan kondisi alam. Selain itu pula terkhususnya bagi nelayan, sumber
pendapatannya juga sangat tergantung kepada pemilik perahu. Dengan pekerjaan
yang sangat tergantung pada sistem perhitungan musim maupun orang yang
memberikan pekerjaan (nelayan) tentu tidak berimbang dengan kebutuhan
sehari-hari yang semakin meningkat. Sehingga orang akan berupaya mencari
pekerjaan tambahan (lihat pada bagian deskripsi data dan analisa). Cara yang
demikian, kelompok tersebut lebih cocok dikategorikan pada orang yang memiliki
pekerjaan tidak tetap.
Begitu pula dengan orang yang tidak
memiliki pekerjaan. Situasi tersebut disebabkan oleh beberapa aspek, seperti
ada yang mengalami sakit secara fisik (cacat fisik/gangguan mental), ada yang
sakit karena penyakit maupun ada yang lanjut usia. Kendati demikian, mereka
selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti menjadi pengasuh
bayi, menyetrika pakaian orang maupun membantu membersihkan kebun orang. Namun,
pekerjaan ini sangat tergantung dari orang yang meminta (bukan menjadi
pekerjaan rutin). Karena itu, hal yang sangat menonjol adalah ketergantungan
secara penuh terhadap belas kasihan orang lain maupun sistem yang berlaku dalam
masyarakat (bantuan sosial).[27]
D.
Pendidikan
Pendidikan merupakan bagian yang
sangat penting dalam membentuk karakter sumber daya manusia. Pembentukan sumber
daya manusia tentunya bertujuan untuk mengimbangi sumber daya alam. Dengan kata
lain, sumber daya alam dan sumber daya manusia memiliki keterkaitan. Keduanya
haruslah dilakukan secara seimbang agar dapat menunjang kehidupan manusia.
Sehubungan dengan kualitas sumber daya warga gereja, Jemaat GPM Hative Besar
jika ditinjau dari tingkat pendidikan masih belum memadai. Hal ini, dapat
dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel
02
Pendidikan
Jemaat
No.
|
Jenjang Pendidikan
|
Frekuensi
|
Presentase
|
1.
|
Belum
bersekolah
|
116
|
5,68%
|
2.
|
SD/Sederajat
|
386
|
18,88%
|
3.
|
SLTP/Sederajat
|
239
|
11,69%
|
4.
|
SMA/Sederajat
|
716
|
35,03%
|
5.
|
S1
|
80
|
3,91%
|
6.
|
S2
|
-
|
-
|
7.
|
S3
|
1
|
0,05%
|
8.
|
Diploma
|
60
|
2,94%
|
9.
|
Putus
sekolah
|
446
|
21,82%
|
|
Total
|
2044
|
100 %
|
Sumber:
Data renstra jemaat
Pada tabel di atas, terlihat jelas
bahwa tingkat pendidikan seseorang juga sangat berpengaruh terhadap pekerjaan
yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup (banding dengan tabel pekerjaan).
Bilamana tingkat pendidikan SD, SMP dan SMA sangat mendominasi tingkat
pendidikan di perguruan tinggi. Begitu pula angka putus sekolah berada pada
tiga jenjang pendidikan tersebut maupun pada perguruan tinggi. Presentase
jenjang pendidikan yang demikian juga berada jenjang usia produktif.
Perhitungan sumber daya manusia dapat dilihat pada tiga kategori usia.
Sebagaimana terlihat pada tabel di bawah ini:
Tabel
03
Katergori
Umur Jemaat
No.
|
Jenjang usia
|
Frekuensi
|
Presentase
|
1.
|
0
– 16 tahun
|
802
|
39,24%
|
2.
|
17
– 45 tahun
|
764
|
37,38%
|
3.
|
46
– ke atas
|
478
|
23,38%
|
4.
|
Total
|
2044
|
100 %
|
Sumber: Data Renstra
Berdasarkan tabel di atas, selisih
kategori usia produktif tidak jauh berbeda bila dibandingkan dengan kategori
usia di bawah produktif. Kendati demikian, kategori usia produktif mestinya
menjadi sebuah kekuatan dalam mengembangkan kualitas sumber daya manusia. Hal
ini dapat dilakukan melalui peningkatan mutu pendidikan dengan memanfaatkan
sumber daya alam (lihat pada bagian deskripsi data dan analisa).
E.
Sosial
Budaya
Sebagai masyarakat berbudaya,
Jemaat GPM Hative Besar membangun kehidupan dalam kebersamaan dan tetap
memilihara budaya gotong royong atau Masohi, Pela Gandong serta masih
menggunakan sasi dalam pemeliharaan tanaman maupun lingkungan. Kecendrungan
menerima dan melaksanakan kearifan lokal (sasi, pela gandong dan masohi) cukup
baik. Hal ini terbukti ketika, budaya pela gandong masih dipertahankan dalam
kegiatan-kegiatan adat serta masih tetap melakukan kegiatan bakti bersama dalam
lingkungan jemaat dan masyarakat.[28]
Adapula nilai-nilai yang telah
mengalami proses internalisasi. Nilai-nilai tersebut menjadi sebuah ideologi
dalam melihat atau melakukan berbagai aktivitas. Misalnya, dalam memenuhi
kebutuhan sehari-hari, muncul pemahaman bahwa jika hari ini ada rejeki maka
besok juga ada. Artinya, bekerja cukup untuk kebutuhan hari ini. Setelah itu
dicari lagi untuk kebutuhan selanjutnya. Sedangkan untuk pendidikan,
terkhususnya bagi anak, ada yang memahami yang terpenting sudah bisa mengenal
huruf dan mampu untuk mencari uang sendiri bagi kebutuhan pribadi maupun
keluarga.[29]
F.
Pelayanan
dalam Jemaat
Berdasarkan tata letak geografis
wilayah pelayanan secara keseluruhan terbagi atas 6 sektor wilayah pelayanan
yaitu Sektor Imanuel dan Sektor Galilea
di Dusun Latta, Sektor Getsemani dan Sektor Bukit Zaitun di Dusun Batu Lubang,
Sektor Elim dan Sektor Petra di Dusun Masising. Ke-6 sektor terdiri dari 24
unit dengan masing-masing sektor 4 unit pelayanan.
Jemaat GPM Hative Besar dilayani
oleh 48 orang Majelis Jemaat 4 orang Tuagama dan dibantu oleh pengurus-pengurus
unit maupun pengurus wadah-wadah pelayanan. Kegiatan-kegiatan dalam jemaat
adalah sebagai berikut; ibadah minggu, dan bimbingan bagi setiap orang yang
melayani ibadah baik sektor, unit maupun wadah-wadah pelayanan. Sedangkan
bimbingan untuk pengasuh SMTPI dilakukan pada hari senin, jam 7 malam serta
rapat-rapat mingguan dan evaluasi pelayanan dilakukan 2 minggu sekali pada hari
Jumat, jam 7 malam.
Sedangkan ibadah-ibadah rutin yang dilaksanakan
antara lain:
-
Ibadah Angkatan Muda dilaksanakan pada hari
minggu, jam 7 malam
-
Ibadah keluarga pelayan setiap bulan, minggu
terakhir
-
Ibadah wadah pelayanan laki-laki setiap hari
Selasa
-
Ibadah wadah pelayan perempuan hari Rabu
-
Ibadah SMTPI dan Pengasuh hari Kamis
-
Ibadah unit hari Jumat
-
Ibadah Gatris (gabungan tiris-tiris) hari sabtu
-
Ibadah akhir bulan
-
Ibadah Sub Komisi Laki-laki
-
Ibadah Sub Komisi Perempuan
Selain pelayanan-pelayanan ibadah
rutin, adapula pelayanan-pelayanan yang lain seperti syukur HUT kelahiran dan
pernikahan, syukur keluarga, pelayanan kepada orang sakit maupun orang tua
jompo (pelayanan dilakukan di rumah masing-masing oleh pendeta jemaat dan
majelis sektor) pada hari minggu setelah ibadah minggu.[30]
Sedangkan untuk pelayanan yang lain seperti bantuan kepada janda, yatim-piatu
dan jompo dilakukan satu tahun sekali berupa pemberian beras, gula, susu yang
dilakukan oleh wadah pelayanan perempuan di sektor masing-masing.[31]
G.
Pelayanan
Sosial dalam Jemaat
Pelayanan sosial bagi jemaat yang
kurang mampu berupa Raskin dan Jamkesmas atau Askes. Berdasarkan data yang
diperoleh, jumlah penerima Raskin sebanyak 149 KK atau 31,28%.[32] Sedangkan
untuk pengguna kartu Jamkesmas atau askes tercatat
sebanyak 175 kepala keluarga yang telah memiliki kartu tersebut.[33]
Pelayanan seperti ini, pendekatannya adalah pedekatan kebutuhan dasar. Pendekatan
ini menekankan pentingnya dipenuhi kebutuhan akan sandang, pangan, perumahan,
kesehatan dan pendidikan.[34]
Pendekatan ini dipandang positif dan lebih
nyata dirasakan oleh rakyat karena mengurangi penderitaan akibat kurang gizi,
penyakit dan kebodohan kurang pendidikan. Walaupun demikian, ada yang
berpendapat bahwa pendekatan ini hanya dapat membuat masyarakat miskin menjadi
pasif. Kaum miskin lebih banyak menerima bantuan seperti catu, pelayanan
gratis, dsb. Tetapi tidak melihat pada peningkatan produktifitas dan proses
memberdayakan kelompok miskin untuk mengembangkan dirinya. Begitu pula dengan
akses terhadap modal untuk berusaha beserta kelembangaan yang dapat
diberdayakan penduduk miskin meningkatkan taraf hidupnya belum diperhitungkan.
II.
DESKRIPSI
DATA DAN ANALISA
Pada bagian ini, penulis berupaya untuk
mengkaji dan menganalisa data yang telah diperoleh dari hasil penelitian
tentang faktor-faktor yang menyebabkan adanya orang miskin di Jemaat Hative
Besar dan pelayanan gereja terhadap kaum miskin. Untuk kepentingan ini, maka
penulis menggunakan tiga teknik pengumpulan data yaitu observasi, wawancara dan
studi pustaka (pengumpulan dokumen-dokumen tertulis). Wawancara dijadikan
sebagai sumber data primer, sedangkan observasi dan studi pustaka dijadikan
sebagai pendukung untuk menganalisa data. Tabulasi data dilakukan dalam bentuk
tabel tunggal.
Penelitian ini dilakukan dalam upaya menjawab
masalah di atas dimulai pada tanggal 18 November sampai dengan tanggal 5
Desember 2013 dan telah diketahui faktor-faktor yang menyebabkan orang miskin
dan pelayanan gereja terhadap kaum miskin.
Uraian ini dapat ditelusuri dalam
variabel-variabel berikuti ini:
a) Karakteristik
informan
b) Faktor-faktor
yang menyebabkan orang miskin
c) Pelayanan
gereja terhadap kaum miskin
d) Kesimpulan
analisis
A.
Karakteristik
Informan
Untuk
mengetahui karakteristik informan akan menampilkan 4 hal, yaitu : 1) umur
informan, 2) jenis kelamin informan, 3) pendidikan informan, 4) pekerjaan dan
5) status dalam jemaat, 6) kondisi
rumah.
1)
Umur Informan
Tabel 04
Umur
Informan
No.
|
Kategori Umur
|
Frekuensi
|
Presentase
|
1.
|
20
– 34
|
4
|
8,51%
|
2.
|
35
– 45
|
13
|
27,66 %
|
3.
|
46
– 65
|
24
|
51,06
%
|
4
|
66
ke atas
|
6
|
12,77
%
|
|
Total
|
47
|
100
%
|
Sumber : hasi wawancara
Berdasarkan
tabel di atas, pada kolom (1) dan (2) dikelompokkan sebagai kelompok usia
produktif. Apabila dijumlahkan menjadi 17 orang. Kemudian pada kolom (3) dan
(4) berjumlah 30 orang yang berada pada kategori usia di atas produktif. Jumlah
tersebut dapat dibandingkan dengan tabel usia produktif maupun jumlah jiwa pada
bagian sebelumnya.
Pada
usia 46 – 65 dan 66 tahun ke atas digolongkan sebagai kelompok orang-orang
dewasa yang telah memiliki banyak pengalaman dalam mengelola alam atau berusaha
untuk mempertahankan hidup. Pada usia ini juga paradigma berpikir telah
dibangun berdasarkan pengalaman secara turun-temurun. Sedangkan pada usia 20 –
34 dan 35 – 45 merupakan usia produktif yang memiliki sedikit pengalaman.
Kelompok usia ini adalah kelompok yang sangat perlu untuk diberdayakan.
