GEREJA KAUM MISKIN (Suatu Kajian Eklesiologi tentang Pelayanan Gereja terhadap Kaum Miskin di Jemaat GPM Hative Besar)

GEREJA KAUM MISKIN
(Suatu Kajian Eklesiologi tentang Pelayanan Gereja terhadap Kaum Miskin di Jemaat GPM Hative Besar)

SKRIPSI
Description: D:\FOTO\LOGO\Ukim Warna.bmp
Untuk Memenuhi Persyaratan
Mencapai Gelar Sarjana Sains Teologi (S.Si.Teo)
Diajukan oleh

Maria Johanis
NPM: 12120502090064

Kepada:
    FAKULTAS TEOLOGI
PROGRAM STUDI ILMU TEOLOGI
AMBON
2014
Description: jesus.-.jpg MOTTO
“BERKARYA DI DALAM IMAN KASIH DAN PENGHARAPAN













LEMBARAN PERSEMBAHAN
Dengan Kasih,
Memberiku Kekuatan dan Kenyamanan
Dengan Iman,
Memberiku Keyakinan akan Janji-Mu
Dengan Pengharapan,
Memberiku Kesabaran dan Ketekunan
Ketiganya Membuatku Mengerti Makna Hidup

Dengan ucapan syukur
Kepada
TUHAN YESUS KRISTUS
Dan
Dengan Penuh “CINTA”
Skripsi ini kupersembahkan untuk-Mu
Mama Au dan Papa Nus (Alm.) beserta adikku Udi, Ita dan Oya
Lewat Skripsi ini,
Kukatakan,.. Aku bangga memiliki kalian
Untuk itu terimalah keberhasilanku sebagai jawaban dari pergumulanmu
Mama…. Serta semuanya
Keberhasilan ini adalah sebuah langkah awal
(Sesungguhnya tidak pernah berakhir tetapi selalu berawal,
jika berakhir pada satu titik maka titik itu pula akan menjadi awal)

UCAPAN TERIMA KASIH
Perjalanan menempuh pendidikan di Fakultas Teologi UKIM adalah perjalanan yang penuh perjuangan dan pengorbanan. Terkadang menjadi ragu dan putus asah, ada air mata, adapula canda-tawa. Dalam perjuangan inilah, penulis sadar bahwa kasih dan penyertaan Tuhan selalu ada tanpa dibatasi ruang dan waktu. Semua menjadi kekuatan untuk terus berjuang menempuh pendidikan. Hanya kepada-Mu, penulis mengucapkan puji syukur dan terima kasih atas penyertaan dan kemurahan-Nya, studi ini boleh berakhir dengan sukacita.
Berakhirnya studi ini tentu tidak terlepas juga dari keterlibatan orang-orang yang ada di sekeliling penulis dengan setia, sabar dan tulus, menemani, membimbing, menolong, memberikan topangan dan kerja sama. Karena itu, tiada sesuatu yang berarti yang dapat penulis berikan selain mengucapkan terima kasih dengan hati yang tulus kepada:
1.     Pihak Rektorat Universitas Kristen Indonesia Maluku bersama seluruh karyawan dan karyawati yang telah membantu dan mengarahkan penulis sejak masuk sampai akhir menulis skripsi ini, Tuhan Memberkati.
2.     Dr.H.Talaway selaku Dekan Fakultas Teologi beserta seluruh staf Dosen yang telah memberikan didikan dan bimbingan kepada penulis sejak masuk di Fakultas Teologi UKIM sampai akhir menulis skripsi ini, Tuhan memberkati.
3.     Dr.I.W.J.Hendriks dan keluarga, selaku Dosen Pembimbing yang telah meluangkan waktu membimbing dan mengarahkan penulis dalam proses penulisan sampai penyelesaian skripsi ini, Tuhan Memberkati.
4.     Dr.C.A.Alyona selaku Dosen Penasehat Akademik, yang penuh perhatian membina dan memberi motivasi bagi penulis selama kuliah sampai akhir penulisan skripsi ini, Tuhan Memberkati.
5.     Seluruh karyawan dan karyawati Fakultas Teologi yang dengan sabar dan senang hati melayani penulis selama mengikuti perkuliahan. Mama Bace, Mama Popi, Mama Oke, Mama Nane, Mama Ita, Mama Co, Usi Yoti dan Bapa Cak, atas bantuan dan kemudahannya, Tuhan memberkati.
6.     Para Pegawai Perpustakaan Wilayah kota Ambon, lebih khusus para Pegawai Perpustakaan UKIM Ambon yang telah membantu penulis untuk memperoleh buku-buku bagi kelancaran penulisan: Bapa Lex, ibu Co, bapa Kos, usi Maya, dan yang lainnya yang tidak sempat penulis menyebutkan nama. Terima kasih atas semuanya, Tuhan Memberkati.
7.     Pengelola LSPB semester genap 2012-2013: Dr.Cl.Pattinama/K, G.Payer, M.Si yang telah membina penulis, selama berproses di Kamal, Tuhan Memberkati.
8.     Teman-teman LSPB Angkatan I Semester Genap 2012-2013, terlebih khusus teman-teman di Walang Ina Hendriks; Mira, Ulet, Jean, dan Jeny. Terima kasih atas kebersamaan dan kasih sayang yang diberikan, Tuhan Memberkati.
9.     Teman-teman FF Generation 09: Jonel (pardos), Ega, Au, Econ, Mira, Rince, Ulen, Ulet, Jeni, Chepu, Maco, Putri, Lia R, Eko, Lekan, Engel, Jufri, Judhit, Lia, Dalen, Mitha, Lina, Thalia, Tine, Tita, Viny, Marlen, Fany, Ona, Nando, Miky, Petrik, Icon, Olan, Ebi S, Ebi L, Ria, Rey, Abner, Hence, Acha, An, Etis, Usi Ansye, Usi Aca, Usi Iren, Beny, Ema, Merli, Eva, Falen, Felix, Ika, Inka, Iren, Jean K, Jean N, Jey, Levi, Lisa, Novi, Oga, Rinda, Yuni, Agri, Sari. Kalian adalah saudaraku yang selalu kubanggakan dan tidak pernah penulis lupakan. Terima kasih untuk semua yang dibeerikan dalam suka dan duka. Terima kasih atas kebersamaan yang dibina selama ini “ AKU BISA”, Tuhan Memberkati.
10.  Ketua Majelis Jemaat GPM Hative Besar dan Perangkat Pelayanan, beserta Wadah-wadah pelayanan jemaat, dan semua warga jemaat maupun Desa yang telah memberikan tempat bagi penulis dalam melakukan proses Live-in dan juga sebagai tempat penelitian bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas semua dukungannya. Tuhan Memberkati.
11.  Keluarga Besar Hendriks; Bapa Oni, Mama Nel, Tanti, Enca dan Mevi, Keluarga Besar Lelapary; Mama Be, Bapa Poli, dan Mama Lin, Keluarga Besar Mahubessy; Mama Baya, Bapa Eca, Bu Hard dan Egi, Keluarga Besar Leatemia; Mama Ko, Kaka In, Ade Elin dan Kak Lin, Keluarga Besar Nunumete; Oma Ita, Mama Omi, Jean, Stevi dan Etis, Keluarga Besar Tuasun; Mama Nona, Bapa Hans, Silvia dan Jorgen. Terima kasih atas, fasilitas dan bantuan yang diberikan selama proses Live-in maupun penelitian, Tuhan Memberkati.
12.  Rekan-rekan Wadah Pelayanan Pemuda Sektor Anggrek Jemaat Kategorial Pniel-Bentas, yang juga memberikan motivasi bagi penulis selama berstudi sampai penyusunan skripsi. Terima kasih atas batuan yang diberikan. Tuhan Memberkati.
13.  Potensi Gerakan GMKI Cabang Ambon, terkhususnya Komisariat Teologi UKIM, yang turut membentuk karakter penulis dalam berorganisasi selama berstudi. Terima kasih atas kerja sama dan batuannya. Tuhan Memberkati.
14.  Rekan-rekan Persekutuan Mahasiswa Asal Pulau Kisar beserta para Pembina yang selalu memberikan motivasi bagi penulis selama berstudi. Terima kasih atas kebersamaan dan pengorbanan yang kalian berikan, Tuhan Memb erkati.
15.  Specially, Papa Nus (Alm.) dan Mama Au, beserta adik-adikku; Udi, Ita dan Oya. Terima kasih buat pengobanan, cinta dan doa yang kalian berikan. Kalian adalah bagian dari hidupku. Kalian adalah anugerah terindah dalam hidupku. Di balik keberhasilan penulis, kalian adalah kelurga yang selalu ada dan terus menopang. Tiada hal yang terindah yang dapat penulis berikan, hanyalah “Doa” yang dapat diberikan. Tuhan Memberkati.
16.  Keluarga Besar Bakker/Rainuny: Oma Zus, Om Oce, Om Angki, Tanta Mia, Tanta Ata, Tanta, Ace, Tanta Nona, Oma Karpan, Tanta Neli, Om Rein, Om Faron, Farah, Injil, Rigel, Jean, Firji, Lala, Nyong, Resya, Jordan, Steven. Terima  kasih telah menjadi keluarga bagi penulis, selama berstudi. Terima kasih untuk semuanya, Tuhan Memberkati.
17.  Keluarga Besar Rupidara di Madara; Om Niko, Tanta Engge, Om Okto, Oma Mia, Opa Maku, Om Stevi, Tanta Lusi, Om Pit, Om Semi, Tanta Tin, Tanta Adu, Om Dan, Kaka Oya, Kaka Welem, Kaka Opi, Geli, Opa Uben, Oma Pau, Oma Tin, Tanta Dor, Tanta Ata, Tanta Uli, Om Oyang, Om Dadi, Tanta Ko, beserta semua keluarga yang lain yang tidak sempat penulis sebutkan nama. Terima kasih atas, Doa, Cinta dan Kasih Sayang yang diberikan bagi penulis. Tuhan Memberkati.
18.  Semua Keluarga Besar Johanis/Rupidara di mana saja berada; Opa, Oma, Om, Tante, Kakak, Adik dan semuanya. Terima kasih atas dukungan dan bantuan yang kalian berikan bagi penulis. Tuhan Memberkati.
19.  Keluarga Besar Petrus di Eiwuri: Oma Oyang Ros, Opa Chau, Opa Yai, Opa Loy, Opa Oyang, Oma Inai, Oma Yeni, Opa Edi, Oma Ida, Opa Oyang Orlando, Tanta Oca, Tanta Rara, beserta keluarga yang lain yang tidak sempat penulis sebutkan nama. Terima kasih atas bantuan dan dukungan yang diberikan bagi penulis selama berstudi. Tuhan Memberkati.
20.  Sahabat tercinta; Ena, Edi, Au, Econ yang selalu setia membantu dan menolong penulis. Terima kasih atas kebersamaan dan kasih sayang yang kalian berikan selama ini di saat suka maupun duka. Pengalaman bersama kalian adalah “Mutiara Berharga”, Tuhan Memberkati.
21.  Kepada semua pihak yang telah membantu penulis, baik dalam proses belajar mengajar maupun dalam proses penyelesaian skripsi ini, atas semua yang telah penulis terima. Penulis tidak dapat membalasnya, hanyalah “Doa” yang penulis panjatkan sebagai ungkapan terima kasih, semoga Tuhan Yesus Memberkati kita semua.




Penulis












KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Maha Esa, karena atas kasih dan penyertaanNya penulis mampu melewati setiap tantangan yang dihadapi. Sehingga skripsi ini dapat dirampungkan guna memperoleh Gelar Sarjana Sains pada Fakultas Teologi UKIM.
Dalam keterbatasan penulis, skripsi ini boleh dirampungkan dengan judul “Gereja Kaum Miskin; Suatu Kajian Eklesiologis tentang Pelayanan Gereja terhadap Kaum Miskin”. Bilamana melalui skripsi ini, penulis hendak memberikan deskripsi  yang jelas tentang faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kemiskinan dan pelayanan gereja terhadap kaum miskin.
Namun, dengan segala keterbatasan dan kekurangan dalam proses penulisan skripsi ini. Penulis sangat mengharapkan kontribusi pikiran, baik saran maupun kritik dari setiap pembaca demi penyempurnaan penulisan ini.
Akhirnya dengan penuh kebanggaan, kiranya skripsi ini dapat bermanfaat.
“Nos Autem Praidicamus Christum Crucifixum”
Ambon,  April 2014
Penulis


DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
……………………………
i
LEMBARAN PERSETUJUAN PEMBIMBING
……………………………
ii
LEMBARAN PERSETUJUAN JURUSAN
……………………………
iii
LEMBARAN PENGESAHAN
……………………………
iv
LEMBARAN PERSEMBAHAN
……………………………
v
MOTTO
……………………………
vi
KATA PENGANTAR
……………………………
vii
UCAPAN TERIMA KASIH
……………………………
viii
DAFTAR TABEL
……………………………
ix
DAFTAR ISI
……………………………
x
BAB I: PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang Masalah
……………………………
1
B.    Perumusan Masalah
……………………………
4
C.    Tujuan Penulisan
……………………………
5
D.    Manfaat Penulisan
……………………………
5
E.     Kerangka Teori
……………………………
6
F.     Kerangka Pikir
……………………………
13
G.    Metode Penelitian
……………………………
15





BAB II: GAMBARAN UMUM DAN ANALISA DATA


A.    Gambaran Umum
……………………………
20
B.    Deskripsi Data dan Analisa
……………………………
31
C.    KesimpulanAnalisis
……………………………
71

BAB III: REFLEKSI TEOLOGI


A.    Tanggung Jawab Gereja terhadap Kaum Miskin
……………………………
73
B.    Pelayanan Pelayanan yang Memberdayakan Kaum Miskin

……………………………
79
BAB IV: PENUTUP


A.    Kesimpulan
……………………………
88
B.    Saran

……………………………
90
DAFTAR PUSTAKA


LAMPIRAN












BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya kemiskinan merupakan masalah yang sangat kompleks dan menjadi bagian dari masalah global. Situasi kemiskinan pun dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat baik di daerah terpencil, pedesaan, perkotaan maupun pinggiran kota. Fenomena yang dirasakan juga sangatlah beragam. Ada yang mengalami kemiskinan karena faktor sumber daya manusia maupun alam bahkan juga dipengaruhi oleh situasi sosial kemasyarakatan.[1] Terlebih khusus di Maluku, tentu setiap orang akan mengatakan bahwa Maluku adalah negeri yang kaya dengan sumber daya alam yang berkelimpahan karena itu tidak ada orang yang miskin. Memang benar adanya pernyataan yang demikian, namun apalah artinya memiliki sumber daya alam yang kaya tetapi tidak berimbang dengan sumber daya manusia yang belum memiliki kemampuan untuk mengelola.
 Kendati demikian, dalam realitas kehidupan sehari-hari, ada yang mau mengakui situasi kemiskinan yang dialami baik secara individu maupun kelompok tetapi ada pula yang tidak mau mengakui. Artinya, orang akan enggan jika mereka disebut sebagai orang-orang yang dikategorikan miskin. Sangatlah ironis orang menolak pengkategorian sebagai yang miskin tetapi pada saat adanya bantuan dari pemerintah, seperti RASKIN orang berbondong-bondong untuk menerimanya. Seringkali orang yang mestinya menerima bantuan tersebut (memiliki hak) karena kemiskinan mereka justru tidak mendapat bagian. Bantuan-bantuan yang diberikan, seperti yang telah disebutkan di atas merupakan salah satu cara untuk mengurangi beban kaum miskin dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selebihnya cara tersebut tidak mampu untuk membawa kaum miskin keluar dari mata rantai kemiskinan. Karena itu, diberbagai tempat cara yang dipakai untuk mengatasi kemiskinan pun sangatlah beragam dengan menggunakan standarisasi tertentu.
Jemaat GPM Hative Besar yang merupakan bagian dari jemaat pinggiran kota tentu kondisi kemiskinan juga dirasakan. Jika dilihat dari potensi sumber daya alam, belum diberdayakan secara maksimal untuk penguatan ekonomi keluarga. Kegiatan pertanian pun masih dilakukan secara tradisional. Misalnya, tanaman cengkeh yang dimiliki oleh anggota jemaat, ketika dipanen selalu mendapatkan hasil yang berbeda dari setiap tahun. Hal ini disebabkan, oleh cara perawatan dan pemeliharaan yang tidak maksimal. Artinya, cara perawatan dan pemeliharaan hanya menitikberatkan pada bantuan alam. Selain itu pula orang hanya bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tanpa perencanaan sebuah masa depan. Dengan kata lain, bekerja hanya untuk makan hari ini.[2]
Ketergantungan terhadap alam mengakibatkan rendahnya sumber pendapatan yang sangat mempengaruhi sumber daya manusia, terkhususnya pada pendidikan anak-anak. Ada anak-anak yang putus sekolah karena keterbatasan biaya. Begitu pula kesadaran orang tua untuk menyekolahkan anak ke perguruan tinggi menjadi sangat rendah.[3] Itu berarti, perlu adanya upaya keseimbangan antara sumber daya manusia dan sumber daya alam yang memiliki hubungan timbal balik.
Selain itu, kesehatan juga menjadi salah satu bagian penting dalam menopang produktivitas sumber daya manusia. Jika lingkungan kurang bersih, maka manusia sangat rentang terhadap penyakit. Misalnya, pengadaan air bersih untuk konsumsi keluarga. Sistem sanitatasi lingkungan dan pembangunan jalan yang belum tertata mengakibatkan jemaat lebih memilih untuk memanfaatkan air kali demi kebutuhan sehari-hari.[4] 
Kondisi yang demikian tentu sangat mempengaruhi kehidupan bergereja. Artinya, Gereja perlu memberdayakan umat dalam mengelola sumber daya alam. Upaya tersebut juga mempunyai keterkaitan adanya perubahan pola pikir yang hanya bergantung terhadap alam. Dengan kata lain, orang hanya mau mengambil tanpa adanya usaha untuk mengusahakan dan memelihara kebunnya. Tindakan ini jika diulangi secara terus-menerus akibatnya, alam yang tadi-tadinya dikatakan kaya secara perlahan-lahan menjadi musnah. Akhirnya alam yang kaya hanya menjadi sebuah slogan yang indah dan membuat orang merasa bangga di atas ketidaktahuan bertambahnya angka kemiskinan. Sehingga gereja perlu melakukan pembinaan secara berkelanjutan dalam membangkitkan kesadaran umat untuk tidak bergantung terhadap alam. Sehubungan dengan itu, gereja juga perlu melakukan kerja sama dengan pemerintah demi keseimbangan hidup, baik terhadap sumber daya alam maupun sumber daya manusia.
Hal inilah yang hendak penulis telusuri sebagai bahan penulisan. Dengan memilih Jemaat GPM Hative Besar sebagai tempat yang strategis untuk diteliti dalam mengembangkan pemahaman eklesiologis yang menyentuh realitas jemaat.
B.     Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.      Faktor-faktor apakah yang menyebabkan kemiskinan di Jemaat Hative Besar?
2.     Bagaimana kaum miskin mendapat pelayanan gereja di Jemaat GPM Hative Besar?
C.    Tujuan Penulisan
Bedasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah :
1.     Mengkaji faktor-faktor yang menyebabkan kemiskinan di Jemaat GPM Hative besar.
2.     Mengkaji pelayanan gereja terhadap kaum miskin.


D.    Manfaat Penulisan
Berdasarkan tujuan yang tertera di atas, maka manfaat dari penelitian:
o  Manfaat Akademis:
Agar dapat melahiran cara berteologi secara baru dan memberikan kontribusi akademik dalam memahami eklesiologi yang muncul dari setiap realita kehidupan yang kompleks.

o  Institusional :
Menjadikan proses ini sebagai bahan evaluasi bagi kehidupan bergereja, baik sebagai institusi maupun persekutuan untuk tetap menjadi gereja yang terus dibaharui.


o   Manfaat Praktis :
Menjadikan setiap problematika konteks sebagai acuan atau langkah awal untuk menyelamatkan manusia dari setiap penderitaan yang dialami.




E.    Kerangka Teori
Kemiskinan merupakan keadaan di mana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, kesehatan, lapangan kerja, nilai-nilai hidup, kebahagiaan dan kegembiraan, kepenuhan hidup, kekurangan cita-cita dan impian, tekad dan kemauan, kemungkinan dan kesempatan, kekurangan keadilan, kebebasan dan perdamaian.[5] Secara sederhana, Levitan (1980) mendefinisikan kemiskinan sebagai kekurangan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan untuk memenuhi standarisasi hidup yang layak.[6]  Bagi sebagian ahli, kemiskinan seringkali dilihat sebagai fenomena ekonomi seperti, rendahnya tingkat pendapatan, lajunya arus urbanisasi, tidak memiliki pekerjaan yang tetap maupun ketergantungan hidup terhadap mata pencaharian tertentu.
Kemiskinan dari aspek ekonomi terbagi atas dua bagian yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut mencakup kubutuhan primer, seperti pangan, sandang, papan, kesehatan (air bersih, sanitasi), kerja yang wajar dan pendidikan dasar. Kemudian kebutuhan sekunder, seperti rekreasi dan partisipasi dalam kegiatan sosial. Sedangkan kemiskinan relatif mengacu pada pembagian pendapatan nasional. Pada bagian ini, adanya pemberlakuan sistem kelas antara yang kaya dan miskin. Ada yang memiliki pendapatan di atas rata-rata, menengah dan pas-pasan. Sehingga terdapat empat kelompok manusia yaitu kelompok kaya, relatif kaya, relatif miskin dan miskin.[7]
Pendapat ini hendak menegaskan bahwa kemiskinan merupakan keadaan ketidakberdayaan manusia dalam mempertahankan kehidupannya. Kemiskinan yang dialami oleh Jemaat GPM Hative Besar sebagai bentuk dari ketidakmampuan warga jemaat dalam mengelola alam yang telah tersedia. Hal ini terjadi sebagai akibat dari lemahnya faktor sumber daya manusia. Jika demikian, maka rendahnya tenaga profesional dalam mengelola alam.[8] Jemaat hanya bergantung pada apa yang alam berikan tanpa ada usaha untuk mengembangkannya. Dengan kata lain, sistem kerja jemaat adalah sistem kerja musiman (perhitungan musim) yang mengakibatkan ketergatungan terhadap alam sebagai sumber pendapatan keluarga. Karena itu, terdapat tiga masalah utama kemiskinan, yaitu (1), terbatasnya mutu pangan, (2), terbatasnya mutu layanan kesehatan, (3), terbatasnya tingkat pendidikan.
Menurut Weinata Sairin tantangan terbesar dalam menghadapi dunia sekarang ini yaitu menghadapi persaingan dan kesempatan kerja. Persaingan tersebut tidak hanya cukup dihadapi dengan ketrampilan tangan dan kekuatan otot tetapi akan lebih banyak dihadapi adalah persaingan “otak” dan kepribadian. Semuanya menuntut mutu pendidikan yang tinggi dan pribadi-pribadi yang matang dalam banyak hal yang dilandasi dengan kematangan iman.[9]  Pendapat yang demikian benar adanya, karena manusia dianugerahi akal dan fisik yang menunjang kehidupan. Tetapi kedua hal ini, jika tidak diasah melalui sebuah pendidikan formal maupun pelatihan-pelatihan tertentu, maka manusia akan bertumbuh menjadi manusia yang kurang berkualitas dan tidak mampu bersaing.
Kemiskinan berdasarkan faktor penyebab dibedakan menjadi dua ketegori. Pertama, kemiskinan alamiah, yaitu kemiskinan yang timbul sebagai akibat kelangkaan sumber-sumber daya maupun  tingkat perkembangan tekonologi yang sangat rendah. Kedua, kemiskinan buatan, yaitu kemiskinan yang terjadi karena struktur sosial yang ada membuat anggota atau kelmpok masyarakat tidak menguasai sarana ekonomi dan fasilitas-fasilitas secara merata.[10]
Dalam kehidupan Jemaat GPM Hative Besar, situasi ini memang sangat dirasakan.  Anggota jemaat tidak mampu bersaing dengan dunia pasar. Artinya, kemampuan kerja hanya berorientasi pada pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Bagi Brownlee, kondisi yang demikian sebagai bentuk dari kemiskinan material. Dengan kata lain, kondisi tersebut menjadikan Jemaat GPM Hative Besar sangat terbatas secara materi. Kurangnya uang dan harta benda mengakibatkan orang menjadi kurang gizi, sering sakit maupun kurangnya ketrampilan atau pendidikan.
Sehingga terlihat bahwa kemiskinan yang dialami oleh Jemaat Hative Besar dapat dilihat dalam dua aspek yaitu pertama, kemiskinan alamiah yaitu kehidupan yang bergantung terhadap alam atau musim. Kedua, kemiskinan dilihat sebagai kebudayaan/mental. Kemiskinan ini disebabkan oleh taraf pendidikan yang rendah sehingga mengakibatkan sempitnya cakrawala berpikir. Misalnya, menjadi petani atau nelayan karena tradisi secara turun temurun.[11] Kedua aspek ini menunjukkan bahwa melemahnya sumber daya manusia sebagai akibat dari rendahnya tingkat pengetahuan, dan akses terhadap informasi, pendidikan, pelatihan dan bimbingan. Dengan kata lain, apabila pendapatan rendah, pendidikan pun menjadi rendah, produktivitas pun menjadi rendah bahkan produksi juga menjadi rendah. Hal-hal ini menyantu bagaikan lingkaran yang saling mempengaruhi satu dengan yang lain.[12]
Ada variabel-variabel tertentu yang dipakai untuk mengukur sebuah realitas kemiskinan dari aspek kepemilikan, seperti yang digagas oleh Badan Pusat Statistik. Ukuran kemiskinan digambarkan sebagai berikut; tiap rumah tangga harus memiliki luas lantai 8m2, jenis lantai bukan tanah, ketersediaan air bersih, keberadaan jamban, kepemilikan asset, variasi konsumsi lauk-pauk, pembelian pakaian (membeli pakaian satu stel pakaian dalam satu tahun) dan mengambil bagian dalam kegiatan sosial. Kedelapan variabel tersebut telah mencakup aspek sosial dan ekonomi penduduk atau rumah tangga di antaranya aspek sandang, pangan, perumahan, kepemilikian asset dan aktivitas sosial. Pada tahun 2002 kedelapan aspek tersebut ditambahkan satu variabel lagi yakni jika rumah tangga yang mendapat skor 5 atau tidak dapat memenuhi variabel-variabel tersebut sampai 5 berarti dikategorikan miskin. [13]
Di dalam Alkitab konsep tentang kemiskinan memiliki makna yang sangat mendalam. Arti pokok dari kemiskinan adalah keadaan yang buruk dan keji yang menghina martabat manusia dan berlawanan dengan kehendak Allah. Bilamana pada masa Pentateukh, kemiskinan hanya dimengerti sebagai kesusahan untuk memiliki harta milik atau materi.  Makna kemiskinan pada masa nabi-nabi maupun di dalam kitab-kitab Puisi dan Hikmat, bukan hanya pada kekurangan harta milik, tetapi lebih dari itu merujuk kepada orang yang dimarjinalkan, ditindas dan dimiskinkan oleh penguasa, tua-tua dan orang kaya maupun kemiskinan secara fisik dan spiritual.[14] Dalam Perjanjian Lama, ada beberapa istilah yang dipakai untuk menyebut kaum miskin yaitu ebyon (orang yang menginginkan dan membutuhkan sesuatu), dal (orang yang lemah dan tidak berdaya), ani (orang yang terbungkuk, yang diinjak dan diperas orang lain), anaw yang sama artinya dengan ani tetapi bermakna religius (orang yang rendah hati di depan Allah).[15]
Begitu pula di dalam Kitab Injil, lebih diperjelas lagi bahwa orang yang disebut miskin adalah orang yang lapar, menderita sakit, kusta, orang yang membawa beban, orang yang terhilang dan pendosa. Istilah yang dipakai adalah ptokos berarti orang yang  begitu melarat sehingga tidak dapat hidup kecuali mengemis. Selain itu kata-kata yang memiliki makna sinonim yaitu “Tidak berdaya”, “Terbungkuk”, “Melarat” menerangkan keadaan yang sangat hina (dapat dilihat pada kisah Ayub 24:7-12). Pada kondisi inilah orang meminta pertolongan kepada Allah untuk mendapatkan keadilan.[16]
Sehubungan dengan realita kemiskinan yang sangat kompleks tentunya gereja memiliki peranan yang sangat penting. Keikutsertaan gereja dilihat sebagai sikap solidaritas terhadap kaum miskin yang merupakan tugas utama dalam pekabaran injil. Hal ini nampak dalam konperensi pekabaran injil di Melbourne. Konperensi tersebut merujuk pada satu kesimpulan bahwa gereja ikut serta dalam mission Dei yang berarti gereja memberi perhatian istimewa kepada mereka yang diperhatikan secara khusus oleh Allah yaitu mereka yang lemah secara ekonomi dan politik. Karena itu, mission dei juga berarti bahwa gereja yang percaya kepada Allah yang membebaskan, memberikan pengharapan kepada kaum tertindas dan memperjuangkan pembebasan.[17] Jadi, di Melbourne kaum miskin diletakkan di pusat refleksi misiologis atau menjadi prioritas utama dalam misi Kristen. Pada misi ini, hal utama yang diperhatikan adalah misi pembebasan. Guiterrez, mendefinisikan teologi pembebasan sebagai “suatu ungkapan hak kaum miskin untuk berpikir dari iman mereka sendiri”.[18] Pembebasan mesti dilihat pada prespektif Kerajaan Allah.
Pemahaman yang demikian, memiliki makna yang sama dengan kehidupan Jemaat GPM Hative Besar. Artinya, misi pembebasan yang ungkapkan oleh Guiterrez  juga memiliki keterkaitan dengan konteks kemiskinan yang dialami oleh sebagian anggota Jemaat GPM Hative Besar. Misi pembebasan yang dilakukan oleh Guiterrez bertujuan untuk  mengangkat harkat dan martabat manusia atau berjuang demi kemanusiaan. Hal yang sama pula perlu dilakukan di Jemaat GPM Hative Besar. Bilamana, kaum miskin di Jemaat GPM Hative Besar mestinya dibebaskan dari kondisi kemiskinan yang dialami baik secara individu maupun terhadap sistem sosial yang berlaku dalam jemaat maupun masyarakat.
Upaya untuk mewujudkan kehidupan manusia yang bermartabat merupakan bagian dari tugas gereja dalam menghadirkan Kerajaan Allah. Bagi gereja, Yesus Kristus adalah sumber pelayanan Kristen yang diarahkan pada manusia baik fisik maupun rohani, baik pribadi maupun kelompok.[19] Gereja dilihat sebagai representasi dari tindakan-tindakan Allah yang berperan aktif di dalam seluruh sejarah kehidupan manusia. Karena itu, berbicara tentang gereja ada tiga aspek yang saling berkaitan yaitu institusi (persekutuan/koinonia), etika (pelayanan / diakonia) dan ritual (kesaksian / marturia).[20] Ketiga aspek ini menjadi hal yang sangat penting dalam upaya melihat keberpihakan gereja terhadap kaum miskin. Gereja yang mewartakan Kerajaan Allah tidak hanya dengan kata-kata tetapi juga melalui tindakan.
F.     Kerangka Berpikir
Kemiskinan yang dialami oleh manusia baik secara individu maupun kelompok merupakan bagian dari situasi yang tidak seimbang. Artinya, timbulnya kemiskinan sebagai akibat dari ketidakseimbangnya kehidupan. Di satu sisi, setiap manusia tidak menginginkan terjadinya kemiskinan atau tidak mau mengalami kemiskinan tetapi karena situasi tertentu membuat sehingga manusia harus merasakan kemiskinan dan bergumul dengan situasi tersebut. Di lain sisi, secara sadar maupun tidak, situasi kemiskinan merupakan realita yang sangat menakutkan bagi sebagian orang. Sedangkan bagi sebagian orang yang lain, kemiskinan menjadi sumber keberuntungan atau kekuatan. Misalkan ketidakmampuan dalam mengelola sumber daya alam mengakibatkan sumber pendapatan rendah. Ketika sumber pendapatan rendah akan mempengaruhi kebutuhan manusia. Dengan kata lain, manusia hanya bisa memenuhi kebutuhan hidupnya di masa sekarang tanpa adanya sebuah target untuk mencapai masa depan. Hal ini sangat berpengaruh kepada kelompok usia produktif. Jika situasi ini dibiarkan secara terus-menerus, maka akan menimbulkan pihak yang dikuasai maupun menguasai atau mengakibatkan kesenjangan sosial antara orang kaya dan orang miskin.
Dengan situasi yang demikian, perlu adanya pola kehidupan yang lebih layak. Karena itu, gereja yang dilihat sebagai representasi kehadiran Allah di dalam sejarah kehidupan manusia memiliki peranan penting untuk mencapai perubahan. Artinya, iman kepada Yesus Kristus mestinya terwujud dalam kehidupan sehari-hari. Dalam ajaran Alkitab maupun kehidupan gereja mula-mula, perhatian kepada kaum miskin tidak boleh hanya dibatasi pada hal pemberian materi melainkan adanya upaya pemberian kesempatan untuk mencapai perubahan, misalkan usaha untuk mendapatkan kesehatan maupun pendidikan yang layak.
Kendati demikian, kehidupan yang saling membantu untuk memperoleh keseimbangan seringkali berlawanan dengan apa yang dipahami atau diajarkan Yesus. Hal inilah yang kemudian disebut sebagai diakonia karitatif yang menciptakan ketergantungan dari yang lemah kepada yang kuat.Bukanlah berarti diakonia karitatif tidak penting tetapi mesti dipahami bahwa pelayanan ini hanya sebatas tanggap darurat. Selanjutnya, manusia diajarkan untuk mempergunakan berbagai kesempatan demi mencapai perubahan kehidupan.
Sehubungan dengan memahami “gereja kaum miskin” tidak boleh dibatasi pada “gereja untuk orang miskin” atau gereja yang hanya terdiri dari orang-orang miskin melainkan haruslah dipahami sebagai bentuk pemaknaaan terhadap tindakan solidaritas yang dilakukan oleh Allah untuk mengubah struktur kehidupan yang tidak adil. Sebab, kehidupan yang tidak adil sering mengakibatkan terjadinya kesenjangan sosial, jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin. Pemaknaan terhadap kata “mendahulukan” kaum miskin tidak boleh dipahami secara eksklusif, seolah-olah Allah hanya tertarik kepada kaum miskin. Begitu pula dengan kata “pilihan” tidak boleh ditafsirkan sebagai “manasuka”. Sebaliknya, maksudnya ialah kaum miskin adalah yang pertama tetapi bukan satu-satunya yang menjadi perhatian Allah. Karena itu, tidak ada pilihan lain bagi gereja selain menunjukkan sikap solidaritas terhadap kaum miskin.
G.    Metode Penelitian
1.     Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode deskritif. Metode deskritif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek , suatu kondisi, suatu pemikiran ataupun suatu peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diteliti.[21]