2)
Jenis
Kelamin Informan
Tabel 05
Jenis
Kelamin Informan
No.
|
Jenis Kelamin Informan
|
Frekuensi
|
Presentase
|
1.
|
Laki-laki
|
19
|
40,43 %
|
2.
|
Perempuan
|
28
|
59,57 %
|
|
Total
|
47
|
100 %
|
Sumber: hasil wawancara
Pada
tabel di atas, presentase perempuan sedikit lebih tinggi dari laki-laki sebab
diantara setiap informan terdapat keluarga yang suaminya telah meninggal.
Dengan kata lain, ada informan yang disebut sebagai janda yang berjumlah 7
orang.
3)
Pendidikan
Informan
Tabel
06
Pendidikan
Informan
No.
|
Pendidikan
|
Frekuensi
|
Presentase
|
1.
|
SD
|
17
|
36,17
%
|
2.
|
SMP
|
8
|
17,02
%
|
3.
|
SMA
|
13
|
27,66
%
|
4.
|
PT
|
6
|
12,77
%
|
5.
|
Putus
Sekolah
|
3
|
6,38 %
|
|
Total
|
47
|
100 %
|
Sumber : hasil wawancara
Pada
tabel di atas, terlihat bahwa jumlah tingkat pendidikan dari setiap informan
merupakan jumlah yang sangat kecil bila dibandingkan tingkat pendidikan yang
telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Selain itu pula, tingkat pendidikan SD
dan SMA tidak jauh berbeda. Kemudian disusul oleh jenjang pendidikan SMP maupun
orang yang mengalami putus sekolah. Presentase pendidikan yang demikian tentu
sangat mempengaruhi pola pikir informan dalam mengelola alam.
4)
Pekerjaan
Informan
Tabel 07
Pekerjaan
Informan
No.
|
Pekerjaan
|
Frekuensi
|
Presentase
|
1.
|
Petani
|
20
|
42,55
%
|
2.
|
Nelayan
|
7
|
14,89
%
|
3.
|
PNS
|
5
|
10,64
%
|
4.
|
Bekerja
tidak tetap
|
10
|
21,28
%
|
5.
|
Tidak
bekerja
|
5
|
10,64
%
|
|
Total
|
47
|
100 %
|
Sumber : hasil wawancara
Presentase
pekerjaan di atas merupakan sebagian kecil dari penjelasan pekerjaan yang telah
diuraikan sebelumnya. Pekerjaan seperti petani dan nelayan merupakan pekerjaan
yang telah dilakukan secara turun-temurun. Pekerjaan ini juga merangkap jenis
pekerjaan tidak tetap. Hal ini disebabkan oleh rendahnya kemampuan untuk
memelihara tanaman baik umur pendek maupun umur panjang. Sebaliknya, untuk
memelihara tanaman-tanaman tersebut sangat memerlukan bantuan alam. Begitu pula
dengan cara penangkapan ikan yang sangat tradisional. Sedangkan untuk orang
yang tidak memiliki pekerjaan dipengaruhi oleh faktor fisik maupun usia.
5)
Status Informan
dalam Jemaat
Tabel 08
Status
Informan dalam Jemaat
No.
|
Status
|
Frekuensi
|
Presentase
|
1.
|
Pendeta
|
1
|
2,13
%
|
2.
|
Majelis
Jemaat
|
8
|
17,02
%
|
3.
|
Pengurus
Wadah Organisasi
|
5
|
10,64
%
|
4.
|
Anggota
Jemaat
|
33
|
70,21
%
|
|
Total
|
47
|
100 %
|
Sumber :
hasil wawancara
Pada
tabel di atas, angka 47 merupakan jumlah
keseluruhan dari setiap status informan dalam jemaat. Selain itu pula, jumlah
tersebut merupakan sebagian kecil dari jumlah jiwa jemaat GPM Hative Besar yang
telah dijelaskan sebelumnya. Kemudian, jumlah informan terbanyak berada pada
anggota jemaat. Jumlah tersebut dilihat sebagai representasi dari orang miskin
yang berada di Jemaat GPM Hative Besar.
6)
Kondisi
Rumah
Tabel 09
Kondisi
Rumah
No.
|
Kondisi Rumah
|
Frekuensi
|
Presentase
|
1.
|
Semi
permanen
|
23
|
76,67
%
|
2.
|
Sederhana
|
7
|
23,33%
|
|
Total
|
30
|
100 %
|
Sumber: hasil wawancara dan observasi
Pada tabel di atas, untuk
presentase terbesar berada pada keluarga yang memiliki rumah semi permanen.
Keluarga yang menempati rumah permanen memiliki pengakuan yang berbeda-beda.
Ada yang mengakui, rumah yang ditempati adalah rumah milik kerabat yang telah
bekerja bertahun-tahun di luar daerah (empat informan). Adapula yang mengakui
rumah yang ditempati adalah bantuan dari pemerintah untuk warga tidak mampu
(dua informan). Kemudian, untuk 18 informan lainnya, mengakui rumah yang
ditempati adalah hasil usaha sendiri maupun bantuan dari kerabat yang bertalian
darah maupun ada yang menempati rumah dinas (terkhususnya bagi perangkat
pelayan).[35]
Sedangkan untuk presentase kondisi
rumah yang sederhana, yaitu memiliki dinding dari papan, beratapkan daun sagu,
dengan lantai tanah bahkan tidak memiliki MCK. Rumah tersebut telah ditempati
selama bertahun-tahun atau turun temurun. Keadaan yang demikian tidak bisa
diperbaiki karena dipengaruhi oleh beberapa fakor, antara lain:
-
Kondisi ekonomi yang rendah (tidak menentu)
-
Adanya sengketa tanah dan belum bersertifikat.[36]
-
Perselisihan antar saudara (saudara-saudara
yang telah menikah tetapi masih tinggal bersama-sama)
Ketiga faktor ini, misalnya kondisi
ekonomi yang rendah mengakibatkan kemampaun untuk mengusahakan tempat tinggal
yang layak semakin sulit. Apalagi dengan kondisi ekonomi pasar yang semakin
meningkat, terkhususnya bagi kebutuhan sehari-hari. Begitu pula dengan
kebutuhan pendidikan dari anak-anak maupun akses terhadap kesehatan, terutama
ketersediaan air bersih. Meningkatnya kebutuhan-kebutuhan tersebut,
mengakibatkan ada anak-anak yang tidak bisa melanjutkan studi ke perguruan
tinggi dan harus memilih untuk bekerja.
Selanjutnya, pada faktor sengketa
lahan menjadi indikator bahwa keluarga-keluarga tersebut terisolasi dari
kelompoknya. Dikatakan demikian, karena terdapat dua hal yang sangat penting. Pertama, keluarga-keluarga tersebut
telah menetap selama bertahun-tahun. Kedua,
akses terhadap tanah, air dan energi (kayu bakar) menentukan seseorang
dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokoknya.[37]
Jika salah satu tidak dapat dilakukan atau diakses, maka adanya faktor
ketidakadilan.
B.
Faktor-faktor
yang Menyebabkan Kemiskinan
Untuk
mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan orang miskin dapat dibahas dalam dua
bagian yaitu :
1.
Realita
Orang Miskin di Jemaat GPM Hative Besar
Dalam
melihat realita kemiskinan ada informan mengatakan, secara umum orang-orang Maluku tidak ada yang miskin. Sebab orang ke
kebun atau ke hutan (ewang) dan kembali ke rumah sudah membawa sayur dan jam
makan lagi sudah bisa makan sehingga tidak ada orang yang kelaparan.[38] Hal ini, dapat
dilihat pada gambaran pekerjaan yang akan diuraikan selanjutnya. Dengan cara
hidup yang demikian, manusia makan dari apa yang telah disediakan oleh alam.
Dengan kata lain, semua yang dibutuhkan oleh manusia telah disediakan oleh alam.
Kehidupan yang demikian tentu membutuhkan keahlian dalam mengelola alam yang
tidak hanya dilakukan secara tradisional melainkan memanfaatkan ilmu yang telah
diperoleh dari dunia pendidikan. Misalnya, orang yang berlatar belakang sarjana
pertanian menjadi sebuah harapan untuk dapat mengaplikasikan ilmunya. Namun,
keinginan ini tidak dapat dilakukan karena keterbatasan modal dalam upaya
pengolahan alam.
Adapula
yang mengatakan, orang yang dikategorikan
sebagai orang miskin hanya karena malas. Sebab rata-rata jemaat di sini (Jemaat
GPM Hative Besar) semuanya memiliki lahan untuk di kelola.[39] Kemudian, adapula yang mengatakan “mereka terlalu menjadikan diri lemah,
padahal jika dilihat mereka masih sangat kuat untuk bekerja”.[40]
Kedua jawaban ini dipengaruhi oleh dua hal yang saling berkaitan, yaitu :
a) Pemukiman
warga jemaat, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa sebagian besar pemukiman
warga terdiri dari gunung, lereng gunung dan kaki gunung.
b) Adanya
sikap fatalistis (menerima keadaan apa adanya) atau hilangnya motivasi untuk
mengupayakan hidup yang layak dalam bekerja.
Pada
kedua aspek di atas, tentu memiliki keterkaitan dengan sarana prasarana,
terkhususnya jalan untuk sampai ke lahan masing-masing (pemukiman). Selain itu
pula dibutuhkan ketrampilan seseorang dalam bekerja baik petani maupun nelayan.
Misalnya, nelayan, ada yang mengakui “Hasil
tangkapan ikan dari tahun ke tahun tidak selalu sama, jika cuaca baik maka
hasil tangkapan ikan banyak kalau cuaca buruk berarti hasil tangkapan juga
tidak maksimal dari yang diharapkan”.[41] Cara penangkapan
ikan, ada yang menggunakan kail, bodi jaring, bagan tangkapan ikan bahkan juga
rompong. Pekerjaan ini sangat dipengaruhi oleh cuaca atau iklim yang seringkali
sulit untuk diprediksi.
Sedangkan,
untuk petani yang memiliki tanaman umur pendek (sayur dan umbi-umbian). Ada
yang mengakui, seringkali hasil yang diperoleh tidak maksimal sebab ketidakcocokan
tangan dalam menanam. Adapula yang mengakui hasil kebun seringkali dimakan oleh
binatang liar (babi hutan) maupun dipengaruhi oleh banjir dan longsor.
Pengakuan tersebut menunjukkan bahwa kondisi alam dapat memberikan dampak
positif maupun negatif terhadap pekerjaan petani. Artinya, kondisi lingkungan
menjadi salah satu faktor yang dapat mempengaruhi tindakan seseorang dalam
bekerja. Sehingga dibutuhkan ketrampilan untuk melewati kemungkinan-kemungkinan
yang telah disebutkan sebelumnya.
Begitu
pula pada tanaman umur panjang, seperti cengkeh. Ada informan yang mengatakan, cengkeh dari tahun ke tahun punya hasil seng
tetap, kalau untuk tahun ini memang cengkeh punya buah sedikit, seng sama deng
tahun kemarin.[42]
Pengakuan ini disebabkan oleh beberapa faktor yang saling keterkaitan
antara lain:
·
Curah hujan yang tidak menentu
·
Membersihkan pohon cengkeh dari tumbuhan liar,
pada saat cengkeh akan mengeluarkan bunga
·
Jarak yang jauh untuk sampai ke lahan atau
dusun cengkeh
Faktor-faktor di atas, menunjukkan bahwa
untuk memelihara tanaman cengkeh sangat memerlukan bantuan alam. Hal ini
menunjukkan bahwa kurangnya ketrampilan dalam upaya memelihara tanaman. Pada bagian inilah dilakukan kerja sama
dengan Fakultas Pertanian UNPATTI dalam bentuk sosialisasi pertanian.[43]
Di satu sisi, kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan atau
ketrampilan dalam memelihara tanaman baik umur pendek maupun umur panjang. Di
sisi lain, kegiatan yang dilakukan hanya sebatas sosialisasi tanpa ada langka
praktis. Kelemahan dalam menangkap informasi akan berpengaruh pada kemampuan
untuk mengembangkan ketrampilan atau potensi.
Selain kedua pekerjaan di atas,
adapula pekerjaan-pekerjaan lain yang dilakukan, antara lain :
1. Mencari gemutu (sapu
ijuk) kemudian dibuat sapu untuk dijual di pasar dengan harga Rp.5.000 - 7.000
satu ikat. Proses pengumpulan gemutu dalam sehari dapat mencapai 4 ikat. Gemutu
yang telah dijadikan sapu, dikumpulkan hingga mencapai 20 ikat barulah dijual.[44]
Pekerjaan tersebut, tentu membutuhkan waktu 5 hari untuk pengumpulan sapu.
Kemudian pada hari ke-6 barulah dilakukan penjualan. Hasil penjualan ketika
dikalikan diperoleh pendapatan perhari Rp.35.000.
2.
Empat informan yang mengakui mencari “olat” (kumpulan sayur-sayur
maupun buah-buahan) seperti daun singkong, daun melinjo, rebung, nenas, pisang,
jantung pisang dan daun pisang dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ada
yang mengatakan “Kalau katong seng biking
bagitu sapa yang mau kasih uang, hidup sekarang ini sekarang su paling susah
par cari kerja. Jadi terpaksa jual bagini-bagini saja jua par sambung-sambung
hidup”. Jawaban ini, menunjukkan adanya keinginan untuk mendapatkan
kehidupan yang lebih layak. Namun, pekerjaan yang dilakukan hanya mampu untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selain mengumpulkan olat seperti yang telah disebutkan diatas, adapula yang mencari kenari di Alang. Kenari tersebut dibersihkan
dan dijual dengan harga Rp.5.000 untuk 25 isi/buah. Hasil penjualan olat dapat mencapai Rp.300.000. Namun,
uang yang diperoleh hanya bersifat sementara. Artinya, ketika memperoleh uang
tersebut dipakai untuk membeli kebutuhan pangan berupa beras, gula, minyak
tanah dan sabun. Selain itu pula dipakai untuk membayar pajak maupun untuk
membayar biaya transortasi. Sehingga uang yang dibawa pulang hanya berjumlah
Rp.30.000.[45]
3.
Tukang
bakar sagu, dengan membakar sagu untuk 1x pembakaran
menghasilkan 40 lempeng sagu/porna dari satu tumang sagu. 1 tumang sagu dibeli
dengan harga Rp.40.000. Sedangkan untuk penjualan sagu 1 lempeng Rp.2.500.
Sehingga keuntungan untuk satu hari mencapai Rp.60.000.
4.
Tukang
sapu jalan, sebelum menjalani pekerjaan tersebut keluarga
(istri) ini membuat kue untuk dijual sebagai menu sarapan pagi. Namun, dalam perkembangannya sang istri
memilih untuk berhenti berjualan dengan alasan bahwa sudah ada orang lain yang
menjajakan kue yang sama sehingga dapat mengakibatkan kerugian. Di sinilah,
sang istri memilih untuk menjadi tukang sapu jalan dengan satu minggu 3x dan
biaya per hari Rp.20.000 tetapi di bayar per bulan. Gaji tersebut diberikan
oleh dinas Kota Madya melalui pegawai kantor Camat tetapi seringkali kali gaji
yang diberikan juga tidak lancar.[46]
5.
Penjual
kue, empat informan mengakui bahwa menjual kue dalam sehari keuntungan
yang diperoleh adalah antara Rp.30.000 – 70.000. Pendapatan yang demikian ada
yang mengakui bahwa untuk berjualan saat ini tidak seperti dulu lagi. Kalau
dulu untuk berjualan per hari bisa mendapatkan keuntungan Rp.150.000 tetapi
untuk sekarang paling tinggi Rp.70.000.[47]
6. Sebagai tukang dan kuli bangunan, informan mengatakan “Jadi bapa biasanya jadi tukang kalau orang minta bantu kerja bangunan
seng banya jua tapi Rp.100.000/200.000 itu ada pegang jua par makan hari-hari.[48] Jawaban ini
menunjukkan, ada ketergantungan terhadap orang lain dalam memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Pemberian uang atas jasa yang dilakukan sangat tergantung pada
orang yang memberi pekerjaan.
7.
Ojek, dengan
pendapatan per hari mencapai Rp.50.000. Namun pendapatan ini tidak menentu,
seringkali pendapatan bisa lebih dari yang telah ditargetkan tetapi juga bisa
kurang.
Berdasarkan pekerjaan di atas, sebagian
informan mengatakan bahwa, nanti setelah
anak-anak selesai pendidikan barulah menabung ke Bank. Di satu sisi,
pengakuan ini benar adanya, dengan pemahaman jika telah menabung ke Bank maka
setiap bulan haruslah dilakukan penyetoran sementara pendapatan keluarga tidak
bisa diprediksi dari hari ke hari. Hal ini, tentunya sangat jauh berbeda dengan
orang-orang yang memiliki penghasilan tetap. Di sisi lain, pekerjaan yang
dilakukan hanya berdasarkan pengalaman dan tidak dibekali dengan ilmu
pengetahuan. Dengan kata lain, walaupun adanya usaha untuk bertahan hidup
dengan melakukan berbagai pekerjaan tetapi tidak professional dalam bekerja.
Pekerjaan yang dilakukan pun hanya untuk memenuhi kebutuhan hari ini tanpa
memiliki perencanaan untuk masa yang akan datang (memenuhi kebutuhan di masa
sekarang tanpa memperhitungkan masa yang akan datang).
Pada pekerjaan tersebut terdapat tiga aspek
yang saling mempengaruhi yaitu:
· Ketrampilan
· Akses
terhadap jalan
· Akses
terhadap pasar
Pada ketiga aspek di atas
ketrampilan dibutuhkan untuk menjaga dan memelihara tanaman, seperti terhindar
dari bencana alam (banjir dan longsor), terhindar dari binatang liar (babi hutan)
maupun menjaga tanaman untuk tetap produktif. Begitu pula akses terhadap jalan,
kondisi jalan yang baik akan menunjang kemampuan seseorang untuk mengelola
sumber daya alam yang telah tersedia, atau sebaliknya. Kemudian akses terhadap
pasar, untuk menjual hasil kebun sangat dibutuhkan sarana transportasi. Ketiga
hal tersebut dapat menunjang seseorang dalam bekerja dan memperoleh penghasilan
yang maksimal. Jika tidak demikian, maka upaya untuk mendapatkan penghasilan
yang dapat menunjang produktivitas tidak akan tercapai. Hal-hal inilah yang
menjadikan orang bekerja hanya untuk persediaan stok makanan (memenuhi
kebutuhan pangan yang diutamakan). Itu berarti secara tidak langsung ketiga hal
tersebut sangat mempengaruhi orang untuk melakukan pekerjaan tambahan. Situasi
ini disebabkan oleh ketidakpastian dalam memperoleh penghasilan. Hal utama yang
dipikirkan hanyalah cara untuk mempertahankan hidup.
Pada uraian tersebut memiliki
keterkaitan dengan tiga masalah utama kemiskinan, yaitu:
a)
Kebutuhan Pangan
Dalam upaya memenuhi
kebutuhan pangan, jika dikaitkan dengan penjelasan sebelumnya terlihat bahwa
setiap informan mampu untuk menenuhi kebutuhan pangan. Hal ini tentu didukung
oleh sumber daya alam yang tersedia. Kendati demikian, cara hidup tersebut
adalah cara hidup sebagai konsumtif dan tidak produktif. Orientasi kerja
hanyalah untuk memenuhi kebutuhan pangan. Artinya, cara tersebut merupakan
upaya untuk mempertahankan hidup.
b)
Layanan
Kesehatan
Sejauh
ini penyakit yang sangat menonjol di Jemaat GPM Hative Besar adalah demam, flu, sakit kepala dan batuk. Pada
umumnya penyakit yang dialami oleh anggota jemaat disebabkan oleh polusi udara,
perubahan iklim, lingkungan yang kotor serta minum air yang kurang sehat. Untuk
keluarga-keluarga yang menetap di daerah penggunungan, ketersediaan air bersih
melalui pipa hanya berada di beberapa titik tertentu. Sedangkan saluran air
bersih bagi setiap keluarga belum tersedia. Hal ini tentu dipengaruhi oleh
sistem sanitasi lingkungan maupun pembangunan jalan yang belum merata.[49]
Sedangkan
bagi warga yang menempati daerah lereng gunung, kaki gunung dan bukit maupun
daerah pesisir pantai memilih memanfaatkaan air kali untuk kebutuhan
sehari-hari seperti mandi, mencuci pakaian, mencuci piring, mencuci sayur untuk
masak (hasil observasi). Keadaan seperti ini tentu sangat mempengaruhi aspek
kesehatan. Sehingga sangat membutuhkan maupun pelayanan kesehatan melalui
fasilitas kesehatan yang telah tersedia, seperti memanfaatkan Puskesmas
terdekat maupun rumah sakit untuk mendapatkan pemeriksaan dan pengobatan. Untuk
mendapatkan layanan kesehatan digunakan kartu askes (dapat dibandingkan dengan
penjelasan sebelumnya). Sedangkan untuk hubungan kerjasama terhadap penyuluhan
kesehatan, seperti pemanfaatan air bersih baik oleh pemerintah kota maupun desa
dengan gereja belum pernah dilaksanakan.[50]
Itu
berarti, layanan kesehatan seperti Puskesmas dan rumah sakit sudah dimanfaatkan
oleh warga jemaat terkhususnya orang-orang yang secara ekonomi tidak mampu
bahkan sangat terbantu oleh adanya kartu askes. Apalagi untuk tahun 2014 telah
diberlakukannya kartu Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Jaminan kesehatan telah
tersedia dan untuk menggunakan jasa medis tidak lagi memikirkan biaya. Namun,
bantuan tersebut hanya membantu pada salah satu aspek saja, yaitu ekonomi
(biaya). Dengan kata lain, bantuan tersebut tidak mampu untuk mengeluarkan kaum
miskin dari masalah kesehatan yang dihadapi atau penyebab masalah kesehatan.
Permasalahannya adalah cara memanfaatkan air bersih agar terhindar dari
penyakit. Hal inilah menjadi persoalan mendasar, karena itu yang dibutuhkan
adalah pemberlakuan cara atau pola hidup bersih.
c)
Layanan
pendidikan
Untuk mengetahui layananan
pendidikan akan dijelaskan dalam bentuk tabel di bawah ini:
Tabel 09.1
Jumlah Anak yang Sementara Menempuh Pendidikan
No.
|
Pendidikan
|
Frekuensi
|
Presentase
|
1.
|
Belum Sekolah
|
5
|
11,11 %
|
2.
|
PAUD
|
4
|
8,89 %
|
3.
|
SD
|
12
|
26,67 %
|
4.
|
SMP
|
10
|
22,22 %
|
5.
|
SMA
|
8
|
17,78 %
|
6.
|
PT
|
6
|
13,33 %
|
|
Total
|
45
|
100
%
|
Sumber :
hasil wawancara
Pada
tabel di atas, terlihat bahwa adanya kesadaran untuk menyekolahkan di setiap
jenjang pendidikan. Walaupun, presentase terbesar berada pada jenjang
pendidikan SD. Kemudian diikuti oleh jenjang pendidikan SMP. Jenjang pendidikan
SD, SMP dan SMA merupakan jenjang
pendidikan utama dalam membentuk pola atau karakter seseorang. Namun, kesadaran
tersebut masih sangat rendah. Hal ini dapat dibandingkan dengan tabel di bawah
ini:
Tabel 09.2
Jumlah Anak yang telah Menamatkan Pendidikan
No.
|
Pendidikan
|
Frekuensi
|
Presentase
|
1.
|
SD
|
2
|
5,26 %
|
2.
|
SMP
|
6
|
15,79 %
|
3.
|
SMA
|
23
|
60,53 %
|
4.
|
PT
|
3
|
7,89 %
|
5.
|
Putus Sekolah
|
4
|
10,53 %
|
|
Total
|
38
|
100
%
|
Sumber:
hasil wawancara
Berdasarkan
tabel di atas, presentase anak yang telah menyelesaikan studi di perguruan
tinggi sangatlah rendah bila dibandingkan dengan presentase anak yang telah
menamatkan SMA. Besarnya angka tersebut dipengaruhi oleh tindakan yang memilih
untuk bekerja setelah menamatkan SMA. Situasi tersebut, rata-rata terjadi pada
anak-anak laki-laki terutama pada anak sulung. Pekerjaan yang dilakukan adalah bekerja di perusahaan ikan atau
mengikuti motorikan, kuli bangunan maupun bekerja di toko. Begitu pula pada jenjang pendidikan SD, SMP dan putus sekolah. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor
diantaranya:
·
Keterbatasan
biaya, bagian ini tentu berkaitan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh
orang tua. Apabila pekerjaan yang dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan
pangan, maka kebutuhan yang lain tidak dapat terpenuhi seperti pendidikan
bahkan ada anak-anak yang harus mengorbankan pendidikannya dan memilih untuk
berkerja.
·
Pergaulan
bebas, ketidakpatuhan anak terhadap nasehat orang tua atau pergaulan
menjadi salah satu faktor kendala. Sehingga timbulnya ketakutan dari orang tua
bahwa apabila anak-anak tersebut diberi kesempatan untuk melanjutkan studi ke
perguruan tinggi, tetapi tidak mampu untuk menyelesaikannya. Sia-sialah
pengorbanan orang tua dalam menyekolahkan anak-anaknya. Dengan kata lain, ada
anak-anak yang tidak menghargai pengorbanan orang tua.
·
Paradigma
berpikir, ada orang tua yang berpikir yang terpenting anak-anak telah
menamatkan SMA atau telah mampu untuk hidup mandiri.