2.     Tempat dan Waktu Penelitian
·       Tempat :  Jemaat GPM Hative Besar
·       Waktu   :  November – Desember 2013

3.      Sumber Data         
·       Warga jemaat          : Orang yang dilihat representase dari kaum miskin
·       Perangkat pelayan   : Pendeta dan majelis jemaat

4.      Teknik Pengumpulan Data
Dalam penulisan ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:
o   Observasi, dilakukan untuk mengetahui; 1) kemampuan kaum miskin dalam memenuhi kebutuhan dasar, 2) melakukan peran sosial. Kegiatan ini merupakan pengamatan secara langsung di lokasi penelitian untuk memperoleh data informasi dari informan sesuai dengan permasalahan yang diteliti.
o   Wawancara, adalah teknik pengumpulan data, di mana peneliti bertemu langsung dengan informan secara individu dan melakukan wawancara terbuka berdasarkan instrumen penelitian yang telah disusun. Informan yang dipilih sebagai sampel merupakan represtasi dari kaum miskin (pemilihan informan diambil secara sengaja berdasarkan kriteria tertentu).
o   Studi pustaka, mengumpulkan bahan atau data tertulis melalui buku atau dokumen-dokumen lain untuk memperoleh data yang lengkap. Data ini dijadikan sebagai sumber data sekunder. Sedangkan data yang diperoleh dari hasil wawancara dijadikan sebagai sumber data primer.





5.     Teknik Analisa Data
Dalam pelaksanaan penganalisaan diperlukan beberapa langkah sebagai berikut:
o   Reduksi data. Maksudnya adalah data yang diperoleh di lapangan atau diketik dalam bentuk uraian atau laporan yang terperinci. Laporan ini akan terus-menerus bertambah dan akan menambah kesulitan bila tidak dianalisis sejak mulanya. Laporan-laporan itu perlu direduksi, dirangkum, dipilih hal-hal yang pokok dan difokuskan pada hal-hal yang penting serta dicari tema atau polanya. Data-data yang telah memberikan gambaran yang lebih tajam tentang hasil pengamatan dan mempermudah peneliti untuk mencarinya, jika sewaktu-waktu diperlukan.
o   Display data agar dapat melihat gambar keseluruhan atau bagian-bagian tertentu untuk mengambil kesimpulan yang benar, harus diusahakan membuat berbagai pencatatan agar dapat menguasai data dan tidak tenggelam dalam tumpukan detail. Membuat display juga merupakan upaya menyajikan data dalam bentuk matrik, network chart atau grafik.
o   Mengambil kesimpulan dan verifikasi. Sejak semula peneliti berusaha mencari makna dari data yang telah diperoleh dari hasil wawancara. Untuk maksud itu, peneliti berusaha mencari pola, model, tema, hubungan, persamaan, hal-hal yang sering muncul, hipotesis, dsb. Data awal yang diperoleh sangatlah banyak, karena itu verifikasi diperlukan untuk mengumpulkan data yang baru.[22]

6.     Definisi Operasional
Kaum miskin: Orang-orang yang hidup dibawah taraf kewajaran atau mengalami dampak dari kesenjangan sosial yang mengakibatkan ketergantungan pada lingkungan sebagai bentuk dari ketidakberdayaan.
Gereja Kaum Miskin: Gereja yang melibatkan diri dalam pilihan cinta kasih untuk mendahulukan kaum miskin dan percaya kepada Allah yang membebaskan, memberikan pengharapan kepada kaum tertindas dan memperjuangkan pembebasan.
Kerajaan Allah :  Pemberlakukan suatu cara hidup yang didasarkan pada pengampunan yang telah Allah tawarkan sebagai analogi seorang raja yang meminta pertanggungjawaban dari budak-budaknya.


7. CARA PENYAJIAN
Tulisan ini disajikan dalam sistematika sebagai berikut:
BAB I, Pendahuluan: Latar Belakang, Perumusan Masalah, Pembatasan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Kerangka Teori, Kerangka Pikir, Metode Penelitian (Jenis Penelitian, Tempat dan Waktu Penelitian, Sumber Data, Teknik Pengumpulan Data, Teknik Analisa Data, Definisi Operasional dan Cara Penyajian). BAB II, merupakan bagian Gambaran Umum dan Analisa Data. BAB III, berisikan Refleksi Teologis. BAB IV, merupakan bagian Penutup yang berisikan Kesimpulan dan Saran.









BAB II
GAMBARAN UMUM DAN ANALISA DATA

    I.    GAMBARAN UMUM JEMAAT GPM HATIVE BESAR

A.    Letak Geografis
Jemaat GPM Hative Besar berada di desa Hative Besar Kecamatan Teluk Ambon secara astronomis berada pada posisi 128,1041’45” – 128,1019’77” Bujur Timur dan 03,6075’29” - 03,6085’46” Lintang Selatan dengan batas sebagai berikut:
-              Sebelah Timur berbatasan dengan Jemaat GPM Souhuru
-              Sebelah Barat berbatasan dengan Jemaat GPM Palungan Kasih
-              Sebelah Utara berederetan dengan hutan daerah pertanian umat
-              Sebelah Selatan dengan pesisir laut Teluk Ambon luar
Keadaan geografis di permukaan wilayah Jemaat GPM Hative Besar memiliki permukaan bumi yang menonjol tinggi yang terdiri atas gunung, lereng gunung dan kaki gunung. Dengan pengunungan adalah daerah yang terdiri atas bukit-bukit dan gunung-gunung yang berbentuk suatu rangkaian dengan kelerengan 0-45%.
Dengan panjang wilayah pelayanan jemaat + 2,8 Km. Jika dilihat dari letak geografis wilayah, maka umumnya pemukiman anggota jemaat tersebar di sepanjang pesisir Jemaat GPM Hative Besar dan sebagian wilayah Jemaat GPM Palungan Kasih Negeri Tawiri[23]

B.    Demografi
Jumlah anggota Jemaat GPM Hative Besar adalah sebanyak 2044 jiwa atau 470 KK yang terdiri dari anggota jemaat laki-laki 1031 orang atau 50,49% dan jumlah anggota jemaat perempuan 1013 orang atau 49,56%[24]

C.    Sosial ekonomi
Kondisi ekonomi jemaat sangat beragam, sesuai dengan pekerjaan masing-masing keluarga. Seperti yang tergambar pada tabel di bawah ini:




Tabel 01
Pekerjaan Jemaat
No.
Pekerjaan
Frekuensi
Presentase
1.
Pegawai Negeri Sipil
83
17,66%
2.
Pegawai Swasta
60
12,77%
3.
Petani
141
30 %
4.
Nelayan
49
10,43%
5.
Pedagang
4
0,85%
6.
Wirausaha
42
8,94%
7.
TNI/POLRI
5
1,06
8.
Pensiunan
41
8,72%
9.
Sopir
6
1,28%
10.
Bekerja tidak tetap
17
3,61%
11.
Tidak bekerja
22
4,68%