Ketiga
faktor di atas tentu memiliki keterkaitan satu dengan yang lain dan saling
mempengaruhi. Artinya, upaya untuk meningkatkan kualitas manusia dari aspek
pendidikan tidak hanya dibatasi dengan faktor biaya melainkan membutuhkan
dorongan dari orang lain terutama keluarga. Hal ini dilakukan dengan tujuan
untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Berdasarkan uraian sebelumnya, menunjukkan bahwa
bahwa terdapat dua hal yang menjadi faktor penyebab kemiskinan:
1)
Faktor
Internal
Pada
faktor dilihat dari dua aspek yaitu:
· Ekonomi
Jika
kemiskinan dilihat sebagai fenomena ekonomi memiliki ciri-ciri sebagai berikut;
rendahnya tingkat pendapatan, tidak memiliki pekerjaan yang tetap dan
ketergantungan terhadap alam maupun mata pencaharian tertentu. Hal inilah yang
dialami oleh sebagian anggota Jemaat GPM Hative Besar. Berdasarkan uraian
pekerjaan yang telah dijelaskan sebelumnya, menunjukkan bahwa perilaku jemaat
setempat terkhususnya orang-orang yang dikategorikan miskin adalah perilaku konsumtif. Situasi ini terjadi
ketika orientasi pekerjaan yang dilakukan hanya untuk persediaan stok makanan
atau untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dengan kata lain, pendapatan yang
diperoleh hanya mampu untuk memenuhi salah satu kebutuhan saja, terkhususnya
kebutuhan pangan. Sedangkan untuk kebutuhan lainnya, seperti upaya untuk
menabung yang dapat dijadikan sebagai sumber modal untuk peningkatan
produktivitas sudah tidak dapat dilakukan. Artinya, kaum miskin tidak memiliki
modal untuk meningkatkan produktivitasnya. Sehingga lebih bergantung pada alam
maupun musim.
· Sosial budaya
Sehubungan dengan penjelasan sebelumnya, penyebab kemiskinan dapat
di pengaruhi oleh cara berpikir atau ideologi (lihat pada bagian gambaran
umum dan deskripsi data). Dengan kata lain, ideologi yang keliru dapat
menyebabkan seseorang hidup dalam lingkaran kemiskinan. Hal ini, terlihat jelas
pada gambaran kemiskinan yang dialami oleh Jemaat GPM Hative Besar. Secara
tidak langsung ideologi tersebut dibangun dari beberapa bidang kehidupan,
seperti:
-
Ketersediaan sumber daya alam. Konsep ini
sangat terlihat jelas pada pernyataan “tidak ada orang miskin sebab orang ke
kebun sudah memperoleh sayur-sayuran untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari”
(lihat deskripsi data).
-
Anak sebagai sumber rejeki. Pernyataan diambil
dari pemahaman bahwa “yang terpenting anak sudah mengenal huruf atau sudah
menamatkan SMA, selebihnya mampu untuk mencari uang demi membantu menopang
ekonomi keluarga”
Kedua hal ini tentu memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap
aspek pekerjaan maupun pendidikan. Pertama,
pekerjaan; orang bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan hari ini. Selebihnya
telah disediakan oleh alam. Dengan kata lain, ketika orang dimanjakan oleh alam
tanpa disadari mereka berada pada lingkaran kemiskinan. Misalnya, rendahnya
tingkat pendapatan mempengaruhi pemenuhan kebutuhan. Kedua, pendidikan; pada gambaran sebelumnya terlihat jelas bahwa
ada orang tua yang mengabaikan pendidikan anak-anaknya. Anak-anak diarahkan
untuk bekerja demi menopang ekonomi keluarga adalah hal yang utama.
2)
Faktor
Eksternal
Pada bagian ini yang dilihat adalah
aspek kebijakan yang disebut sebagai gejala ketidakadilan sosial. Gejala
tersebut antara lain:
-
Tempat
tinggal, terkhususnya bagi keluarga-keluarga yang memiliki rumah sederhana.
Kondisi tersebut dialami ketika tanah yang tempati belum bersertifikat. Namun,
tanah tersebut telah dijual kembali kepada pihak ketiga (pengusaha/cina).
Tindakan ini tentu membuat keluarga-keluarga tersebut hidup dalam
ketidakpastian dan mengabaikan kenyamanan orang lain.
-
Pemberian
gaji,
terkhususnya pada orang yang bekerja sebagai tukang sapu jalan. Gaji tersebut
diberikan per bulan, namun pemberian gaji tidak sesuai bulan berjalan. Begitu
pula dengan orang yang bekerja sebagai nelayan. Jika demikian, maka keluarga
tersebut tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Karena pekerjaan
tersebut sebagai satu-satunya sumber pendapatan keluarga.
-
Pemberian
Raskin, merupakan suatu upaya pemerintah untuk membantu masyarakat miskin
untuk memenuhi kebutuhan pangan. Namun, bantuan tersebut tidak dapat membuat
kaum miskin keluar dari kemiskinannya. Sebaliknya, mempengaruhi pola makan dari
kaum miskin, terkhususnya di Maluku. Artinya, pola makan orang Maluku adalah
menjadikan makanan hasil kebun, seperti sagu (papeda), singkong dan keladi
sebagai makanan pokok atau menu utama. Dengan bantuan tersebut, pola makan
menjadi berubah yaitu menjadikan beras (nasi) sebagai menu utama dan menjadikan
makanan hasil kebun sebagai menu tambahan.
-
Layanan
kesehatan, berupa askes jika dilihat dari aspek ekonomi
(biaya pengobatan) sangat membantu kaum miskin dalam proses pengobatan. Bantuan
ini hanya dilihat sebagai hasil bukan pada proses. Artinya, bantuan kesehatan
berupa askes dipahami bahwa ketika seseorang mengalami sakit tentu membutuhkan
biaya pengobatan. Namun, tidak melihat sumber penyebab seseorang mengalami atau
menderita sakit.
-
Sarana
pra-sarana, belum dibangunnya sistem sanitasi maupun perbaiki kondisi jalan
secara merata. Setiap orang membutuhkan sarana pra-sarana yang telah disebutkan
untuk menunjang kebutuhan sehari-hari. Hal ini sangat dibutuhkan karena
pemukiman warga jemaat yang terdiri dari gunung, lereng gunung, kaki gunung
maupun bukit-bukit.
Berdasarkan kedua faktor (internal dan
eksternal) yang menyebabkan adanya kemiskinan di Jemaat Hative Besar, jika
dikaitkan dengan kemiskinan di dalam Alkitab, maka kaum miskin lebih
digolongkan pada kelompok ebyon dan dal. Pada kedua kelompok ini memiliki
keterkaitan dan saling mempengaruhi. Bilamana pada kelompok ebyon, kaum miskin adalah orang yang
membutuhkan atau menginginkan sesuatu. Sedangkan
dal, kaum miskin adalah orang yang
lemah dan tidak berdaya.
Kaum miskin di Jemaat GPM Hative Besar
menginginkan adanya kehidupan yang layak, kehidupan yang mengangkat martabat
manusia. Tercapainya keinginan tersebut tidak hanya membutuhkan kerja keras
untuk memenuhi kebutuhan materi (pangan) melainkan adanya perubahan paradigma
berpikir maupun sistem sosial yang berlaku dalam jemaat. Hal ini tentu bertolak belakang dengan
bantuan yang diberikan baik Raskin maupun Askes. Artinya, bantuan yang
diberikan tidak mampu untuk mencapai perubahan paradigma berpikir. Sebaliknya,
menyebabkan melemahnya paradigma berpikir dan memperkuat sistem sosial yang
berlaku.
2.
Ukuran
Kemiskinan
Berdasarkan uraian karakteristik
informan maupun faktor-faktor yang menyebabkan adanya kemiskinan di Jemaat
Hative Besar, maka dipakainya variabel kemiskinan dari Badan Pusat Statistik.
Variabel-variabel tersebut diantaranya:
1. Tiap
rumah memiliki luas lantai 8m2
2. Jenis
lantai bukan tanah
3. Ketersedian
air bersih
4. Keberadaan
jamban
5. Kepemilikan
aset
6. Variasi
konsumsi lauk-pauk
7. Pembelian
pakian (membeli pakaian satu stel dalam setahun)
8. Mengambil
bagian dalam kegiatan sosial
Kedelapan aspek tersebut telah mencakup aspek
sosial dan ekonomi atau rumah tangga diantaranya; sandang, pangan, perumahan,
kepemilikkan aset dan aktivitas sosial. Selain itu pula ditambahkan bahwa, jika
setiap keluarga tidak mampu memenuhi variabel-variabel tersebut sampai 5, maka
dikategorikan miskin. Pengukuran tersebut dapat diuraikan pada tabel di bawah
ini:
Tabel
10.1
Variabel
Pengukuran Kemiskinan
No.
|
Jenis
variable
|
Frekuensi
|
Presentase
|
||
(Ya)
|
(Tidak)
|
(Ya)
|
(Tidak)
|
||
1.
|
Tiap rumah tangga memiliki luas lantai 8m2
|
18
|
7
|
20,93 %
|
7,87 %
|
2.
|
Jenis lantai bukan tanah
|
18
|
7
|
20,93 %
|
7,87 %
|
3.
|
Ketersediaan
air bersih
|
6
|
19
|
6,97 %
|
21,35
%
|
4.
|
Kemberadaan jamban
|
18
|
7
|
20,93 %
|
7,87 %
|
5.
|
Kepemilikkan asset
|
-
|
-
|
-
|
-
|
6.
|
Variasi lauk pauk
|
9
|
16
|
10,47 %
|
17,97 %
|
7.
|
Pembelian pakaian (satu stel satu tahun)
|
9
|
16
|
10,47 %
|
17,97 %
|
8.
|
Mengambil bagian dalam kegiatan social
|
8
|
17
|
9,30 %
|
19,10 %,
|
|
Total
|
86
|
89
|
100 %
|
100 %
|
Sumber: hasil wawancara dan observasi
Pada tabel di atas, untuk variabel (1), (2) dan
(4) memiliki jumlah angka yang sama. Hal ini tentu memiliki keterkaitan dengan
kondisi rumah dari setiap informan yang dilihat sebagai representasi dari kaum
miskin. Itu berarti, dari ketiga variabel tersebut terdapat 18 keluarga yang
dapat memenuhi ketiga variabel tersebut. Sedangkan untuk 7 keluarga lainnya
tidak dapat memenuhi ketiga variabel yang telah disebutkan. Untuk variabel (3),
presentase terbesar terdapat pada keluarga yang tidak memiliki ketersediaan air
bersih. Presentase tersebut, didalamnya terdapat keluarga-keluarga yang telah
memiliki kondisi rumah yang permanen. Hal ini tentu disebabkan oleh sistem
sanitasi dan kondisi jalan yang belum merata. Sehingga pilihan untuk
memanfaatkan air kali merupakan alternatif utama. Sedangkan 6 keluarga yang
memiliki ketersediaan bersih karena memiliki sumur bor secara pribadi.
Pada variabel (5) dilihat sebagai sesuatu yang
bersifat umum. Jika dikatakan kepemilikan asset, seperti tanah. Semua informan
memiliki tanah untuk dikelola. Namun, dalam upaya tersebut setiap informan
diperhadapkan dengan; kurangnya ketrampilan, terbatasnya akses terhadap jalan
maupun akses terhadap pasar. Dalam hal ini, perhitungan harga pasar maupun
transportasi (lihat hal. 45). Jika demikian, ketika kepemilikkan asset dilihat
sebagai adanya modal (uang) untuk membuka usaha untuk menunjang produktifitas
tidak dapat dilakukan oleh setiap informan. Sebab, setiap informan mengakui
bahwa, dengan pekerjaan tersebut hanya mampu untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Karena itu, pada variabel ini diberikan garis datar (-). Garis
tersebut menunjukkan pada sebuah kehidupan yang statis atau kehidupan yang
tidak mengalami perubahan.
Sedangkan untuk variabel (6), presentase
keluarga yang dapat memenuhi maupun tidak dapat memenuhi memiliki selisih yang
jauh berbeda. Kondisi ini dapat dibandingkan cara bekerja masing-masing
informan dalam memenuhi kebutuhan sehari hari. Kemudian untuk dapat memenuhi
variabel (7), sangat dipengaruhi pada jumlah anggota keluarga maupun jumlah
pendapatan, kecuali keluarga yang anak-anaknya telah bekerja. Begitu pula pada
variabel 8, memiliki presentase yang juga jauh berbeda. Untuk mengambil bagian
dalam kehidupan sosial, misalnya ada keluarga yang menjadi majelis jemaat,
pengurus wadah pelayanan, tuagama dan pengasuh. Itu berarti keadaan yang
demikian tidak menjadikan keluarga-keluarga menjadi minder dalam kehidupan
bersosial. Sedangkan bagi keluarga yang tidak terlibat dalam kegiatan sosial,
seperti pengurus wadah pelayanan atau sebuah organisasi, disebabkan oleh faktor
usia maupun kesehatan (cacat fisik atau gangguan mental).