Total
470
100 %
                        Sumber: data renstra jemaat
Berdasarkan tabel di atas, presentase terbesar adalah orang yang bekerja sebagai petani. Sebagai gambarannya ada petani yang memiliki lahan di atas 1-3 hektar yang sudah ditanami tanaman umur pendek berupa sayur-sayuran dan umbi-umbian yang hanya menghasilkan uang dalam waktu 3-6 bulan berkisar Rp.250.000 s.d Rp.1.500.000 serta tanaman umur panjang berupa cengkeh, pala, kelapa dan cokelat, dengan penghasilan yang diperoleh dalam waktu 6 bulan s.d 1 tahun hanya berkisar antara Rp.1.000.000 s.d. Rp.5.000.000. Sehingga kecenderungannya adalah hasil pertanian hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dengan kata lain, uang yang diperoleh dari hasil pertanian tidak dapat dimanfaatkan untuk menjadi modal usaha.[25]
Sedangkan untuk nelayan, ada yang memiliki kelompok nelayan dengan jumlah mencapai 20 orang dengan bantuan perahu yang diberikan oleh salah satu pengusaha (cina). Hasil yang diperoleh dibagi tiga diantaranya;
·     Orang yang menyalakan lampu penangkap ikan (rompong)
·     Orang yang menjaga atau merawat mesin
·     Pemilik perahu.
Uang yang diserahkan kepada pemilik perahu dijadikan sebagai gaji dari kelompok nelayan. Uang tersebut dikumpulkan selama satu tahun baru dibagikan dengan masing-masing orang mendapatkan Rp.2.000.000. Setelah pembagian tersebut ikan-ikan yang tersisa dijaring diambil oleh setiap orang dari kelompok nelayan dan diberikan kepada istri untuk dijual demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Lain halnya dengan orang yang memiliki perahu sendiri. Seringkali hasil tangkapan ikan, ketika dijual dapat mencapai Rp.300.000 – 1.000.000. Namun, hal ini sangat tergantung terhadap kondisi alam. Terkadang bisa lebih dari yang diharapkan tetapi bisa juga kurang.[26]
Secara umum kedua pekerjaan tersebut, dilakukan berdasarkan sistem perhitungan musim atau disesuaikan dengan kondisi alam. Selain itu pula terkhususnya bagi nelayan, sumber pendapatannya juga sangat tergantung kepada pemilik perahu. Dengan pekerjaan yang sangat tergantung pada sistem perhitungan musim maupun orang yang memberikan pekerjaan (nelayan) tentu tidak berimbang dengan kebutuhan sehari-hari yang semakin meningkat. Sehingga orang akan berupaya mencari pekerjaan tambahan (lihat pada bagian deskripsi data dan analisa). Cara yang demikian, kelompok tersebut lebih cocok dikategorikan pada orang yang memiliki pekerjaan tidak tetap.
Begitu pula dengan orang yang tidak memiliki pekerjaan. Situasi tersebut disebabkan oleh beberapa aspek, seperti ada yang mengalami sakit secara fisik (cacat fisik/gangguan mental), ada yang sakit karena penyakit maupun ada yang lanjut usia. Kendati demikian, mereka selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti menjadi pengasuh bayi, menyetrika pakaian orang maupun membantu membersihkan kebun orang. Namun, pekerjaan ini sangat tergantung dari orang yang meminta (bukan menjadi pekerjaan rutin). Karena itu, hal yang sangat menonjol adalah ketergantungan secara penuh terhadap belas kasihan orang lain maupun sistem yang berlaku dalam masyarakat (bantuan sosial).[27]
D.     Pendidikan
Pendidikan merupakan bagian yang sangat penting dalam membentuk karakter sumber daya manusia. Pembentukan sumber daya manusia tentunya bertujuan untuk mengimbangi sumber daya alam. Dengan kata lain, sumber daya alam dan sumber daya manusia memiliki keterkaitan. Keduanya haruslah dilakukan secara seimbang agar dapat menunjang kehidupan manusia. Sehubungan dengan kualitas sumber daya warga gereja, Jemaat GPM Hative Besar jika ditinjau dari tingkat pendidikan masih belum memadai. Hal ini, dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 02
Pendidikan Jemaat
No.
Jenjang Pendidikan
Frekuensi
Presentase
1.
Belum bersekolah
116
5,68%
2.
SD/Sederajat
386
18,88%
3.
SLTP/Sederajat
239
11,69%
4.
SMA/Sederajat
716
35,03%
5.
S1
80
3,91%
6.
S2
-
-
7.
S3
1
0,05%
8.
Diploma
60
2,94%
9.
Putus sekolah
446
21,82%

Total
2044
100 %
            Sumber: Data renstra jemaat
Pada tabel di atas, terlihat jelas bahwa tingkat pendidikan seseorang juga sangat berpengaruh terhadap pekerjaan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup (banding dengan tabel pekerjaan). Bilamana tingkat pendidikan SD, SMP dan SMA sangat mendominasi tingkat pendidikan di perguruan tinggi. Begitu pula angka putus sekolah berada pada tiga jenjang pendidikan tersebut maupun pada perguruan tinggi. Presentase jenjang pendidikan yang demikian juga berada jenjang usia produktif. Perhitungan sumber daya manusia dapat dilihat pada tiga kategori usia. Sebagaimana terlihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 03
Katergori Umur Jemaat
No.
Jenjang usia
Frekuensi
Presentase
1.      
0 – 16 tahun
802
39,24%
2.      
17 – 45 tahun
764
37,38%
3.      
46 – ke atas
478
23,38%
4.      
Total
2044
100 %
Sumber: Data Renstra
Berdasarkan tabel di atas, selisih kategori usia produktif tidak jauh berbeda bila dibandingkan dengan kategori usia di bawah produktif. Kendati demikian, kategori usia produktif mestinya menjadi sebuah kekuatan dalam mengembangkan kualitas sumber daya manusia. Hal ini dapat dilakukan melalui peningkatan mutu pendidikan dengan memanfaatkan sumber daya alam (lihat pada bagian deskripsi data dan analisa).
E.    Sosial Budaya
Sebagai masyarakat berbudaya, Jemaat GPM Hative Besar membangun kehidupan dalam kebersamaan dan tetap memilihara budaya gotong royong atau Masohi, Pela Gandong serta masih menggunakan sasi dalam pemeliharaan tanaman maupun lingkungan. Kecendrungan menerima dan melaksanakan kearifan lokal (sasi, pela gandong dan masohi) cukup baik. Hal ini terbukti ketika, budaya pela gandong masih dipertahankan dalam kegiatan-kegiatan adat serta masih tetap melakukan kegiatan bakti bersama dalam lingkungan jemaat dan masyarakat.[28]
Adapula nilai-nilai yang telah mengalami proses internalisasi. Nilai-nilai tersebut menjadi sebuah ideologi dalam melihat atau melakukan berbagai aktivitas. Misalnya, dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, muncul pemahaman bahwa jika hari ini ada rejeki maka besok juga ada. Artinya, bekerja cukup untuk kebutuhan hari ini. Setelah itu dicari lagi untuk kebutuhan selanjutnya. Sedangkan untuk pendidikan, terkhususnya bagi anak, ada yang memahami yang terpenting sudah bisa mengenal huruf dan mampu untuk mencari uang sendiri bagi kebutuhan pribadi maupun keluarga.[29]


F.     Pelayanan dalam Jemaat
Berdasarkan tata letak geografis wilayah pelayanan secara keseluruhan terbagi atas 6 sektor wilayah pelayanan yaitu Sektor Imanuel  dan Sektor Galilea di Dusun Latta, Sektor Getsemani dan Sektor Bukit Zaitun di Dusun Batu Lubang, Sektor Elim dan Sektor Petra di Dusun Masising. Ke-6 sektor terdiri dari 24 unit dengan masing-masing sektor 4 unit pelayanan.
Jemaat GPM Hative Besar dilayani oleh 48 orang Majelis Jemaat 4 orang Tuagama dan dibantu oleh pengurus-pengurus unit maupun pengurus wadah-wadah pelayanan. Kegiatan-kegiatan dalam jemaat adalah sebagai berikut; ibadah minggu, dan bimbingan bagi setiap orang yang melayani ibadah baik sektor, unit maupun wadah-wadah pelayanan. Sedangkan bimbingan untuk pengasuh SMTPI dilakukan pada hari senin, jam 7 malam serta rapat-rapat mingguan dan evaluasi pelayanan dilakukan 2 minggu sekali pada hari Jumat, jam 7 malam.
Sedangkan ibadah-ibadah rutin yang dilaksanakan antara lain:
-              Ibadah Angkatan Muda dilaksanakan pada hari minggu, jam 7 malam
-              Ibadah keluarga pelayan setiap bulan, minggu terakhir
-              Ibadah wadah pelayanan laki-laki setiap hari Selasa
-              Ibadah wadah pelayan perempuan hari Rabu
-              Ibadah SMTPI dan Pengasuh hari Kamis
-              Ibadah unit hari Jumat
-              Ibadah Gatris (gabungan tiris-tiris) hari sabtu
-              Ibadah akhir bulan
-              Ibadah Sub Komisi Laki-laki
-              Ibadah Sub Komisi Perempuan
Selain pelayanan-pelayanan ibadah rutin, adapula pelayanan-pelayanan yang lain seperti syukur HUT kelahiran dan pernikahan, syukur keluarga, pelayanan kepada orang sakit maupun orang tua jompo (pelayanan dilakukan di rumah masing-masing oleh pendeta jemaat dan majelis sektor) pada hari minggu setelah ibadah minggu.[30] Sedangkan untuk pelayanan yang lain seperti bantuan kepada janda, yatim-piatu dan jompo dilakukan satu tahun sekali berupa pemberian beras, gula, susu yang dilakukan oleh wadah pelayanan perempuan di sektor masing-masing.[31]




G.   Pelayanan Sosial dalam Jemaat
Pelayanan sosial bagi jemaat yang kurang mampu berupa Raskin dan Jamkesmas atau Askes. Berdasarkan data yang diperoleh, jumlah penerima Raskin sebanyak 149 KK atau 31,28%.[32] Sedangkan untuk pengguna kartu Jamkesmas atau askes tercatat sebanyak 175 kepala keluarga yang telah memiliki kartu tersebut.[33] Pelayanan seperti ini, pendekatannya adalah pedekatan kebutuhan dasar. Pendekatan ini menekankan pentingnya dipenuhi kebutuhan akan sandang, pangan, perumahan, kesehatan dan pendidikan.[34]
Pendekatan ini dipandang positif dan lebih nyata dirasakan oleh rakyat karena mengurangi penderitaan akibat kurang gizi, penyakit dan kebodohan kurang pendidikan. Walaupun demikian, ada yang berpendapat bahwa pendekatan ini hanya dapat membuat masyarakat miskin menjadi pasif. Kaum miskin lebih banyak menerima bantuan seperti catu, pelayanan gratis, dsb. Tetapi tidak melihat pada peningkatan produktifitas dan proses memberdayakan kelompok miskin untuk mengembangkan dirinya. Begitu pula dengan akses terhadap modal untuk berusaha beserta kelembangaan yang dapat diberdayakan penduduk miskin meningkatkan taraf hidupnya belum diperhitungkan.

  II.        DESKRIPSI DATA DAN ANALISA
Pada bagian ini, penulis berupaya untuk mengkaji dan menganalisa data yang telah diperoleh dari hasil penelitian tentang faktor-faktor yang menyebabkan adanya orang miskin di Jemaat Hative Besar dan pelayanan gereja terhadap kaum miskin. Untuk kepentingan ini, maka penulis menggunakan tiga teknik pengumpulan data yaitu observasi, wawancara dan studi pustaka (pengumpulan dokumen-dokumen tertulis). Wawancara dijadikan sebagai sumber data primer, sedangkan observasi dan studi pustaka dijadikan sebagai pendukung untuk menganalisa data. Tabulasi data dilakukan dalam bentuk tabel tunggal.
Penelitian ini dilakukan dalam upaya menjawab masalah di atas dimulai pada tanggal 18 November sampai dengan tanggal 5 Desember 2013 dan telah diketahui faktor-faktor yang menyebabkan orang miskin dan pelayanan gereja terhadap kaum miskin.
Uraian ini dapat ditelusuri dalam variabel-variabel berikuti ini:
a)     Karakteristik informan
b)     Faktor-faktor yang menyebabkan orang miskin
c)     Pelayanan gereja terhadap kaum miskin
d)     Kesimpulan analisis

A.      Karakteristik Informan
Untuk mengetahui karakteristik informan akan menampilkan 4 hal, yaitu : 1) umur informan, 2) jenis kelamin informan, 3) pendidikan informan, 4) pekerjaan dan 5) status dalam jemaat, 6) kondisi  rumah.

1)     Umur Informan
Tabel 04
Umur Informan
No.
Kategori Umur
Frekuensi
Presentase
1.
20 – 34
4
8,51%
2.
35 – 45
13
27,66  %
3.
46 – 65
24
51,06 %
4
66 ke atas
6
12,77 %

Total
47
100  %
Sumber : hasi wawancara
Berdasarkan tabel di atas, pada kolom (1) dan (2) dikelompokkan sebagai kelompok usia produktif. Apabila dijumlahkan menjadi 17 orang. Kemudian pada kolom (3) dan (4) berjumlah 30 orang yang berada pada kategori usia di atas produktif. Jumlah tersebut dapat dibandingkan dengan tabel usia produktif maupun jumlah jiwa pada bagian sebelumnya.
Pada usia 46 – 65 dan 66 tahun ke atas digolongkan sebagai kelompok orang-orang dewasa yang telah memiliki banyak pengalaman dalam mengelola alam atau berusaha untuk mempertahankan hidup. Pada usia ini juga paradigma berpikir telah dibangun berdasarkan pengalaman secara turun-temurun. Sedangkan pada usia 20 – 34  dan 35 – 45 merupakan usia  produktif yang memiliki sedikit pengalaman. Kelompok usia ini adalah kelompok yang sangat perlu untuk diberdayakan.

2)     Jenis Kelamin Informan
Tabel 05
Jenis Kelamin Informan
No.
Jenis Kelamin Informan
Frekuensi
Presentase
1.
Laki-laki
19
40,43 %
2.
Perempuan
28
59,57 %

Total
47
100 %
Sumber: hasil wawancara

Pada tabel di atas, presentase perempuan sedikit lebih tinggi dari laki-laki sebab diantara setiap informan terdapat keluarga yang suaminya telah meninggal. Dengan kata lain, ada informan yang disebut sebagai janda yang berjumlah 7 orang.






3)     Pendidikan Informan
                                               Tabel 06
Pendidikan Informan
No.
Pendidikan
Frekuensi
Presentase
1.
SD
17
36,17 %
2.
SMP
8
17,02 %
3.
SMA
13
27,66 %
4.
PT
6
12,77 %
5.
Putus Sekolah
3
 6,38 %

Total
47
100 %
Sumber : hasil wawancara

Pada tabel di atas, terlihat bahwa jumlah tingkat pendidikan dari setiap informan merupakan jumlah yang sangat kecil bila dibandingkan tingkat pendidikan yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Selain itu pula, tingkat pendidikan SD dan SMA tidak jauh berbeda. Kemudian disusul oleh jenjang pendidikan SMP maupun orang yang mengalami putus sekolah. Presentase pendidikan yang demikian tentu sangat mempengaruhi pola pikir informan dalam mengelola alam.






4)     Pekerjaan Informan
Tabel 07
Pekerjaan Informan
No.
Pekerjaan
Frekuensi
Presentase
1.
Petani
20
42,55 %
2.
Nelayan
7
14,89 %
3.
PNS
5
10,64 %
4.
Bekerja tidak tetap
10
21,28 %
5.
Tidak bekerja
5
10,64 %

Total
47
100 %
Sumber : hasil wawancara
Presentase pekerjaan di atas merupakan sebagian kecil dari penjelasan pekerjaan yang telah diuraikan sebelumnya. Pekerjaan seperti petani dan nelayan merupakan pekerjaan yang telah dilakukan secara turun-temurun. Pekerjaan ini juga merangkap jenis pekerjaan tidak tetap. Hal ini disebabkan oleh rendahnya kemampuan untuk memelihara tanaman baik umur pendek maupun umur panjang. Sebaliknya, untuk memelihara tanaman-tanaman tersebut sangat memerlukan bantuan alam. Begitu pula dengan cara penangkapan ikan yang sangat tradisional. Sedangkan untuk orang yang tidak memiliki pekerjaan dipengaruhi oleh faktor fisik maupun usia.




5)     Status Informan dalam Jemaat
Tabel 08
Status Informan dalam Jemaat
No.
Status
Frekuensi
Presentase
1.
 Pendeta
1
2,13 %
2.
Majelis Jemaat
8
17,02 %
3.
Pengurus Wadah Organisasi
5
10,64 %
4.
Anggota Jemaat
33
70,21 %

Total
47
100 %
Sumber : hasil wawancara                     
Pada tabel di atas, angka  47 merupakan jumlah keseluruhan dari setiap status informan dalam jemaat. Selain itu pula, jumlah tersebut merupakan sebagian kecil dari jumlah jiwa jemaat GPM Hative Besar yang telah dijelaskan sebelumnya. Kemudian, jumlah informan terbanyak berada pada anggota jemaat. Jumlah tersebut dilihat sebagai representasi dari orang miskin yang berada di Jemaat GPM Hative Besar.

6)     Kondisi Rumah
Tabel 09
Kondisi Rumah
No.
Kondisi Rumah
Frekuensi
Presentase
1.
Semi permanen
23
76,67 %
2.
Sederhana
7
23,33%

Total
30
100 %
Sumber: hasil wawancara dan observasi
Pada tabel di atas, untuk presentase terbesar berada pada keluarga yang memiliki rumah semi permanen. Keluarga yang menempati rumah permanen memiliki pengakuan yang berbeda-beda. Ada yang mengakui, rumah yang ditempati adalah rumah milik kerabat yang telah bekerja bertahun-tahun di luar daerah (empat informan). Adapula yang mengakui rumah yang ditempati adalah bantuan dari pemerintah untuk warga tidak mampu (dua informan). Kemudian, untuk 18 informan lainnya, mengakui rumah yang ditempati adalah hasil usaha sendiri maupun bantuan dari kerabat yang bertalian darah maupun ada yang menempati rumah dinas (terkhususnya bagi perangkat pelayan).[35]
Sedangkan untuk presentase kondisi rumah yang sederhana, yaitu memiliki dinding dari papan, beratapkan daun sagu, dengan lantai tanah bahkan tidak memiliki MCK. Rumah tersebut telah ditempati selama bertahun-tahun atau turun temurun. Keadaan yang demikian tidak bisa diperbaiki karena dipengaruhi oleh beberapa fakor, antara lain:
-              Kondisi ekonomi yang rendah (tidak menentu)
-              Adanya sengketa tanah dan belum bersertifikat.[36]
-              Perselisihan antar saudara (saudara-saudara yang telah menikah tetapi masih tinggal bersama-sama)
Ketiga faktor ini, misalnya kondisi ekonomi yang rendah mengakibatkan kemampaun untuk mengusahakan tempat tinggal yang layak semakin sulit. Apalagi dengan kondisi ekonomi pasar yang semakin meningkat, terkhususnya bagi kebutuhan sehari-hari. Begitu pula dengan kebutuhan pendidikan dari anak-anak maupun akses terhadap kesehatan, terutama ketersediaan air bersih. Meningkatnya kebutuhan-kebutuhan tersebut, mengakibatkan ada anak-anak yang tidak bisa melanjutkan studi ke perguruan tinggi dan harus memilih untuk bekerja. 
Selanjutnya, pada faktor sengketa lahan menjadi indikator bahwa keluarga-keluarga tersebut terisolasi dari kelompoknya. Dikatakan demikian, karena terdapat dua hal yang sangat penting. Pertama, keluarga-keluarga tersebut telah menetap selama bertahun-tahun. Kedua, akses terhadap tanah, air dan energi (kayu bakar) menentukan seseorang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokoknya.[37] Jika salah satu tidak dapat dilakukan atau diakses, maka adanya faktor ketidakadilan.  

B.      Faktor-faktor yang Menyebabkan Kemiskinan
Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan orang miskin dapat dibahas dalam dua bagian yaitu :
1.       Realita Orang Miskin di Jemaat GPM Hative Besar
Dalam melihat realita kemiskinan ada informan mengatakan, secara umum orang-orang Maluku tidak ada yang miskin. Sebab orang ke kebun atau ke hutan (ewang) dan kembali ke rumah sudah membawa sayur dan jam makan lagi sudah bisa makan sehingga tidak ada orang yang kelaparan.[38] Hal ini, dapat dilihat pada gambaran pekerjaan yang akan diuraikan selanjutnya. Dengan cara hidup yang demikian, manusia makan dari apa yang telah disediakan oleh alam. Dengan kata lain, semua yang dibutuhkan oleh manusia telah disediakan oleh alam. Kehidupan yang demikian tentu membutuhkan keahlian dalam mengelola alam yang tidak hanya dilakukan secara tradisional melainkan memanfaatkan ilmu yang telah diperoleh dari dunia pendidikan. Misalnya, orang yang berlatar belakang sarjana pertanian menjadi sebuah harapan untuk dapat mengaplikasikan ilmunya. Namun, keinginan ini tidak dapat dilakukan karena keterbatasan modal dalam upaya pengolahan alam.
Adapula yang mengatakan, orang yang dikategorikan sebagai orang miskin hanya karena malas. Sebab rata-rata jemaat di sini (Jemaat GPM Hative Besar) semuanya memiliki lahan untuk di kelola.[39]  Kemudian, adapula yang mengatakan “mereka terlalu menjadikan diri lemah, padahal jika dilihat mereka masih sangat kuat untuk bekerja”.[40] Kedua jawaban ini dipengaruhi oleh dua hal yang saling berkaitan, yaitu :
a)     Pemukiman warga jemaat, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa sebagian besar pemukiman warga terdiri dari gunung, lereng gunung dan kaki gunung.
b)     Adanya sikap fatalistis (menerima keadaan apa adanya) atau hilangnya motivasi untuk mengupayakan hidup yang layak dalam bekerja.
Pada kedua aspek di atas, tentu memiliki keterkaitan dengan sarana prasarana, terkhususnya jalan untuk sampai ke lahan masing-masing (pemukiman). Selain itu pula dibutuhkan ketrampilan seseorang dalam bekerja baik petani maupun nelayan. Misalnya, nelayan, ada yang mengakui “Hasil tangkapan ikan dari tahun ke tahun tidak selalu sama, jika cuaca baik maka hasil tangkapan ikan banyak kalau cuaca buruk berarti hasil tangkapan juga tidak maksimal dari yang diharapkan”.[41] Cara penangkapan ikan, ada yang menggunakan kail, bodi jaring, bagan tangkapan ikan bahkan juga rompong. Pekerjaan ini sangat dipengaruhi oleh cuaca atau iklim yang seringkali sulit untuk diprediksi.
Sedangkan, untuk petani yang memiliki tanaman umur pendek (sayur dan umbi-umbian). Ada yang mengakui, seringkali hasil yang diperoleh tidak maksimal sebab ketidakcocokan tangan dalam menanam. Adapula yang mengakui hasil kebun seringkali dimakan oleh binatang liar (babi hutan) maupun dipengaruhi oleh banjir dan longsor. Pengakuan tersebut menunjukkan bahwa kondisi alam dapat memberikan dampak positif maupun negatif terhadap pekerjaan petani. Artinya, kondisi lingkungan menjadi salah satu faktor yang dapat mempengaruhi tindakan seseorang dalam bekerja. Sehingga dibutuhkan ketrampilan untuk melewati kemungkinan-kemungkinan yang telah disebutkan sebelumnya.
Begitu pula pada tanaman umur panjang, seperti cengkeh. Ada informan yang mengatakan, cengkeh dari tahun ke tahun punya hasil seng tetap, kalau untuk tahun ini memang cengkeh punya buah sedikit, seng sama deng tahun kemarin.[42] Pengakuan ini disebabkan oleh beberapa faktor yang saling keterkaitan antara lain:
·         Curah hujan yang tidak menentu
·         Membersihkan pohon cengkeh dari tumbuhan liar, pada saat cengkeh akan mengeluarkan bunga
·         Jarak yang jauh untuk sampai ke lahan atau dusun cengkeh
Faktor-faktor di atas, menunjukkan bahwa untuk memelihara tanaman cengkeh sangat memerlukan bantuan alam. Hal ini menunjukkan bahwa kurangnya ketrampilan dalam upaya memelihara tanaman.  Pada bagian inilah dilakukan kerja sama dengan Fakultas Pertanian UNPATTI dalam bentuk sosialisasi pertanian.[43] Di satu sisi, kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan atau ketrampilan dalam memelihara tanaman baik umur pendek maupun umur panjang. Di sisi lain, kegiatan yang dilakukan hanya sebatas sosialisasi tanpa ada langka praktis. Kelemahan dalam menangkap informasi akan berpengaruh pada kemampuan untuk mengembangkan ketrampilan atau potensi.
Selain kedua pekerjaan di atas, adapula pekerjaan-pekerjaan lain yang dilakukan, antara lain :
1.       Mencari gemutu (sapu ijuk) kemudian dibuat sapu untuk dijual di pasar dengan harga Rp.5.000 - 7.000 satu ikat. Proses pengumpulan gemutu dalam sehari dapat mencapai 4 ikat. Gemutu yang telah dijadikan sapu, dikumpulkan hingga mencapai 20 ikat barulah dijual.[44] Pekerjaan tersebut, tentu membutuhkan waktu 5 hari untuk pengumpulan sapu. Kemudian pada hari ke-6 barulah dilakukan penjualan. Hasil penjualan ketika dikalikan diperoleh pendapatan perhari Rp.35.000.
2.       Empat informan yang mengakui mencari “olat” (kumpulan sayur-sayur maupun buah-buahan) seperti daun singkong, daun melinjo, rebung, nenas, pisang, jantung pisang dan daun pisang dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ada yang mengatakan “Kalau katong seng biking bagitu sapa yang mau kasih uang, hidup sekarang ini sekarang su paling susah par cari kerja. Jadi terpaksa jual bagini-bagini saja jua par sambung-sambung hidup”. Jawaban ini, menunjukkan adanya keinginan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Namun, pekerjaan yang dilakukan hanya mampu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selain mengumpulkan olat seperti yang telah disebutkan diatas, adapula yang mencari kenari di Alang. Kenari tersebut dibersihkan dan dijual dengan harga Rp.5.000 untuk 25 isi/buah. Hasil penjualan olat dapat mencapai Rp.300.000. Namun, uang yang diperoleh hanya bersifat sementara. Artinya, ketika memperoleh uang tersebut dipakai untuk membeli kebutuhan pangan berupa beras, gula, minyak tanah dan sabun. Selain itu pula dipakai untuk membayar pajak maupun untuk membayar biaya transortasi. Sehingga uang yang dibawa pulang hanya berjumlah Rp.30.000.[45]
3.       Tukang bakar sagu, dengan membakar sagu untuk 1x pembakaran menghasilkan 40 lempeng sagu/porna dari satu tumang sagu. 1 tumang sagu dibeli dengan harga Rp.40.000. Sedangkan untuk penjualan sagu 1 lempeng Rp.2.500. Sehingga keuntungan untuk satu hari mencapai Rp.60.000.
4.       Tukang sapu jalan, sebelum menjalani pekerjaan tersebut keluarga (istri) ini membuat kue untuk dijual sebagai menu sarapan pagi.  Namun, dalam perkembangannya sang istri memilih untuk berhenti berjualan dengan alasan bahwa sudah ada orang lain yang menjajakan kue yang sama sehingga dapat mengakibatkan kerugian. Di sinilah, sang istri memilih untuk menjadi tukang sapu jalan dengan satu minggu 3x dan biaya per hari Rp.20.000 tetapi di bayar per bulan. Gaji tersebut diberikan oleh dinas Kota Madya melalui pegawai kantor Camat tetapi seringkali kali gaji yang diberikan juga tidak lancar.[46]
5.       Penjual kue, empat informan mengakui bahwa menjual kue dalam sehari keuntungan yang diperoleh adalah antara Rp.30.000 – 70.000. Pendapatan yang demikian ada yang mengakui bahwa untuk berjualan saat ini tidak seperti dulu lagi. Kalau dulu untuk berjualan per hari bisa mendapatkan keuntungan Rp.150.000 tetapi untuk sekarang paling tinggi Rp.70.000.[47]
6.       Sebagai tukang dan kuli bangunan,  informan mengatakan “Jadi bapa biasanya jadi tukang kalau orang minta bantu kerja bangunan seng banya jua tapi Rp.100.000/200.000 itu ada pegang jua par makan hari-hari.[48] Jawaban ini menunjukkan, ada ketergantungan terhadap orang lain dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pemberian uang atas jasa yang dilakukan sangat tergantung pada orang yang memberi pekerjaan.
7.       Ojek, dengan pendapatan per hari mencapai Rp.50.000. Namun pendapatan ini tidak menentu, seringkali pendapatan bisa lebih dari yang telah ditargetkan tetapi juga bisa kurang.
Berdasarkan pekerjaan di atas, sebagian informan mengatakan bahwa, nanti setelah anak-anak selesai pendidikan barulah menabung ke Bank. Di satu sisi, pengakuan ini benar adanya, dengan pemahaman jika telah menabung ke Bank maka setiap bulan haruslah dilakukan penyetoran sementara pendapatan keluarga tidak bisa diprediksi dari hari ke hari. Hal ini, tentunya sangat jauh berbeda dengan orang-orang yang memiliki penghasilan tetap. Di sisi lain, pekerjaan yang dilakukan hanya berdasarkan pengalaman dan tidak dibekali dengan ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, walaupun adanya usaha untuk bertahan hidup dengan melakukan berbagai pekerjaan tetapi tidak professional dalam bekerja. Pekerjaan yang dilakukan pun hanya untuk memenuhi kebutuhan hari ini tanpa memiliki perencanaan untuk masa yang akan datang (memenuhi kebutuhan di masa sekarang tanpa memperhitungkan masa yang akan datang).
 Pada pekerjaan tersebut terdapat tiga aspek yang saling mempengaruhi yaitu:
·       Ketrampilan
·       Akses terhadap jalan
·       Akses terhadap pasar
Pada ketiga aspek di atas ketrampilan dibutuhkan untuk menjaga dan memelihara tanaman, seperti terhindar dari bencana alam (banjir dan longsor), terhindar dari binatang liar (babi hutan) maupun menjaga tanaman untuk tetap produktif. Begitu pula akses terhadap jalan, kondisi jalan yang baik akan menunjang kemampuan seseorang untuk mengelola sumber daya alam yang telah tersedia, atau sebaliknya. Kemudian akses terhadap pasar, untuk menjual hasil kebun sangat dibutuhkan sarana transportasi. Ketiga hal tersebut dapat menunjang seseorang dalam bekerja dan memperoleh penghasilan yang maksimal. Jika tidak demikian, maka upaya untuk mendapatkan penghasilan yang dapat menunjang produktivitas tidak akan tercapai. Hal-hal inilah yang menjadikan orang bekerja hanya untuk persediaan stok makanan (memenuhi kebutuhan pangan yang diutamakan). Itu berarti secara tidak langsung ketiga hal tersebut sangat mempengaruhi orang untuk melakukan pekerjaan tambahan. Situasi ini disebabkan oleh ketidakpastian dalam memperoleh penghasilan. Hal utama yang dipikirkan hanyalah cara untuk mempertahankan hidup.
Pada uraian tersebut memiliki keterkaitan dengan tiga masalah utama kemiskinan, yaitu:
a)        Kebutuhan Pangan
Dalam upaya memenuhi kebutuhan pangan, jika dikaitkan dengan penjelasan sebelumnya terlihat bahwa setiap informan mampu untuk menenuhi kebutuhan pangan. Hal ini tentu didukung oleh sumber daya alam yang tersedia. Kendati demikian, cara hidup tersebut adalah cara hidup sebagai konsumtif dan tidak produktif. Orientasi kerja hanyalah untuk memenuhi kebutuhan pangan. Artinya, cara tersebut merupakan upaya untuk mempertahankan hidup.