Berdasarkan uraian di atas, untuk mengetahui
jumlah keluarga yang memenuhi variabel yang telah ditetapkan maupun yang tidak
memenuhi variabel tersebut, dapat dijelaskan pada tabel di bawah ini:
Tabel
10.2
Kategori
Variabel Kemiskinan
No.
|
Kategori Variabel
|
Frekuensi
|
Presentase
|
1.
|
1 – 2
|
-
|
-
|
2.
|
3 – 4
|
21
|
84 %
|
3.
|
5 – 6
|
4
|
16 %
|
4.
|
7 – 8
|
-
|
-
|
|
Total
|
25
|
100 %
|
Sumber: hasil wawancara (banding dengan tabel
sebelumnya)
Pada tabel di atas, katergori variabel ambil
secara acak sesuai kemampuan masing-masing informan dalam memenuhi setiap
variabel. Kategori tersebut menunjukkan bahwa terdapat 21 keluarga yang hanya
mampu memenuhi variabel 3-4. Itu berarti keluarga-keluarga tersebut
dikategorikan sabagai orang miskin atau keluarga pra sejaterah.
Keluarga-keluarga tersebut juga dilihat sebagai kemiskinan absolut. Kemiskinan
absolut merupakan ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan primer, seperti
sandang, pangan, papan, kesehatan (ketersediaan air bersih) kerja yang wajar
dan pendidikan dasar. Kemudian kebutuhan sekunder, seperti rekriasi dan
partisipasi dalam kegiatan sosial. Pada bagian ini, dapat dilihat
perbandingannya pada penjelasan pendidikan maupun pekerjaan.
Sedangkan 4 keluarga yang mampu memenuhi jumlah
variabel antara 6-7 dapat disebut keluarga sejaterah. Walaupun demikian,
keluarga tersebut dapat dikategorikan sebagai kelompok yang mengalami
kemiskinan relatif. Kemiskinan ini dapat saja terjadi ketika adanya bencana
alam, misalnya gagal panen disebabkan oleh longsor atau curah hujan yang tidak
menentuh dan mempengaruhi faktor pendapatan.
C.
Pelayanan
Gereja terhadap Kaum Miskin
Untuk
mengetahui pelayanan gereja terhadap kaum miskin dapat dilihat pada tiga bagian,
yaitu;
a. Program Gereja
Program pelayanan gereja merupakan suatu aksi
nyata untuk menjawab gumulan konteks dari jemaat, terutama kaum miskin. Hal ini
dapat dilakukan berdasarkan visi pelayanan yang digagas oleh gereja. Visi
pelayanan Jemaat hative Besar yaitu:
“Mewujudkan Jemaat GPM Hative Besar yang sejaterah
yakni jemaat yang mampu memenuhi kebutuhan dasar yang berkecukupan serta mampu
meningkatkan kualitas hidup yang layak”.[51]
Begitu pula dengan prioritas pelayanan,
khususnya pada pengembangan kapasitas umat yaitu
“Terbentuknya kematangan ekonomi keluarga jemaat
yang dioptimalisasi melalui kerja dan penggelolaan potensi sumber daya alam
yang ada di jemaat.”[52]
Berdasarkan visi dan prioritas
pelayanan maka gereja mengangkat program peningkatan mutu pendidikan dengan
memberikan beasiswa bagi siswa berprestasi yang kurang mampu. Upaya tersebut
dilakukan dengan melihat pada terbatasnya ekonomi keluarga dalam menyekolahkan
anaknya di perguruan tinggi. Begitu pula dengan program peningkatan ekonomi keluarga
baik oleh wadah pelayanan perempuan maupun laki-laki. Diangkatnya program ini
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:
·
Minimnya pengetahuan tentang peluang usaha
·
Kurangnya ketrampilan atau skil
·
Tidak tersedianya modal usaha[53]
Berdasarkan
faktor-faktor di atas, maka kegiatan yang dilakukan adalah sosialisasi peluang
usaha, pelatihan ketrampilan usaha sesuai potensi dan spesifikasi usaha
(pertanian dan perikanan) serta fasilitasi pembuatan proposal. Namun, program
ini tidak dapat dilakukan dengan beberapa kendala diantaranya:
·
Belum tersedianya data potensi perempuan maupun
laki-laki secara maksimal
·
Kesibukan pada pembangunan fisik
·
Kurangnya koordinasi
·
Tidak tersedianya anggaran belanja program dan
ditanggungkan kepada seksi/bidang.[54]
Faktor-faktor
kendala di atas, menjadi indikator bahwa kepedulian gereja dalam membantu umat
untuk keluar dari lingkaran kemiskinan masih sangat rendah bahkan hanya sebatas
wacana yang dikumandangkan setiap kali dalam persidangan jemaat.[55]
Apalagi program yang diangkat adalah program pengulangan selama dua tahun
berturut-turut. Kendati demikian, salah satu kegiatan dari program yang
diangkat baru direalisasi pada tahun 2013, yaitu sosialisasi pertanian (banding
dengan penjelasan realita kemiskinan).[56]
Sedangkan untuk pelayanan diakonal dianggarkan Rp.130.000,- per orang untuk
jemaat secara keseluruhan tanpa membedakan status sosial. Anggaran tersebut
hanya bersifat tanggap darurat, apabila ada keluarga-keluarga yang mengalami
sakit maupun bencana alam, gereja memberikan bantuan sesuai yang telah
dianggarkan. Pelayanan seperti ini sangat mudah untuk dilaksanakan. Sedangkan
peningkatan ekonomi keluarga, yang disebut sebagai diakonia reformatif atau
pembangunan yang sifatnya menengah dan jangka panjang. Namun, tidak terlaksana
karena kendala yang sangat menonjol adalah memperioritaskan
pembangunan gereja secara fisik maupun tidak tersedianya anggaran untuk
realisasi program.
b. Renstra Jemaat
Berkaitan dengan
pelayanan gereja juga mengacu pada renstra jemaat. Pada arah kebijakan dan strategi yang digagas
dalam renstra terhitung dari tahun 2012, 2013 dan 2014. Bilamana, pada tahun
2012 yang dilakukan adalah inventarisasi keluarga pra sejaterah dan pelayanan
karitatif. Untuk tahun 2013, yang dilakukan peningkatan ekonomi keluarga pra sejaterah dan
pelayanan karitatif. Sedangkan, untuk tahun 2014 target yang dicapai adalah
kemandirian keluarga pra sejaterah.[57]
Dengan pola pelayanan yang demikian, tentu target yang akan dicapai pada tahun
2014 tidak akan terwujud. Sebab, peningkatan kemandirian keluarga pra sejaterah
tidak hanya dilakukan dengan bantuan pelayanan karitatif belaka. Bahkan
pelayanan tersebut akan bersifat kebalikan dari yang diharapkan. Artinya, hanya
sebagai orang yang siap menerima bantuan dan bersifat pasif bahkan tidak mengupayakan
kemandirian.
c. Realitas (konteks)
Pada
bagian ini, hal yang diperhatikan adalah tanggapan informan terhadap realitas
kemiskinan dalam hubungan dengan pelayanan gereja. Ada informan yang mengatakan
“yang penting jam ibadah pigi pimpin
ibadah, khotbah bagus dan doa juga bagus. Kalau gereja mau bantu ja bantu
berapa, sementara gereja juga punya utang pembangunan. Jadi bantuan yang
diberikan juga harus sesuai dengan uang kas jemaat”.[58]
Di satu sisi, jawaban tersebut menunjukkan bahwa pelayanan gereja hanya
dipahami sebatas pelayanan ritual. Pelayanan gereja tentu tidak hanya dibatasi
pada aspek ritual maupun pembangunan secara fisik, sebagaimana telah dijelaskan
pada bagian sebelumnya melainkan juga mencakup aspek sosial dalam kehidupan
berjemaat.
Di
sisi lain, pelayanan gereja (memberikan bantuan bagi kaum miskin) berkaitan
dengan keuangan (APBJ). Keuangan gereja lebih diprioritaskan pada pembangunan
secara fisik ketimbang pembangunan sumber daya manusia (pemberdayaan kaum
miskin). Artinya, realisasi program berkaitan dengan anggaran yang tersedia.
Hal yang ditemukan ketika mempelajari hasil keputusan sidang jemaat tahun 2013
adalah adanya anggaran untuk realisasi program ditangguhkan kepada
masing-masing seksi. Dengan kata lain, seksi mengusahakan anggaran sendiri
untuk merealisasi program (bandingkan dengan penjelasan program maupun gereja
dan lihat pada lampiran).
Keterlibatan
gereja dapat dilakukan dengan memanfaatkan sumber daya lokal yaitu sumber daya
alam, laut dan sumber daya manusia. Dalam kaitan dengan pelayanan gereja,
adapula informan yang memiliki pemahaman berbeda. Informan mengatakan bahwa “akan diberikan modal usaha bagi keluarga
yang potensial (memiliki kemampuan usaha). Sedangkan untuk meningkatkan sumber
daya manusia terkhususnya pada aspek pendidikan, akan diberikan beasiswa bagi
anak yang berprestasi, namun orang tuanya tidak mampu”.[59]
Jawaban ini, tentu bertujuan untuk meningkatkan ekonomi keluarga dan mutu
pendidikan. Hal ini jika dibandingkan dengan penjelasan program gereja pada
bagian sebelumnya telah digagas oleh gereja pada keputusan sidang sebelumnya.
Karena itu, upaya tersebut merupakan sebuah pengulangan yang mestinya dicapai
oleh gereja. Pengulangan tersebut juga menunjukkan bahwa adanya kegelisahan
gereja untuk melihat orang-orang miskin. Namun, hal tersebut masih sebatas
sikap simpati dan belum ada aksi nyata. Artinya, kegelisahan haruslah diikuti
dengan sebuah tindakan nayata.
Berdasarkan
ketiga hal tersebut (Program Gereja, Renstra Jemaat, Konteks) tentunya sangat berkaitan
satu dengan yang lain. Upaya gereja untuk menolong kaum miskin (pemberdayaan
umat) masih hanya sebatas wacana. Sedangkan, pelayanan gereja, seperti ritual
maupun pembangunan gereja secara fisik yang lebih diutamakan. Dengan kata lain,
pelayanan ritual dan pembangunan gereja secara fisik dijadikan sebagai program
prioritas. Dikatakan demikian, karena banyak ibadah-ibadah yang dilakukan oleh
gereja. Terlihat jelas bahwa, untuk setiap hari dalam seminggu selalu ada
ibadah. Begitu pula hasil keputusan sidang, baik perencanaan program maupun
anggaran kedua-duanya memiliki keterkaitan. Dengan kata lain, program tidak
dapat dijalankan tanpa ada perencanaan anggaran, begitu pula sebaliknya. Karena
itu, program yang diangkat hanyalah sebatas selogan belaka. Padahal,
program-program tersebut menjadi hal yang penting dalam membantu kaum miskin.
Di
satu sisi, gereja (mejelis) memahami upaya untuk membantu kaum miskin hanya
sebatas pemberian materi atau hal-hal yang terlihat secara fisik. Sedangkan
upaya untuk menyadarkan umat dalam mengusahakan kehidupan yang lebih layak
masih sangat rendah. Di sisi lain, gereja berusaha untuk mewujudkan visinya,
melalui peningkatan ekonomi keluarga. Namun, hal ini tidak akan tercapai
apabila yang diprioritaskan adalah kegiatan ritual dan pembangunan fisik maupun
pelayanan karitatif. Itu berarti, secara tidak langsung gereja membiarkan
umatnya hidup dalam keterbelakangan sosial ekonomi maupun mutu pendidikan.
Dengan kata lain, umat berjuang atau berusaha sendiri untuk keluar dari situasi
kemiskinan.
Perjuangan
tersebut telah dilakukan melalui kerja keras untuk dapat bertahan hidup. Namun,
dalam perjuang tersebut tidak membawa perubahan dalam kehidupan kaum miskin.
Bahkan anak-anak yang dalam usia sekolah harus berhenti dan bekerja untuk
menopang ekonomi keluarga. Hal ini sangat menojol pada tabel pendidikan (lihat
tabel 09.2). Bilamana tingkat pendidikan di perguruan tinggi sangat rendah bila
dibandingkan dengan tingkat pendidikan pada jenjang, SMA. Itu berarti,
pemahaman tentang kemiskinan bukan diakibatkan oleh sikap malas seseorang,
melainkan hilangnya motivasi atau kesadaran untuk mendapatkan sebuah perubahan
dalam kehidupan bersama. Begitu juga dengan orang yang memiliki keilmuan yang
cukup, jika tidak ada motivasi maupun keterbatasan modal untuk dapat
mengaplikasikan ilmunya maka keinginan tersebut tidak akan tercapai. Karena
itu, untuk mencapai sebuah perubahan tidak hanya dengan kerja keras maupun
keilmuan yang cukup. Namun, membutuhkan kreativitas dan motivasi bahkan pembebasan
dari paradigma berpikir yang keliru maupun sistem sosial yang menciptakan
ketergantungan.