b)       Layanan Kesehatan
Sejauh ini penyakit yang sangat menonjol di Jemaat GPM Hative Besar adalah  demam, flu, sakit kepala dan batuk. Pada umumnya penyakit yang dialami oleh anggota jemaat disebabkan oleh polusi udara, perubahan iklim, lingkungan yang kotor serta minum air yang kurang sehat. Untuk keluarga-keluarga yang menetap di daerah penggunungan, ketersediaan air bersih melalui pipa hanya berada di beberapa titik tertentu. Sedangkan saluran air bersih bagi setiap keluarga belum tersedia. Hal ini tentu dipengaruhi oleh sistem sanitasi lingkungan maupun pembangunan jalan yang belum merata.[49]
Sedangkan bagi warga yang menempati daerah lereng gunung, kaki gunung dan bukit maupun daerah pesisir pantai memilih memanfaatkaan air kali untuk kebutuhan sehari-hari seperti mandi, mencuci pakaian, mencuci piring, mencuci sayur untuk masak (hasil observasi). Keadaan seperti ini tentu sangat mempengaruhi aspek kesehatan. Sehingga sangat membutuhkan maupun pelayanan kesehatan melalui fasilitas kesehatan yang telah tersedia, seperti memanfaatkan Puskesmas terdekat maupun rumah sakit untuk mendapatkan pemeriksaan dan pengobatan. Untuk mendapatkan layanan kesehatan digunakan kartu askes (dapat dibandingkan dengan penjelasan sebelumnya). Sedangkan untuk hubungan kerjasama terhadap penyuluhan kesehatan, seperti pemanfaatan air bersih baik oleh pemerintah kota maupun desa dengan gereja belum pernah dilaksanakan.[50]
Itu berarti, layanan kesehatan seperti Puskesmas dan rumah sakit sudah dimanfaatkan oleh warga jemaat terkhususnya orang-orang yang secara ekonomi tidak mampu bahkan sangat terbantu oleh adanya kartu askes. Apalagi untuk tahun 2014 telah diberlakukannya kartu Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Jaminan kesehatan telah tersedia dan untuk menggunakan jasa medis tidak lagi memikirkan biaya. Namun, bantuan tersebut hanya membantu pada salah satu aspek saja, yaitu ekonomi (biaya). Dengan kata lain, bantuan tersebut tidak mampu untuk mengeluarkan kaum miskin dari masalah kesehatan yang dihadapi atau penyebab masalah kesehatan. Permasalahannya adalah cara memanfaatkan air bersih agar terhindar dari penyakit. Hal inilah menjadi persoalan mendasar, karena itu yang dibutuhkan adalah pemberlakuan cara atau pola hidup bersih.


c)       Layanan pendidikan
Untuk mengetahui layananan pendidikan akan dijelaskan dalam bentuk tabel di bawah ini:
Tabel 09.1
Jumlah Anak yang Sementara Menempuh Pendidikan
No.
Pendidikan
Frekuensi
Presentase
1.
Belum Sekolah
5
 11,11 %
2.
PAUD
4
8,89  %
3.
SD
12
 26,67 %
4.
SMP
10
22,22  %
5.
SMA
8
17,78 %
6.
PT
6
13,33 %

Total
45
100 %
Sumber : hasil wawancara                         
Pada tabel di atas, terlihat bahwa adanya kesadaran untuk menyekolahkan di setiap jenjang pendidikan. Walaupun, presentase terbesar berada pada jenjang pendidikan SD. Kemudian diikuti oleh jenjang pendidikan SMP. Jenjang pendidikan SD,  SMP dan SMA merupakan jenjang pendidikan utama dalam membentuk pola atau karakter seseorang. Namun, kesadaran tersebut masih sangat rendah. Hal ini dapat dibandingkan dengan tabel di bawah ini:




Tabel 09.2
Jumlah Anak yang telah Menamatkan Pendidikan
No.
Pendidikan
Frekuensi
Presentase
1.
SD
2
 5,26 %
2.
SMP
6
15,79 %
3.
SMA
23
60,53 %
4.
PT
3
7,89 %
5.
Putus Sekolah
4
10,53 %

Total
38
100 %
Sumber: hasil wawancara

Berdasarkan tabel di atas, presentase anak yang telah menyelesaikan studi di perguruan tinggi sangatlah rendah bila dibandingkan dengan presentase anak yang telah menamatkan SMA. Besarnya angka tersebut dipengaruhi oleh tindakan yang memilih untuk bekerja setelah menamatkan SMA. Situasi tersebut, rata-rata terjadi pada anak-anak laki-laki terutama pada anak sulung. Pekerjaan yang dilakukan  adalah bekerja di perusahaan ikan atau mengikuti motorikan, kuli bangunan maupun bekerja di toko. Begitu pula pada jenjang  pendidikan SD, SMP dan putus sekolah.  Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya:
·      Keterbatasan biaya, bagian ini tentu berkaitan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh orang tua. Apabila pekerjaan yang dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan, maka kebutuhan yang lain tidak dapat terpenuhi seperti pendidikan bahkan ada anak-anak yang harus mengorbankan pendidikannya dan memilih untuk berkerja.
·      Pergaulan bebas, ketidakpatuhan anak terhadap nasehat orang tua atau pergaulan menjadi salah satu faktor kendala. Sehingga timbulnya ketakutan dari orang tua bahwa apabila anak-anak tersebut diberi kesempatan untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi, tetapi tidak mampu untuk menyelesaikannya. Sia-sialah pengorbanan orang tua dalam menyekolahkan anak-anaknya. Dengan kata lain, ada anak-anak yang tidak menghargai pengorbanan orang tua.
·      Paradigma berpikir, ada orang tua yang berpikir yang terpenting anak-anak telah menamatkan SMA atau telah mampu untuk hidup mandiri.
Ketiga faktor di atas tentu memiliki keterkaitan satu dengan yang lain dan saling mempengaruhi. Artinya, upaya untuk meningkatkan kualitas manusia dari aspek pendidikan tidak hanya dibatasi dengan faktor biaya melainkan membutuhkan dorongan dari orang lain terutama keluarga. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Berdasarkan uraian sebelumnya, menunjukkan bahwa bahwa terdapat dua hal yang menjadi faktor penyebab kemiskinan:


1)     Faktor Internal
Pada faktor dilihat dari dua aspek yaitu:
·       Ekonomi
Jika kemiskinan dilihat sebagai fenomena ekonomi memiliki ciri-ciri sebagai berikut; rendahnya tingkat pendapatan, tidak memiliki pekerjaan yang tetap dan ketergantungan terhadap alam maupun mata pencaharian tertentu. Hal inilah yang dialami oleh sebagian anggota Jemaat GPM Hative Besar. Berdasarkan uraian pekerjaan yang telah dijelaskan sebelumnya, menunjukkan bahwa perilaku jemaat setempat terkhususnya orang-orang yang dikategorikan miskin adalah perilaku konsumtif. Situasi ini terjadi ketika orientasi pekerjaan yang dilakukan hanya untuk persediaan stok makanan atau untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dengan kata lain, pendapatan yang diperoleh hanya mampu untuk memenuhi salah satu kebutuhan saja, terkhususnya kebutuhan pangan. Sedangkan untuk kebutuhan lainnya, seperti upaya untuk menabung yang dapat dijadikan sebagai sumber modal untuk peningkatan produktivitas sudah tidak dapat dilakukan. Artinya, kaum miskin tidak memiliki modal untuk meningkatkan produktivitasnya. Sehingga lebih bergantung pada alam maupun musim.



·       Sosial budaya
Sehubungan dengan penjelasan sebelumnya, penyebab kemiskinan dapat di pengaruhi oleh cara berpikir atau ideologi (lihat pada bagian gambaran umum dan deskripsi data). Dengan kata lain, ideologi yang keliru dapat menyebabkan seseorang hidup dalam lingkaran kemiskinan. Hal ini, terlihat jelas pada gambaran kemiskinan yang dialami oleh Jemaat GPM Hative Besar. Secara tidak langsung ideologi tersebut dibangun dari beberapa bidang kehidupan, seperti:
-        Ketersediaan sumber daya alam. Konsep ini sangat terlihat jelas pada pernyataan “tidak ada orang miskin sebab orang ke kebun sudah memperoleh sayur-sayuran untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari” (lihat deskripsi data).
-        Anak sebagai sumber rejeki. Pernyataan diambil dari pemahaman bahwa “yang terpenting anak sudah mengenal huruf atau sudah menamatkan SMA, selebihnya mampu untuk mencari uang demi membantu menopang ekonomi keluarga”
Kedua hal ini tentu memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap aspek pekerjaan maupun pendidikan. Pertama, pekerjaan; orang bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan hari ini. Selebihnya telah disediakan oleh alam. Dengan kata lain, ketika orang dimanjakan oleh alam tanpa disadari mereka berada pada lingkaran kemiskinan. Misalnya, rendahnya tingkat pendapatan mempengaruhi pemenuhan kebutuhan. Kedua, pendidikan; pada gambaran sebelumnya terlihat jelas bahwa ada orang tua yang mengabaikan pendidikan anak-anaknya. Anak-anak diarahkan untuk bekerja demi menopang ekonomi keluarga adalah hal yang utama.