Sehingga
dalam situasi sulit, seperti hilang motivasi atau kesadaran dibutuhkan pihak
kedua (orang lain yang dapat memberikan dorongan). Artinya, untuk keluar dari
situasi kemiskinan tidak bisa dilakukan oleh kaum miskin sendiri. Melainkan
membutuhkan pihak yang dapat memberikan kontribusi berpikir dalam membangkitkan
motivasi seseorang. Hal inilah mesti menjadi perhatian dari gereja, yang tidak
hanya memberikan bantuan secara materi yang disebut sebagai diakonia karitatif.
Jika demikian, kaum miskin hanya dijadikan sebagai objek belas kasihan dan
menciptakan sikap ketergantungan.[60]
Diakonia gereja tidak cukup bersifat karitatif melainkan harus disertai dengan
upaya perubahan, yaitu pola pikir untuk dapat mengusahakan kehidupan yang
layak.
D.
Kesimpulan
Analisis
Dari hasil analisis terdapat
beberapa hal yang dapat disimpulkan yaitu:
a. Faktor-faktor penyebab kemiskinan
Adanya
orang miskin di Jemaat GPM Hative Besar disebabkan oleh dua faktor, yaitu
-
Faktor internal, berupa perilaku hidup yang
konsumtif dan pola pikir (paradigma), hidup apa adanya.
-
Faktor ekstenal berupa pelayanan sosial yang
bersifat tidak membebaskan bahkan menciptakan ketergantungan.
Berdasarkan kedua faktor tersebut, yang sangat
menonjol adalah faktor internal. Sedangkan faktor eksteral tidak nampak tetapi
sangat mempengaruhi kehidupan kaum miskin.
b. Pelayanan gereja terhadap kaum miskin
Pada
bagian ini terdapat dua bentuk pelayanan yang dilakukan oleh gereja bagi kaum
miskin, yaitu pelayanan diakonia karitatif dan diakonia reformatif atau
pembangunan. Bilamana, diakonia karitatif dijadikan sebagai pelayanan tanggap
darurat. Sedangkan diakonia reformatif dijadikan sebagai bentuk pelayanan
jangka panjang. Hal ini sangat menonjol dalam program yang digagas maupun
pemahaman pelayan, bilamana keluarga yang kurang mampu diberikan modal usaha.
Kedua pelayanan tersebut yang sangat menonjol adalah pelayanan diakonia
karitatif bila dibandingkan dengan diakonia reformatif. Kendati demikian, kedua
pelayanan tersebut tidak membebaskan kaum miskin tetapi menjadikan mereka
sebagai objek belas kasihan.
BAB III
REFLEKSI TEOLOGIS
A.
TANGGUNG
JAWAB GEREJA TERHADAP KAUM MISKIN
Keterlibatan
gereja dalam melihat kehidupan orang-orang miskin didasarkan pada
kepercayaan di dalam Kristus. Bagi
gereja, Yesus Kristus adalah sumber pelayanan Kristen yang diarahkan pada
manusia baik fisik maupun rohani, baik pribadi maupun kelompok yang selalu
mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan.[61] Pemahaman
Alkitab tentang orang miskin dan tertindas serta
rasa takut terhadap penderitaan dimulai
dari persepsi tentang sejarah orang miskin. Orang-orang miskin percaya bahwa Allah Perjanjian Lama adalah
Allah yang miskin
dan tertindas, Allah yang mendengar teriakan orang-orang
Israel yang diperbudak, yang membebaskan mereka dari Mesir, yang menderita dalam
eksodus dan di
pengasingan dan yang terus
bertindak dalam sejarah untuk menegakkan
keadilan dan kebenaran. Allah
Perjanjian Baru adalah
Tuhan yang sama, yang mengutus anak-Nya Yesus Kristus yang memberitakan kabar baik bagi orang yang tertindas, orang sakit dan miskin serta menghibur mereka dalam kesedihan. Namun, Allah yang menjadi miskin di dalam Yesus
Kristus dan rela menderita, dimuliakan oleh Allah yang membangkitkan
Dia dari antara orang mati. Sehingga baik orang
kaya maupun miskin akan mengalami pembebasan oleh Allah.
Di dalam ucapan
Yesus yang memberi penekanan terhadap kata miskin baik
dalam injil Matius berbeda dengan Lukas. Pada Matius 5:3; “Berbahagialah orang
yang miskin dihadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga”
maupun Lukas 6:20; “Berbahagialah, hai kamu yang miskin, karena kamulah yang
empunya Kerajaan Allah”. Matius memberikan penekanan pada dimensi religius
sedangkan Lukas melihat pada dimensi religius dan material. Kendati demikian,
baik Matius maupun Lukas penekanannya memiliki kemiripan yaitu menyentuh
demensi-demensi kehidupan orang-orang yang Yesus pandang “diberkati” atau
“berbahagia”.[62] Di dalam ucapan ini,
mestinya juga dipahami sebagai suatu cara pengosongan diri untuk bergantung
sepenuh kepada Allah.[63]
Cara mengantungkan diri kepada Allah
tidak bisa hanya dipahami secara rohani saja melainkan juga menyangkut seluruh
aspek kehidupan. Sikap pasrah, mengandalkan dan mempercayakan hidup kepada
Allah tidak terlepas dari kemiskinan dan penderitaan secara real.[64]
Dasar dari kemanusiaan adalah
mencegah kepuasan pribadi yang dapat menimbulkan ketidakseimbangan dan
ketergantungan. Dengan demikian, keterlibatan gereja yang berjuang demi
keadilan dan kebenaran merupakan bagian dari pergerakkan orang percaya yang
bertanggung jawab terhadap kebenaran yang telah diterima dari Allah bagi
orang-orang miskin. Kaum miskin yang dihadapi Yesus adalah orang-orang-orang
yang miskin secara fisik atau material, ekonomi, sosial, politik maupun
religius. Sehingga hadirnya Kerajaan Allah dilihat sebagai keseimbangan atau
keadilan. Kerajaan Allah menjadi sentral dari ajaran Yesus. Kehadiran Yesus
seperti yang diproklamasikan oleh Yohanes, datang untuk menyelamatkan dan
mengangkat orang-orang yang hidup dalam ketertindasan (Lukas 4:17-19). Artinya,
kehadiran Yesus sebagai bagian dari sebuah pengharapan untuk memberikan keseimbangan
ketika terjadi ketidakadilan atau kehidupan yang mendatangkan penderitaan.
Yesus juga mengajarkan tentang tanggung jawab orang kaya terhadap orang miskin.
Cerita tentang orang kaya
yang mengikuti Yesus menunjukkan bahwa Yesus sama sekali tidak menolak orang
kaya. Artinya, semua orang berhak untuk kaya tetapi kekayaan yang diperoleh
hendaknya digunakan juga untuk membantu orang yang miskin dan tertindas (Lukas
12:16-21). Membantu orang miskin tidaklah berarti meringankan beban mereka
melainkan untuk memperoleh keseimbangan sebagai bagian dari keadaan yang tidak
adil, keadaan yang menciptakan ketergantungan. Tindakan ini dilakukan sebagai
pemaknaan terhadap Kerajaan Allah dalam memahami kemanusiaan yang utuh.[65]
Menurut Guztavo Guiters, Yesus tidak hanya
menyelamatkan orang berdosa dan memperkaya mereka dalam kemiskinan melainkan
sebuah tindakan solidaritas terhadap kemanusiaan dan upaya menyelamatkan semua
orang.
Gereja yang melibatkan diri
dalam pilihan cinta kasih untuk mendahulukan kaum miskin disebut sebagai gereja
kaum miskin. Hal yang sangat ditekankan adalah baik kemiskinan maupun kekayaan
dapat memperbudak atau membebaskan manusia, dapat menjauhkan atau menyatukan
orang demi tindakan penyelamatan Allah. Gereja kaum miskin dapat digambarkan
dari dua aspek yaitu pertama, hubungannya dengan Allah yang menampakkan kuasa
dan belas kasihan-Nya, yang menyelamatkan melalui Yesus Kristus (kristologi).
Kedua, hubungannya dengan kehidupan real kaum miskin (ekonomi, politik,
kultural dan religius). Kedua aspek ini, saling berhubungan satu dengan yang
lain dan sangat menentukan apakah gereja sungguh-sungguh hidup sebagai gereja
kaum miskin atau tidak. Dalam gambaran injil ditemukan pribadi Yesus sebagai
yang miskin dan rendah, sebagai yang dekat bahkan mendahulukan kaum miskin
dalam pelayanan-Nya. Sebagaimana yang terlihat dalam cerita mengenai pengadilan
(Matius 25:31-46). Cerita mendahulukan kaum miskin merupakan wujud pelayanan
kepada Kristus, wujud penampilan cinta ilahi. Orang yang kaya atau orang yang
mempunyai kekuasaan dapat menemukan Kristus dalam diri orang miskin yang
menghayati hidup sebagai gereja kaum miskin.[66]
Tindakan gereja
dalam melihat kemiskinan, terkhususnya di Jemaat GPM Hative Besar merupakan
bagian yang utuh dalam proses pengenalan Allah. Gereja dilihat sebagai
representasi kehadiran Allah yang terus berkarya dalam sejarah kehidupan
manusia. Dengan kata lain, Gereja adalah Tubuh Kristus yang harus mencerminkan
kasih dan pengorbanan Kristus. Gereja adalah buah sulung Kerajaan Allah yang
harus mencerminkan keadilan, kedamaian
dan kesejateraan. Pada bagian ini,
gereja dilihat sebagai suatu gerakan umat Allah yang sedang menjalankan misi
Allah. Hal yang sangat penting dari kehadiran gereja di dunia adalah
menjalankan misi Allah. Dalam pemahaman inilah, maka pelayanan gereja terhadap
kaum miskin adalah pelayanan yang membebaskan.
Sebagai gereja harus
melibatkan diri dan berjuang untuk membebaskan kaum miskin dari pemahaman yang
keliru maupun sistem sosial yang berlaku dan mengakibatkan sebagian anggota
jemaat tidak dapat menikmati fasilitas secara merata (sarana air bersih dan
jalan). Hal tersebut merupakan salah satu tugas gereja untuk mengatasi masalah
kemiskinan. Dalam mengatasi kemiskinan haruslah dimulai dari akar masalah atau
penyebab suatu masalah. Dengan kata lain, pelayanan
gereja terhadap kaum miskin bukanlah
berarti menghapus kemiskinan, melainkan berusaha mengurangi faktor penyebab
kemiskinan.
Keprihatinan terhadap kaum
miskin juga menjadi bagian dari tugas pengutusan yang tidak menjadikan kaum
miskin sebagai objek untuk berbuat amal. Jika demikian, kaum miskin tidak
menjadi bagian dari subjek perubahan melainkan menjadi pasif bahkan sebagai
pelengkap dari sebuah perubahan.[67]
Tindakan solidaritas yang dilakukan, tidaklah berarti dapat membasmi kemiskinan
melainkan sebagai konsekuensi dari kepercayaan kepada Allah. Kepercayaan inilah
yang mendorong sikap solidaritas terutama untuk untuk mencerminkan tindakan
Kristus dalam kehidupan sehari-hari atau Kristus menjadi pola dalam kehidupan.[68]
Hal yang sama pula disampaikan di dalam Mat.25:31, dst. Kaum miskin haruslah
dilihat sebagai orang yang dipergunakan
Allah untuk membentuk sejarah keselamatan. Pada situasi inilah gereja
terpanggil untuk melaksanakan tugas profetis. Keterpaggilan gereja inilah
mestinya menolong orang sesuai kebutuhan dan kemampuannya.
B.
PELAYANAN
YANG MEMBERDAYAKAN KAUM MISKIN
Dalam kehidupan yang selalu dinamis pontesi kemiskinan dapat saja
terjadi. Hal ini menggambarkan adanya ketidakselarasan atau ketidakseimbangan
kehidupan yang menyebabkan penderitaan. Kondisi yang demikian pun dipengaruhi
oleh hubungan timbal-balik antara ciptaan. Manusia hidup dengan sumber daya
alam yang telah tersedia, maka manusia harus mampu menjaga dan melestarikannya
untuk tetap produktif tanpa harus tergantung terhadap bantuan alam. Ketika hal
ini tidak dapat dilakukan maka terjadilah kesenjangan sosial atau kemiskinan[69].
Di satu sisi, ketidakmampuan manusia dalam mengelola alam juga
dipengaruhi oleh paradigma berpikir yang sempit. Artinya, paradigma berpikir
yang berdampak positif akan membawa manusia untuk mencapai kesejateraan hidup.
Namun, paradigma berpikir yang negatif atau keliru akan membawa manusia pada
kemiskinan. Di sisi lain, ketidakmampuan tersebut juga di pengaruhi oleh sistem
pelayanan yang tidak adil bahkan tidak memperhitungkan martabat manusia secara
utuh.