2)     Faktor Eksternal 
Pada bagian ini yang dilihat adalah aspek kebijakan yang disebut sebagai gejala ketidakadilan sosial. Gejala tersebut antara lain:
-          Tempat tinggal, terkhususnya bagi keluarga-keluarga yang memiliki rumah sederhana. Kondisi tersebut dialami ketika tanah yang tempati belum bersertifikat. Namun, tanah tersebut telah dijual kembali kepada pihak ketiga (pengusaha/cina). Tindakan ini tentu membuat keluarga-keluarga tersebut hidup dalam ketidakpastian dan mengabaikan kenyamanan orang lain.
-          Pemberian gaji, terkhususnya pada orang yang bekerja sebagai tukang sapu jalan. Gaji tersebut diberikan per bulan, namun pemberian gaji tidak sesuai bulan berjalan. Begitu pula dengan orang yang bekerja sebagai nelayan. Jika demikian, maka keluarga tersebut tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Karena pekerjaan tersebut sebagai satu-satunya sumber pendapatan keluarga.
-          Pemberian Raskin, merupakan suatu upaya pemerintah untuk membantu masyarakat miskin untuk memenuhi kebutuhan pangan. Namun, bantuan tersebut tidak dapat membuat kaum miskin keluar dari kemiskinannya. Sebaliknya, mempengaruhi pola makan dari kaum miskin, terkhususnya di Maluku. Artinya, pola makan orang Maluku adalah menjadikan makanan hasil kebun, seperti sagu (papeda), singkong dan keladi sebagai makanan pokok atau menu utama. Dengan bantuan tersebut, pola makan menjadi berubah yaitu menjadikan beras (nasi) sebagai menu utama dan menjadikan makanan hasil kebun sebagai menu tambahan.
-          Layanan kesehatan, berupa askes jika dilihat dari aspek ekonomi (biaya pengobatan) sangat membantu kaum miskin dalam proses pengobatan. Bantuan ini hanya dilihat sebagai hasil bukan pada proses. Artinya, bantuan kesehatan berupa askes dipahami bahwa ketika seseorang mengalami sakit tentu membutuhkan biaya pengobatan. Namun, tidak melihat sumber penyebab seseorang mengalami atau menderita sakit.
-          Sarana pra-sarana, belum dibangunnya sistem sanitasi maupun perbaiki kondisi jalan secara merata. Setiap orang membutuhkan sarana pra-sarana yang telah disebutkan untuk menunjang kebutuhan sehari-hari. Hal ini sangat dibutuhkan karena pemukiman warga jemaat yang terdiri dari gunung, lereng gunung, kaki gunung maupun bukit-bukit.
Berdasarkan kedua faktor (internal dan eksternal) yang menyebabkan adanya kemiskinan di Jemaat Hative Besar, jika dikaitkan dengan kemiskinan di dalam Alkitab, maka kaum miskin lebih digolongkan pada kelompok ebyon dan dal. Pada kedua kelompok ini memiliki keterkaitan dan saling mempengaruhi. Bilamana pada kelompok ebyon, kaum miskin adalah orang yang membutuhkan atau menginginkan sesuatu. Sedangkan dal, kaum miskin adalah orang yang lemah dan tidak berdaya.
Kaum miskin di Jemaat GPM Hative Besar menginginkan adanya kehidupan yang layak, kehidupan yang mengangkat martabat manusia. Tercapainya keinginan tersebut tidak hanya membutuhkan kerja keras untuk memenuhi kebutuhan materi (pangan) melainkan adanya perubahan paradigma berpikir maupun sistem sosial yang berlaku dalam jemaat.  Hal ini tentu bertolak belakang dengan bantuan yang diberikan baik Raskin maupun Askes. Artinya, bantuan yang diberikan tidak mampu untuk mencapai perubahan paradigma berpikir. Sebaliknya, menyebabkan melemahnya paradigma berpikir dan memperkuat sistem sosial yang berlaku. 




2.   Ukuran Kemiskinan
Berdasarkan uraian karakteristik informan maupun faktor-faktor yang menyebabkan adanya kemiskinan di Jemaat Hative Besar, maka dipakainya variabel kemiskinan dari Badan Pusat Statistik. Variabel-variabel tersebut diantaranya:
1.     Tiap rumah memiliki luas lantai 8m2
2.     Jenis lantai bukan tanah
3.     Ketersedian air bersih
4.     Keberadaan jamban
5.     Kepemilikan aset
6.     Variasi konsumsi lauk-pauk
7.     Pembelian pakian (membeli pakaian satu stel dalam setahun)
8.     Mengambil bagian dalam kegiatan sosial
Kedelapan aspek tersebut telah mencakup aspek sosial dan ekonomi atau rumah tangga diantaranya; sandang, pangan, perumahan, kepemilikkan aset dan aktivitas sosial. Selain itu pula ditambahkan bahwa, jika setiap keluarga tidak mampu memenuhi variabel-variabel tersebut sampai 5, maka dikategorikan miskin. Pengukuran tersebut dapat diuraikan pada tabel di bawah ini:

Tabel 10.1
Variabel Pengukuran Kemiskinan
No.
Jenis variable
Frekuensi

Presentase
(Ya)
(Tidak)
(Ya)
(Tidak)
1.
Tiap rumah tangga memiliki luas lantai 8m2
18
7
20,93 %
7,87  %
2.
Jenis lantai bukan tanah
18
7
20,93 %
7,87 %
3.
Ketersediaan air bersih
6
19
6,97 %
 21,35 %
4.
Kemberadaan jamban
18
7
20,93 %
7,87 %
5.
Kepemilikkan asset
-
-
 -
-
6.
Variasi lauk pauk
9
16
10,47 %
17,97 %
7.
Pembelian pakaian (satu stel satu tahun)
9
16
10,47 %
17,97 %
8.
Mengambil bagian dalam kegiatan social
8
17
9,30 %
19,10 %,

Total
86
89
100 %
100 %
Sumber: hasil wawancara dan observasi
Pada tabel di atas, untuk variabel (1), (2) dan (4) memiliki jumlah angka yang sama. Hal ini tentu memiliki keterkaitan dengan kondisi rumah dari setiap informan yang dilihat sebagai representasi dari kaum miskin. Itu berarti, dari ketiga variabel tersebut terdapat 18 keluarga yang dapat memenuhi ketiga variabel tersebut. Sedangkan untuk 7 keluarga lainnya tidak dapat memenuhi ketiga variabel yang telah disebutkan. Untuk variabel (3), presentase terbesar terdapat pada keluarga yang tidak memiliki ketersediaan air bersih. Presentase tersebut, didalamnya terdapat keluarga-keluarga yang telah memiliki kondisi rumah yang permanen. Hal ini tentu disebabkan oleh sistem sanitasi dan kondisi jalan yang belum merata. Sehingga pilihan untuk memanfaatkan air kali merupakan alternatif utama. Sedangkan 6 keluarga yang memiliki ketersediaan bersih karena memiliki sumur bor secara pribadi.
Pada variabel (5) dilihat sebagai sesuatu yang bersifat umum. Jika dikatakan kepemilikan asset, seperti tanah. Semua informan memiliki tanah untuk dikelola. Namun, dalam upaya tersebut setiap informan diperhadapkan dengan; kurangnya ketrampilan, terbatasnya akses terhadap jalan maupun akses terhadap pasar. Dalam hal ini, perhitungan harga pasar maupun transportasi (lihat hal. 45). Jika demikian, ketika kepemilikkan asset dilihat sebagai adanya modal (uang) untuk membuka usaha untuk menunjang produktifitas tidak dapat dilakukan oleh setiap informan. Sebab, setiap informan mengakui bahwa, dengan pekerjaan tersebut hanya mampu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Karena itu, pada variabel ini diberikan garis datar (-). Garis tersebut menunjukkan pada sebuah kehidupan yang statis atau kehidupan yang tidak mengalami perubahan.
Sedangkan untuk variabel (6), presentase keluarga yang dapat memenuhi maupun tidak dapat memenuhi memiliki selisih yang jauh berbeda. Kondisi ini dapat dibandingkan cara bekerja masing-masing informan dalam memenuhi kebutuhan sehari hari. Kemudian untuk dapat memenuhi variabel (7), sangat dipengaruhi pada jumlah anggota keluarga maupun jumlah pendapatan, kecuali keluarga yang anak-anaknya telah bekerja. Begitu pula pada variabel 8, memiliki presentase yang juga jauh berbeda. Untuk mengambil bagian dalam kehidupan sosial, misalnya ada keluarga yang menjadi majelis jemaat, pengurus wadah pelayanan, tuagama dan pengasuh. Itu berarti keadaan yang demikian tidak menjadikan keluarga-keluarga menjadi minder dalam kehidupan bersosial. Sedangkan bagi keluarga yang tidak terlibat dalam kegiatan sosial, seperti pengurus wadah pelayanan atau sebuah organisasi, disebabkan oleh faktor usia maupun kesehatan (cacat fisik atau gangguan mental).
Berdasarkan uraian di atas, untuk mengetahui jumlah keluarga yang memenuhi variabel yang telah ditetapkan maupun yang tidak memenuhi variabel tersebut, dapat dijelaskan pada tabel di bawah ini:
Tabel 10.2
Kategori Variabel Kemiskinan
No.
Kategori Variabel
Frekuensi
Presentase
1.
1 – 2
-
-
2.
3 – 4
21
84 %
3.
5 – 6
4
16 %
4.
7 – 8
-
-

Total
25
100 %
Sumber: hasil wawancara (banding dengan tabel sebelumnya)
Pada tabel di atas, katergori variabel ambil secara acak sesuai kemampuan masing-masing informan dalam memenuhi setiap variabel. Kategori tersebut menunjukkan bahwa terdapat 21 keluarga yang hanya mampu memenuhi variabel 3-4. Itu berarti keluarga-keluarga tersebut dikategorikan sabagai orang miskin atau keluarga pra sejaterah. Keluarga-keluarga tersebut juga dilihat sebagai kemiskinan absolut. Kemiskinan absolut merupakan ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan primer, seperti sandang, pangan, papan, kesehatan (ketersediaan air bersih) kerja yang wajar dan pendidikan dasar. Kemudian kebutuhan sekunder, seperti rekriasi dan partisipasi dalam kegiatan sosial. Pada bagian ini, dapat dilihat perbandingannya pada penjelasan pendidikan maupun pekerjaan.
Sedangkan 4 keluarga yang mampu memenuhi jumlah variabel antara 6-7 dapat disebut keluarga sejaterah. Walaupun demikian, keluarga tersebut dapat dikategorikan sebagai kelompok yang mengalami kemiskinan relatif. Kemiskinan ini dapat saja terjadi ketika adanya bencana alam, misalnya gagal panen disebabkan oleh longsor atau curah hujan yang tidak menentuh dan mempengaruhi faktor pendapatan.







C.    Pelayanan Gereja terhadap Kaum Miskin
Untuk mengetahui pelayanan gereja terhadap kaum miskin dapat dilihat pada tiga bagian, yaitu;
a.     Program Gereja
Program pelayanan gereja merupakan suatu aksi nyata untuk menjawab gumulan konteks dari jemaat, terutama kaum miskin. Hal ini dapat dilakukan berdasarkan visi pelayanan yang digagas oleh gereja. Visi pelayanan Jemaat hative Besar yaitu:
“Mewujudkan Jemaat GPM Hative Besar yang sejaterah yakni jemaat yang mampu memenuhi kebutuhan dasar yang berkecukupan serta mampu meningkatkan kualitas hidup yang layak”.[51]
 Begitu pula dengan prioritas pelayanan, khususnya pada pengembangan kapasitas umat yaitu
“Terbentuknya kematangan ekonomi keluarga jemaat yang dioptimalisasi melalui kerja dan penggelolaan potensi sumber daya alam yang ada di jemaat.”[52]
Berdasarkan visi dan prioritas pelayanan maka gereja mengangkat program peningkatan mutu pendidikan dengan memberikan beasiswa bagi siswa berprestasi yang kurang mampu. Upaya tersebut dilakukan dengan melihat pada terbatasnya ekonomi keluarga dalam menyekolahkan anaknya di perguruan tinggi. Begitu pula dengan program peningkatan ekonomi keluarga baik oleh wadah pelayanan perempuan maupun laki-laki. Diangkatnya program ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:
·         Minimnya pengetahuan tentang peluang usaha
·         Kurangnya ketrampilan atau skil
·         Tidak tersedianya modal usaha[53]
Berdasarkan faktor-faktor di atas, maka kegiatan yang dilakukan adalah sosialisasi peluang usaha, pelatihan ketrampilan usaha sesuai potensi dan spesifikasi usaha (pertanian dan perikanan) serta fasilitasi pembuatan proposal. Namun, program ini tidak dapat dilakukan dengan beberapa kendala diantaranya:
·         Belum tersedianya data potensi perempuan maupun laki-laki secara maksimal
·         Kesibukan pada pembangunan fisik
·         Kurangnya koordinasi
·         Tidak tersedianya anggaran belanja program dan ditanggungkan kepada seksi/bidang.[54]
Faktor-faktor kendala di atas, menjadi indikator bahwa kepedulian gereja dalam membantu umat untuk keluar dari lingkaran kemiskinan masih sangat rendah bahkan hanya sebatas wacana yang dikumandangkan setiap kali dalam persidangan jemaat.[55] Apalagi program yang diangkat adalah program pengulangan selama dua tahun berturut-turut. Kendati demikian, salah satu kegiatan dari program yang diangkat baru direalisasi pada tahun 2013, yaitu sosialisasi pertanian (banding dengan penjelasan realita kemiskinan).[56] Sedangkan untuk pelayanan diakonal dianggarkan Rp.130.000,- per orang untuk jemaat secara keseluruhan tanpa membedakan status sosial. Anggaran tersebut hanya bersifat tanggap darurat, apabila ada keluarga-keluarga yang mengalami sakit maupun bencana alam, gereja memberikan bantuan sesuai yang telah dianggarkan. Pelayanan seperti ini sangat mudah untuk dilaksanakan. Sedangkan peningkatan ekonomi keluarga, yang disebut sebagai diakonia reformatif atau pembangunan yang sifatnya menengah dan jangka panjang. Namun, tidak terlaksana karena kendala yang sangat menonjol adalah memperioritaskan pembangunan gereja secara fisik maupun tidak tersedianya anggaran untuk realisasi program.