Hal inilah yang dialami oleh sebagian anggota Jemaat GPM Hative
Besar yang hidup dalam kondisi kemiskinan. Di satu sisi, kaum miskin di Jemaat
GPM Hative Besar hidup dengan sumber daya alam yang telah tersedia. Namun, kaum
miskin tidak mampu mengelola alam yang telah tersedia sebagai akibat dari
lemahnya sumber daya manusia. Di sisi lain, kaum miskin juga membutuhkan sarana
prasarana yang dapat menunjang produktifitas, seperti akses terhadap jalan
maupun transportasi untuk dapat menjual hasil kebunnya. Situasi tersebut
memaksa manusia untuk cepat “puas” dengan apa yang dimiliki, meskipun nyaris
mencukupi kebutuhan hidup mendasar.[70]
Artinya, mentalitas hidup yang hanya berorientasi pada masa kini tanpa
memikirkan masa depan. Pola hidup yang demikian berorientasi pada kehidupan
yang tidak produktif tetapi konsumtif. Kehidupan seperti ini, menjadikan
manusia tidak memiliki sumber pendapatan atau modal untuk menunjang
produktivitas melainkan menciptakan ketergatungan terhadap alam.
Cara hidup yang dipengaruhi oleh paradigma berpikir yang keliru
maupun pelayanan yang tidak menyentuh sumber penyebab masalah (kemiskinan)
sangat perlu untuk di transformasi. Artinya, dalam upaya membawa kaum miskin
keluar dari kondisi kemiskinan tidak hanya dibatasi dengan pemberian materi
(pangan), pelayanan gratis (kesehatan) maupun modal usaha. Namun, perlu adanya
perubahan sosial baik dalam diri kaum miskin maupun sistem yang berlaku.
Upaya membantu kaum miskin seperti di atas telah lazim digunakan oleh
lembaga pemerintahan bahkan juga dilakukan oleh gereja. Tindakan seperti ini
sama sekali tidak membebaskan kaum miskin dari situasi ketidakberdayaan
melainkan menciptakan ketergantungan dan menjadikan kaum miskin sebagai objek
belas kasihan. Secara khusus pelayanan terhadap kaum miskin yang dilakukan oleh
gereja di Jemaat GPM Hative Besar. Pelayanan yang sangat menonjol adalah
pelayanan diakonia karitatif yang merupakan pelayanan yang sangat cepat dan
mudah (tanggap darurat). Bentuk pelayanan ini adalah mengunjungi orang sakit,
mengunjungi orang dalam penjara dengan membawa makanan dan memimpin renungan,
menyediakan beras untuk membantu keluarga miskin serta mendirikan poliklinik
gratis atau murah untuk orang miskin.[71]
Setelah itu pelayanan diakonia reformatif atau pembangunan yang telah
direncanakan tetapi tidak dapat dilaksanakan karena lebih memprioritaskan
pembangunan gereja secara fisik.
Pelayanan diakonia reformatif melihat kemiskinan sebagai akibat
dari kebodohan, kemalasan dan kurangnya modal.[72]
Diakonia ini lebih mengarah kepada pelayanan secara individu. Dengan kata lain,
fokus pelayanannya hanya kepada orang yang mengalami kemiskinan dan tidak
melihat kepada sistem sosial yang juga turut mempengaruhi terjadinya
kemiskinan. Sehingga orang yang tidak memiliki modal usaha diberikan modal,
begitu pula anak-anak yang berprestasi dari keluarga yang kurang mampu
diberikan beasiswa.
Di satu sisi, pelayanan seperti ini bertujuan untuk membantu
ekonomi keluarga demi meningkatkan kesejateraan. Di sisi lain, pemaknaan
terhadap kesejateraan tidak hanya dibatasi pada upaya pemberiaan bantuan,
melainkan kesejateraan memiliki makna yang sangat kompleks. Kesejateraan dari
aspek materi dan jasmani meliputi kemakmuran, kepastian, pekerjaan dan
kesehatan tubuh. Sedangkan dari aspek psikis dan sosial meliputi hubungan baik
dengan sesama maupun spritualitas. Kesejateraan juga menyangkut hal-hal yang
bersifat normatif, seperti pandangan hidup.[73]
Sehingga diakonia yang dilakukan sangat perlu untuk memahami hal-hal yang telah
disebutkan di atas.
Diakonia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ibadah orang
percaya. Liturgi dan diakonia merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Dalam
Roma 12:1 Paulus memakai kata-kata “ibadahmu yang sejati” untuk menghubungkan
ibadah dan kehidupan. Dalam surat-suratnya Paulus menarik garis yang jelas
antara pertemuan jemaat dan pengabdian seluruh hidup kepada Allah dan sesama,
terutama sesama yang lemah dan menderita.
Kata “sejati” menurut H.N.Ridderbos dalam komentarnya atas Roma
12:1 dapat disamakan dengan “rohani” (band. 1Petrus 2:5). Dalam hidup orang
Kristen bukan ritual lahariah itulah yang diutamakan, melainkan penyembahan
dalam Roh Kudus dan kebenaran.[74]
Panggilan gereja dalam melayani kaum miskin tidak hanya sebatas
berkhotbah di setiap ibadah minggu maupun ibadah-ibadah yang lain dan
mengharapkan kaum miskin mengalami perubahan. Namun, perlu diselaraskan dengan
sebuah tindakan yang nyata. Perubahan mestinya diusahakan, sebab upaya mengubah
paradigma berpikir yang keliru dan telah di bangun turun-temurun atau terinternalisasi
dalam diri seseorang membutuhkan waktu yang cukup panjang. Namun, hal ini dapat
dilakukan dengan memanfaatkan berbagai media sebagai upaya untuk merangsang
cara berpikir seseorang dalam mengusahakan kehidupan yang layak. Artinya,
kehidupan yang layak adalah kehidupan yang tidak berkekurangan maupun tidak
berkelebihan, melainkan berkecukupan atau adanya keseimbangan hidup.
Ibadah yang sejati tidak hanya dihubungkan dengan upacara kebaktian
seseorang, tetapi dalam bentuk mempersembahkan seluruh kehidupan kepada Allah
sebagai persembahan yang hidup dan berkenan kepada Allah. Diakonia terhadap
orang miskin merupakan ibadah kepada Allah. Nabi Amos, Yesaya, dan para nabi
lain mengingatkan bahwa ibadah yang benar adalah melepaskan belenggu tali
kemiskinan. Dalam Yesaya 58:6 ditegaskan:
“Bukan! Berpuasa yang Kukehendaki, ialah supaya engkau membuka
belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau
memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk”.[75]
Pelayanan yang dilakukan terhadap orang miskin adalah pelayanan
yang membebaskan bukan menciptakan ketergantungan. Pelayanan untuk membebaskan
disebut sebagai diakonia transformatif. Diakonia ini bukan sekedar memberikan
uang tetapi pemberdayaan orang miskin. Artinya, pelayanan ini sebagai bentuk
menyadarkan orang terhadap situasi yang dialami sehingga orang dimampukan untuk
kuat berjalan sendiri. Pelayanan diakonia transformatif ditunjukkan oleh sikap
Petrus dan Yohanes terhadap orang lumpuh di depan pintu Gebang Indah Bait Allah
(Kis.3). Bilamana Petrus dan Yohanes tidak melestarikan cara hidup memberi
sedekah kepada orang lumpuh melainkan menyadarkan dan membangkitkan si lumpuh
dari kelumpuhannya. Bagi si lumpuh terjadi manusia baru dan dunia baru.[76]
Selain itu pula, dalam memahami diakonia transformatif dapat
dilihat pada cara Yesus memilih kedua belas murid. Kedua belas murid dipilih
dari kalangan yang berbeda-beda dan merupakan orang-orang yang termajinal
(dipandang sebagai orang-orang berdosa) pada zaman Yesus. Bilamana kelompok
tersebut berasal dari petani, nelayan, pedagang biasa, pemungut cukai dan tokoh
politik. Tindakan Yesus dalam mengorganisir kelompok tersebut adalah untuk
mencapai keseimbangan terhadap struktur sosial yang tidak adil. Langkah yang
dilakukan Yesus adalah memahami karakter dan keunikan dari masing-masing murid.
Yesus tidak menciptakan ketergantungan melainkan dibentuknya kelompok kerja
yang tidak mengandalkan kekuatan individu (bekerja sama). Pada bagian ini, Yesus tidak
memposisikan diri sebagai pemimpin melainkan menjadi pendamping dan motivator
bagi murid-murid-Nya.
Diakonia transformatif dipahami sebagai suatu bentuk pelayanan yang
dapat mengorganisir rakyat maupun melayani orang miskin dan termarjinal. Fokus
diakonia ini, yaitu;
1) Rakyat
sebagai subjek, bukan objek,
2) Tidak
karitatif tetapi preventif,
3) Tidak di
dorong oleh belas kasihan tetapi keadilan,
4) Mendorong
partisipasi rakyat,
5) Memakai
alat analisis sosial dalam memahami sebab-sebab kemiskinan,
6) Melakukan
penyadaran terhadap rakyat,
7) Mengorganisasi
rakyat.[77]
Pada diakonia ini tidak hanya melihat kaum miskin secara individu
melainkan juga menyentuh struktur masyarakat yang menciptakan ketidakadilan.
Namun, bukanlah berarti diakonia transformatif lebih ideal dari diakonia
karitatif dan reformatif, melainkan ketiganya memiliki hubungan timbal-balik. Diakonia karitatif dan
reformatif dapat dijadikan sebagai pintu masuk diakonia transformatif. Hal ini
dapat dilakukan, sangat tergantung terhadap situasi kemiskinan yang dihadapi
oleh kaum miskin. Artinya, dalam memberikan bantuan terhadap kaum miskin sangat
penting untuk memperhatikan faktor penyebab terjadinya ketidakberdayaan
seseorang.
Kaum miskin yang berada di Jemaat Hative Besar juga membutuhkan hal
sama, seperti yang dilakukan oleh Petrus dan Yohanes maupun yang dilakukan oleh
Yesus dengan mengorganisir kelompok inti. Kaum miskin bukanlah orang yang tidak
memiliki sesuatu untuk dilakukan demi memperoleh kehidupan yang layak. Bukan
juga orang yang selalu membutuhkan bantuan-bantuan materi dan mengharapkan
belas kasihan dari orang lain. Namun, dalam keadaan yang serba sulit kaum miskin masih memiliki
kekuatan untuk dapat mempertahankan hidup.
Cara yang dilakukan adalah dengan mengusahakan atau melakukan
berbagai pekerjaan. Hanya saja dalam upaya mempertahankan hidup, kaum miskin
terjebak dalam paradigma berpikir yang keliru (hidup atau bekerja cukup untuk
hari ini) maupun upaya tersebut tidak ditopang oleh sarana prasarana yang
memadai, sehingga menyebabkan ketidakberdayaan atau kemiskinan.
Pelayanan terhadap kaum miskin tidak hanya terbatas secara fisik,
kecerdasan otak, ketrampilan maupun aspek ekonomi dan teknologi tetapi haruslah
bersifat menyeluruh. Dalam hal ini meliputi ketanguhan iman, moral, akhlak,
etika dan kepribadian dalam menunjang nilai-nilai kemanusiaan. Inti dari
pelayanan yang memberdayakan adalah memperhatikan martabat manusia. Dengan kata
lain, dalam meningkatkan harkat dan martabat memiliki ciri sebagai manusia yang
telah dibangkitkan kepercayaan dirinya (dimanusiakan). Nilai dari sebuah
pelayanan menstinya berawal dan berakhir
pada pribadi manusia yang diciptakan sesuai dengan citra Allah.[78]
BAB IV
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Berdasarkan
uraian keseluruhan bab yang telah terlewati, maka penulis dapat memberikan
beberapa kesimpulan sebagai berikut:
·
Kemiskinan yang alami oleh sebagian anggota
Jemaat GPM Hative Besar di pengaruhi oleh dua hal yang saling berkaitan, baik
dalam diri kaum miskin sendiri maupun dari luar. Kondisi ini dialami sebagai
bentuk dari perilaku hidup yang konsumif.
Cara hidup seperti ini bukan berarti tidak baik melainkan perlu ada peningkatan
hidup. Artinya, pekerjaan yang dilakukan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan
pangan tetapi juga dapat dimanfaatkan untuk menjadi modal usaha. Begitu pula
dengan tingkat pendidikan yang rendah yang juga sangat mempengaruhi pola pikir
seseorang dalam melakukan aktivitas (upaya untuk peningkatan kualitas hidup).
Peningkatan kualitas hidup tidak hanya dapat dilakukan oleh salah satu pihak
saja atau kaum miskin sendiri tetapi juga membutuhkan kerja sama dengan pihak
yang lain terutama gereja.
·
Jumlah angka kemiskinan berdasarkan kriteria
yang dipakai sangatlah kecil. Bila dibandingkan dengan jumlah anggota jemaat
secara keseluruhan. Namun, dengan jumlah yang demikian perlu ada penanganan
lebih serius. Sebab apabila dibiarkan, jumlah tersebut sewaktu-waktu akan
meningkat.
·
Pelayanan yang dilakukan oleh gereja tidak
dapat menciptakan pembebasan bagi kaum miskin untuk keluar dari kemiskinan yang
dialami atau tidak menyentuh akar-akar penyebab kemiskinan. Namun, menciptakan
ketergantungan bahkan pelayanan yang dilakukan hanya melihat kaum miskin
sebagai objek belas kasihan tanpa menjadikan kaum miskin sebagai subjek yang
mengusahakan perubahan bagi dirinya sendiri. Dengan kata lain, dalam mengusahakan
perubahan kaum miskin mestinya diarahkan untuk dapat menolong dirinya sendiri.
Sehingga untuk mencapai perubahan itulah dibutuhkan adanya motivator.
·
Setiap kaum miskin memiliki potensi
masing-masing yang belum diketahui atau belum diorganisir, baik secara individu
maupun kelompok.
·
Untuk mencapai perubahan bukan hanya dengan
kerja keras dan memiliki keilmuan yang cukup. Namun, dibutuhkan juga motivasi
dan kesadaran maupun kreativitas dalam mengupayakan kehidupan yang layak. Itu
berarti, perubahan haruslah dilakukan secara menyeluruh.
B.
SARAN
Berdasarkan
kesimpulan di atas, maka penulis menyarankan beberapa hal antara lain:
· Dalam
upaya membebaskan kaum miskin dari faktor-faktor penyebab kemiskinan, ada dua
pendekatan yang perlu dilakukan oleh gereja, yaitu
1. Pendekatan
individu
Pada bagian ini, gereja perlu
melihat kekuatan atau potensi yang ada pada masing-masing individu, untuk
saling melengkapi. Kekuatan-kekuatan tersebut, antara lain; usia, pekerjaan
maupun pandangan hidup. Untuk mengetahui pandangan hidup dapat dilakukan
komunikasi dua arah (bertukar pikiran). Ketika hal ini telah dilakukan, maka
langkah selanjutnya adalah memetakan usia dari setiap orang. Kemudian
dihubungkan dengan pekerjaan yang dilakukan. Pada tahap ini, setiap
individu dilatih untuk memanfaatkan
pekerjaan yang dilakukan sebagai sumber permodalan (membuka usaha). Dengan kata
lain, modal usaha dapat dilakukan atau diperoleh dari masing-masing individu
tanpa gereja yang harus memberikan modal.
2. Pendekatan
kelompok struktur
Pada pendekatan ini tentu
bersumber dari diakonia transformatif yang selalu menekankan interaksi dua arah
atau partisipasi bersama. Itu berarti, gereja perlu membangun mitra kerja
dengan pemerintah. Kedua lembaga tersebut berfungsi sebagai pendamping atau
pendorong bagi kaum miskin. Selain itu pula, perlu dibangun misi bersama bahwa
yang dilakukan adalah demi meningkatkan martabat manusia. Hal ini dapat dilakukan
dengan memperhatikan sarana pra sarana yang menunjang kebutuhan manusia maupun
melihat aspek pendidikan yang ditempuh oleh masing-masing orang. Upaya
mengorganisir kaum miskin di Jemaat GPM Hative Besar, berkaitan dengan beberapa
aspek, seperti;
1. Kondisi
jalan yang belum merata
2.
Kebutuhan air bersih (sanitasi lingkungan)
3.
Akses terhadap pasar (harga pasar)
4.
Pemberian upah (orang yang bekerja sebagai
nelayan maupun tukang sapu jalan)
DAFTAR PUSTAKA
Bakhit.I,
dkk, Menggempur akar-akar kemiskinan,
Jakarta: Yakoma-PGI, 2001
Banawiratma.J.B
dan Muller.J, Bertelogi Sosial Lintas Ilmu,
Yogyakarta: Kanisius, 1993
Blomberg.C.L,
Tidak Miskin Tetapi Juga Tidak Kaya,
Jakarta: BPK GunungMulia, 2011
Brownlee.M,
Tugas manusia dalam dunia milik Tuhan,
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004
Bosch.D.J,
Transformasi Misi Kristen, Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2005
De
Jonge.Ch, Menuju Keesaan Gereja,
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010
De
Santa Ana.J, Ed. Towards a Church of
the Poor. Ithaca: Maryknoll: Orbis Books, 1957
------------------------,
Good News To The Poor,
----------------
Elwood.D.J,
Teologi Kristen Asia, Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2006
Hendriks,
I.W.J dan Talakua.R.J, Materi kuliah;
Teologi Kontekstual Alkitabiah 2
Kirchberger.G
dan Prior.J.M, ed. Cara bergereja secara
baru di Asia, Ende: Nusa Indah, 2001
Nazir.M,
Metode Penelitian, Bogor: Ghalia
Indonesia, 2005
Noordegraaf.A,
Orientasi Diakonia Gereja, Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2004
Renstra
Jemaat GPM Hative Besar, tahun 2012-2015
Singgih.E.G, Reformasi
dan Transformasi Pelayan Gereja, Yogyakarta: Kanisius, 1997
Sairin.W,
Pengembangan sumber daya manusia menyongsong
abad 21; menyosong millennium ketiga, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000
Sukamto,Kemiskinan = Kutuk, Yogyakarta: Andi,
2013
Usman.H
dan Akbar.P.S,Metodologi Penelitian Sosial,
Jakarta: Bumi Aksara,2000
Widyatmadja.J.P,
Yesusdan Wong Cilik, Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2010
Yewangoe.A.A,
Theologi Crusis di Asia, Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2009
|
[2] Renstra jemaat
[3] Ibid
[4] Ibid
[5] Malcolm Brownlee, Tugas
manusia dalam dunia milik Tuhan (Jakarta:2004), hlm.80
[6]I.W.J.Hendriks dan R.J.Talakua, Materi
kuliah; Teologi Kontekstual Alkitabiah 2, disampaikan Tanggal 10 Oktober
2011
[8] Renstra jemaat, Op.Cit
[9] Weinata Sairin, Pengembangan sumber daya manusia menyongsong abad 21; menyosong
milenium ketiga, (Jakarta: 2000), Hlm. 57
[10] .W.J.Hendriks dan R.J.Talakua, Op.Cit
[13] I.W.J.Hendriks dan R.J.Talakua, Op.Cit
[14] Sukamto, Kemiskinan = Kutuk,
(Yogyakarta : 2013), Hlm.69
[15] Malcolm Brownlee, Op.Cit, Hlm.81
[17] Christiaan De Jonge, Menuju
Keesaan Gereja (Jakarta:2010), hlm.155
[18] David.J.Bosch, op.cit.
hlm.668
[19] A.A.Yewangoe, Theologi Crusis
di Asia (Jakarta, 2009), hlm.292-293
[21] Moh.Nazir, Metode Penelitian
(Bogor:2005), hlm.54
[22] Husaini Usman dan Purnomo.S.Akbar, Metodologi Penelitian Sosial (Jakarta:2000), hlm.86
[23] Renstra Jemaat GPM Hative Besar
[24] Ibid
[25] Ibid
[26] Hasil wawacara dengan bapak Yosep Siwasiwang, tanggal 26 November 2013, ibu Doli Helaha,
tanggal 4 Desember 2013
[27] Hasil wawancara dengan oma Paul Markus, oma Cory Lelapari, ibu Au
Nunumete, bapak Henderiko Uspessy, Oma Fin Mahubessy, tanggal 27 November 2013
[28] Renstra jemaat, Op.Cit
[29] Hasil wawancara denga ibu Ma Rihentus, tanggal 29 November 2013
[30] Hasil keputusan Sidang Jemaat tahun 2013
[31] Hasil wawancara dengan ibu Be Lelapary (majelis / guru SD), tanggal
28 November 2013
[32] Daftar raskin tahun 2012, dipakainya daftar tersebut karena menurut
salah seorang pegawai desa, perubahan nama penerima raskin tidak jauh berbeda
dengan tahun 2013
[33] Ibid
[35] Pada tabel kondisi rumah berjumlah 30 orang karena perhitungannya
berdasarkan kepala keluarga pada masing-masing rumah. Selain itu pula, angka 18
untuk orang yang memiliki rumah semi permanen di dalamnya terdapat 6 keluarga
yang merupakan representasi dari perangkat pelayan.
[36] Wawancara dengan ibu Min Rihentus (majelis), tanggal 9 Febuari
2014. Keluarga tersebut telah menetap di Jemaat Hative Besar selama 15 tahun.
Namun, sayangnya rumah yang ditempati bukanlah rumah milik pribadi melainkan
rumah tersebut adalah milik keluarga Buton yang mengunsi akibat kerusuhan.
Sehingga rumah tersebut diserahkan kepada keluarga ibu Min untuk menempatinya.
Akan tetapi, tanah yang ditempati telah dijual oleh pemilik sebelumnya kepada
pengusaha (cina). Karena itu, keluarga ini akan dipindahkan. Namun, belum ada
kepastian untuk lokasi pemindahan. Adapula yang telah menetap selama 24 tahun
maupun 30 tahun, juga mengalami nasib yang sama. Diakui bahwa, tanah tersebut
belum bersertifikat karena orang yang menjual telah meninggal.
[37] I.Bakhit, dkk, Op.Cit, Hlm.
47
[40] Hasil wawancara dengan ibu Nona Tuasun (majelis), tanggal 9
February 2014
[43] Laporan umum pelayanan tahun 2014
[44] Hasil wawancara dengan
bapak Deki Garmanase, tanggal 27 November 2013,
ibu Yani sigit, tanggal 28 November 2013
[45] Hasil wawancara
dengan ibu Sin Helaha, ibu Ma Rihentus, Op.Cit, ibu
Dessy Lodrikus,
ibu Welly Lodrikus, tanggal 3 Desember 2013, oma Fin Mahubessy,Op.Cit. Dalam proses penjualan ada yang menjualnya
sendiri tetapi ada pula yang menitipkan kepada tetangga. Sebagai imbalannya
diberikan uang sebagai penghargaan (ongkos lelah). Untuk menjual olat ada yang mengumpulkannya hingga
tiga hari stelah itu baru dijual. Kemudian
untuk waktu berjualan pada jam 4 pagi serta ada yang memilih tempat
berjualan di pasar Passo bahkan ada yang di Mardika.
[46] Hasil wawancara dengan
ibu Uli Sariwatin, ibu Emi Uspessy, ibu Ete Uspessy, tanggal 26
November 2013
[47] Hasil wawancara
dengan ibu Cey Manusama, tanggal 27
November 2013, ibu Ida Nunumete, ibu Sri Nunumete, tanggal 3 Desember 2013
[49] Renstra jemaat, Op.Cit
[50] Ibid
[51] Hasil Keputusan Sidang Jemaat, Op.Cit
[52] Ibid
[53] Hasil keputusan sidang jemaat tahun 2013
[54] Ibid
[55] Evaluasi hasil keputusan sidang jemaat tahun 2012 dan 2013. Di
dalam hasil keputusan sidang, anggaran pembinaaan dan pengembangan umat
(pelayanan Pemuda, Perempuan dan Laki-laki) melainkan yang dianggarkan hanyalah
pelayanan ibadah-ibadah.
[56] Laporan umum pelayanan tahun 2014, Op.Cit
[57] Renstra Jemaat, Op.Cit
[58] Hasil wawancara dengan ibu Nona Tuasun (majelis), Op.Cit
[59] Hasil wawancara dengan Pdt.H Liliefna (Ketua Majelis Jemaat),
tanggal 18 Maret 2014
[60] J.P.Widyatmadja, Yesus dan
Wong Cilik, (Jakarta:2010), Hlm. 44
[61] A.A.Yewangoe, Op.Cit, Hlm.293
[62] Craig.L.Blomberg, Tidak
Miskin Tetapi Juga Tidak Kaya (Jakarta:2011), hlm.131
[63] David.J.Bosch, Op.Cit, Hlm.154
[67] Aloysius Pieris, Berteologi dalam konteks Asia, (Yoyakarta:
1996), Hlm.53
[68] Douglas J.Elwood, Op.Cit, Hlm.292
[69] Dauglas J.Elwood, Teologi
Kristen Asia, (Jakarta: 2006), Hlm.91
[70] A.A.Yewangoe, Op.Cit, Hlm. 266
[71] Josef.P.Widyatdja, Op.Cit,
Hlm.35
[73] A.Noordegraaf, Orientasi
Diakonia Gereja, (Jakarta:2004), Hlm.206
[74] Ibid, Hlm. 145
[75] Josef.P.Widyatdja, Op.Cit,
Hlm.192
[76] Ibid, Hlm. 198
[77] Ibid, Hlm. 45
[78] Georg Kirchberger dan John Mansford Prior, ed. Hidup Mengereja secara Baru di Asia, (Ende: 2001), Hlm.71
Komentar
Posting Komentar