b.     Renstra Jemaat
Berkaitan dengan pelayanan gereja juga mengacu pada renstra jemaat.  Pada arah kebijakan dan strategi yang digagas dalam renstra terhitung dari tahun 2012, 2013 dan 2014. Bilamana, pada tahun 2012 yang dilakukan adalah inventarisasi keluarga pra sejaterah dan pelayanan karitatif. Untuk tahun 2013, yang dilakukan  peningkatan ekonomi keluarga pra sejaterah dan pelayanan karitatif. Sedangkan, untuk tahun 2014 target yang dicapai adalah kemandirian keluarga pra sejaterah.[57] Dengan pola pelayanan yang demikian, tentu target yang akan dicapai pada tahun 2014 tidak akan terwujud. Sebab, peningkatan kemandirian keluarga pra sejaterah tidak hanya dilakukan dengan bantuan pelayanan karitatif belaka. Bahkan pelayanan tersebut akan bersifat kebalikan dari yang diharapkan. Artinya, hanya sebagai orang yang siap menerima bantuan dan bersifat pasif bahkan tidak mengupayakan kemandirian.
c.      Realitas (konteks)
Pada bagian ini, hal yang diperhatikan adalah tanggapan informan terhadap realitas kemiskinan dalam hubungan dengan pelayanan gereja. Ada informan yang mengatakan “yang penting jam ibadah pigi pimpin ibadah, khotbah bagus dan doa juga bagus. Kalau gereja mau bantu ja bantu berapa, sementara gereja juga punya utang pembangunan. Jadi bantuan yang diberikan juga harus sesuai dengan uang kas jemaat”.[58] Di satu sisi, jawaban tersebut menunjukkan bahwa pelayanan gereja hanya dipahami sebatas pelayanan ritual. Pelayanan gereja tentu tidak hanya dibatasi pada aspek ritual maupun pembangunan secara fisik, sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya melainkan juga mencakup aspek sosial dalam kehidupan berjemaat.
Di sisi lain, pelayanan gereja (memberikan bantuan bagi kaum miskin) berkaitan dengan keuangan (APBJ). Keuangan gereja lebih diprioritaskan pada pembangunan secara fisik ketimbang pembangunan sumber daya manusia (pemberdayaan kaum miskin). Artinya, realisasi program berkaitan dengan anggaran yang tersedia. Hal yang ditemukan ketika mempelajari hasil keputusan sidang jemaat tahun 2013 adalah adanya anggaran untuk realisasi program ditangguhkan kepada masing-masing seksi. Dengan kata lain, seksi mengusahakan anggaran sendiri untuk merealisasi program (bandingkan dengan penjelasan program maupun gereja dan lihat pada lampiran).
Keterlibatan gereja dapat dilakukan dengan memanfaatkan sumber daya lokal yaitu sumber daya alam, laut dan sumber daya manusia. Dalam kaitan dengan pelayanan gereja, adapula informan yang memiliki pemahaman berbeda. Informan mengatakan bahwa “akan diberikan modal usaha bagi keluarga yang potensial (memiliki kemampuan usaha). Sedangkan untuk meningkatkan sumber daya manusia terkhususnya pada aspek pendidikan, akan diberikan beasiswa bagi anak yang berprestasi, namun orang tuanya tidak mampu”.[59] Jawaban ini, tentu bertujuan untuk meningkatkan ekonomi keluarga dan mutu pendidikan. Hal ini jika dibandingkan dengan penjelasan program gereja pada bagian sebelumnya telah digagas oleh gereja pada keputusan sidang sebelumnya. Karena itu, upaya tersebut merupakan sebuah pengulangan yang mestinya dicapai oleh gereja. Pengulangan tersebut juga menunjukkan bahwa adanya kegelisahan gereja untuk melihat orang-orang miskin. Namun, hal tersebut masih sebatas sikap simpati dan belum ada aksi nyata. Artinya, kegelisahan haruslah diikuti dengan sebuah tindakan nayata.
Berdasarkan ketiga hal tersebut (Program Gereja, Renstra Jemaat, Konteks) tentunya sangat berkaitan satu dengan yang lain. Upaya gereja untuk menolong kaum miskin (pemberdayaan umat) masih hanya sebatas wacana. Sedangkan, pelayanan gereja, seperti ritual maupun pembangunan gereja secara fisik yang lebih diutamakan. Dengan kata lain, pelayanan ritual dan pembangunan gereja secara fisik dijadikan sebagai program prioritas. Dikatakan demikian, karena banyak ibadah-ibadah yang dilakukan oleh gereja. Terlihat jelas bahwa, untuk setiap hari dalam seminggu selalu ada ibadah. Begitu pula hasil keputusan sidang, baik perencanaan program maupun anggaran kedua-duanya memiliki keterkaitan. Dengan kata lain, program tidak dapat dijalankan tanpa ada perencanaan anggaran, begitu pula sebaliknya. Karena itu, program yang diangkat hanyalah sebatas selogan belaka. Padahal, program-program tersebut menjadi hal yang penting dalam membantu kaum miskin.
Di satu sisi, gereja (mejelis) memahami upaya untuk membantu kaum miskin hanya sebatas pemberian materi atau hal-hal yang terlihat secara fisik. Sedangkan upaya untuk menyadarkan umat dalam mengusahakan kehidupan yang lebih layak masih sangat rendah. Di sisi lain, gereja berusaha untuk mewujudkan visinya, melalui peningkatan ekonomi keluarga. Namun, hal ini tidak akan tercapai apabila yang diprioritaskan adalah kegiatan ritual dan pembangunan fisik maupun pelayanan karitatif. Itu berarti, secara tidak langsung gereja membiarkan umatnya hidup dalam keterbelakangan sosial ekonomi maupun mutu pendidikan. Dengan kata lain, umat berjuang atau berusaha sendiri untuk keluar dari situasi kemiskinan.
Perjuangan tersebut telah dilakukan melalui kerja keras untuk dapat bertahan hidup. Namun, dalam perjuang tersebut tidak membawa perubahan dalam kehidupan kaum miskin. Bahkan anak-anak yang dalam usia sekolah harus berhenti dan bekerja untuk menopang ekonomi keluarga. Hal ini sangat menojol pada tabel pendidikan (lihat tabel 09.2). Bilamana tingkat pendidikan di perguruan tinggi sangat rendah bila dibandingkan dengan tingkat pendidikan pada jenjang, SMA. Itu berarti, pemahaman tentang kemiskinan bukan diakibatkan oleh sikap malas seseorang, melainkan hilangnya motivasi atau kesadaran untuk mendapatkan sebuah perubahan dalam kehidupan bersama. Begitu juga dengan orang yang memiliki keilmuan yang cukup, jika tidak ada motivasi maupun keterbatasan modal untuk dapat mengaplikasikan ilmunya maka keinginan tersebut tidak akan tercapai. Karena itu, untuk mencapai sebuah perubahan tidak hanya dengan kerja keras maupun keilmuan yang cukup. Namun, membutuhkan kreativitas dan motivasi bahkan pembebasan dari paradigma berpikir yang keliru maupun sistem sosial yang menciptakan ketergantungan.
Sehingga dalam situasi sulit, seperti hilang motivasi atau kesadaran dibutuhkan pihak kedua (orang lain yang dapat memberikan dorongan). Artinya, untuk keluar dari situasi kemiskinan tidak bisa dilakukan oleh kaum miskin sendiri. Melainkan membutuhkan pihak yang dapat memberikan kontribusi berpikir dalam membangkitkan motivasi seseorang. Hal inilah mesti menjadi perhatian dari gereja, yang tidak hanya memberikan bantuan secara materi yang disebut sebagai diakonia karitatif. Jika demikian, kaum miskin hanya dijadikan sebagai objek belas kasihan dan menciptakan sikap ketergantungan.[60] Diakonia gereja tidak cukup bersifat karitatif melainkan harus disertai dengan upaya perubahan, yaitu pola pikir untuk dapat mengusahakan kehidupan yang layak.
           

D.    Kesimpulan Analisis
Dari hasil analisis terdapat beberapa hal yang dapat disimpulkan yaitu:
a.     Faktor-faktor penyebab kemiskinan
Adanya orang miskin di Jemaat GPM Hative Besar disebabkan oleh dua faktor, yaitu
-        Faktor internal, berupa perilaku hidup yang konsumtif dan pola pikir (paradigma), hidup apa adanya.
-        Faktor ekstenal berupa pelayanan sosial yang bersifat tidak membebaskan bahkan menciptakan ketergantungan.
Berdasarkan kedua faktor tersebut, yang sangat menonjol adalah faktor internal. Sedangkan faktor eksteral tidak nampak tetapi sangat mempengaruhi kehidupan kaum miskin. 
b.     Pelayanan gereja terhadap kaum miskin
Pada bagian ini terdapat dua bentuk pelayanan yang dilakukan oleh gereja bagi kaum miskin, yaitu pelayanan diakonia karitatif dan diakonia reformatif atau pembangunan. Bilamana, diakonia karitatif dijadikan sebagai pelayanan tanggap darurat. Sedangkan diakonia reformatif dijadikan sebagai bentuk pelayanan jangka panjang. Hal ini sangat menonjol dalam program yang digagas maupun pemahaman pelayan, bilamana keluarga yang kurang mampu diberikan modal usaha. Kedua pelayanan tersebut yang sangat menonjol adalah pelayanan diakonia karitatif bila dibandingkan dengan diakonia reformatif. Kendati demikian, kedua pelayanan tersebut tidak membebaskan kaum miskin tetapi menjadikan mereka sebagai objek belas kasihan.

















BAB III
REFLEKSI TEOLOGIS
A.     TANGGUNG JAWAB GEREJA TERHADAP KAUM MISKIN
Keterlibatan gereja dalam melihat kehidupan orang-orang miskin didasarkan pada kepercayaan di dalam Kristus. Bagi gereja, Yesus Kristus adalah sumber pelayanan Kristen yang diarahkan pada manusia baik fisik maupun rohani, baik pribadi maupun kelompok yang selalu mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan.[61] Pemahaman Alkitab tentang orang miskin dan tertindas serta rasa takut terhadap penderitaan dimulai dari persepsi tentang sejarah orang miskin. Orang-orang miskin percaya bahwa Allah Perjanjian Lama adalah Allah yang miskin dan tertindas, Allah yang mendengar teriakan orang-orang Israel yang diperbudak, yang membebaskan mereka dari Mesir, yang menderita dalam eksodus dan di pengasingan dan yang terus bertindak dalam sejarah untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Allah Perjanjian Baru adalah Tuhan yang sama, yang mengutus anak-Nya Yesus Kristus yang memberitakan kabar baik bagi orang yang tertindas, orang sakit dan miskin serta menghibur mereka dalam kesedihan. Namun, Allah yang menjadi miskin di dalam Yesus Kristus dan rela menderita, dimuliakan oleh Allah yang membangkitkan Dia dari antara orang mati. Sehingga baik orang kaya maupun miskin akan mengalami pembebasan oleh Allah.
Di dalam ucapan Yesus yang memberi penekanan terhadap kata miskin baik dalam injil Matius berbeda dengan Lukas. Pada Matius 5:3; “Berbahagialah orang yang miskin dihadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga” maupun Lukas 6:20; “Berbahagialah, hai kamu yang miskin, karena kamulah yang empunya Kerajaan Allah”. Matius memberikan penekanan pada dimensi religius sedangkan Lukas melihat pada dimensi religius dan material. Kendati demikian, baik Matius maupun Lukas penekanannya memiliki kemiripan yaitu menyentuh demensi-demensi kehidupan orang-orang yang Yesus pandang “diberkati” atau “berbahagia”.[62] Di dalam ucapan ini, mestinya juga dipahami sebagai suatu cara pengosongan diri untuk bergantung sepenuh kepada Allah.[63] Cara mengantungkan diri kepada Allah tidak bisa hanya dipahami secara rohani saja melainkan juga menyangkut seluruh aspek kehidupan. Sikap pasrah, mengandalkan dan mempercayakan hidup kepada Allah tidak terlepas dari kemiskinan dan penderitaan secara real.[64]
Dasar dari kemanusiaan adalah mencegah kepuasan pribadi yang dapat menimbulkan ketidakseimbangan dan ketergantungan. Dengan demikian, keterlibatan gereja yang berjuang demi keadilan dan kebenaran merupakan bagian dari pergerakkan orang percaya yang bertanggung jawab terhadap kebenaran yang telah diterima dari Allah bagi orang-orang miskin. Kaum miskin yang dihadapi Yesus adalah orang-orang-orang yang miskin secara fisik atau material, ekonomi, sosial, politik maupun religius. Sehingga hadirnya Kerajaan Allah dilihat sebagai keseimbangan atau keadilan. Kerajaan Allah menjadi sentral dari ajaran Yesus. Kehadiran Yesus seperti yang diproklamasikan oleh Yohanes, datang untuk menyelamatkan dan mengangkat orang-orang yang hidup dalam ketertindasan (Lukas 4:17-19). Artinya, kehadiran Yesus sebagai bagian dari sebuah pengharapan untuk memberikan keseimbangan ketika terjadi ketidakadilan atau kehidupan yang mendatangkan penderitaan. Yesus juga mengajarkan tentang tanggung jawab orang kaya terhadap orang miskin.
Cerita tentang orang kaya yang mengikuti Yesus menunjukkan bahwa Yesus sama sekali tidak menolak orang kaya. Artinya, semua orang berhak untuk kaya tetapi kekayaan yang diperoleh hendaknya digunakan juga untuk membantu orang yang miskin dan tertindas (Lukas 12:16-21). Membantu orang miskin tidaklah berarti meringankan beban mereka melainkan untuk memperoleh keseimbangan sebagai bagian dari keadaan yang tidak adil, keadaan yang menciptakan ketergantungan. Tindakan ini dilakukan sebagai pemaknaan terhadap Kerajaan Allah dalam memahami kemanusiaan yang utuh.[65] Menurut Guztavo Guiters, Yesus tidak hanya menyelamatkan orang berdosa dan memperkaya mereka dalam kemiskinan melainkan sebuah tindakan solidaritas terhadap kemanusiaan dan upaya menyelamatkan semua orang.
Gereja yang melibatkan diri dalam pilihan cinta kasih untuk mendahulukan kaum miskin disebut sebagai gereja kaum miskin. Hal yang sangat ditekankan adalah baik kemiskinan maupun kekayaan dapat memperbudak atau membebaskan manusia, dapat menjauhkan atau menyatukan orang demi tindakan penyelamatan Allah. Gereja kaum miskin dapat digambarkan dari dua aspek yaitu pertama, hubungannya dengan Allah yang menampakkan kuasa dan belas kasihan-Nya, yang menyelamatkan melalui Yesus Kristus (kristologi). Kedua, hubungannya dengan kehidupan real kaum miskin (ekonomi, politik, kultural dan religius). Kedua aspek ini, saling berhubungan satu dengan yang lain dan sangat menentukan apakah gereja sungguh-sungguh hidup sebagai gereja kaum miskin atau tidak. Dalam gambaran injil ditemukan pribadi Yesus sebagai yang miskin dan rendah, sebagai yang dekat bahkan mendahulukan kaum miskin dalam pelayanan-Nya. Sebagaimana yang terlihat dalam cerita mengenai pengadilan (Matius 25:31-46). Cerita mendahulukan kaum miskin merupakan wujud pelayanan kepada Kristus, wujud penampilan cinta ilahi. Orang yang kaya atau orang yang mempunyai kekuasaan dapat menemukan Kristus dalam diri orang miskin yang menghayati hidup sebagai gereja kaum miskin.[66]
Tindakan gereja dalam melihat kemiskinan, terkhususnya di Jemaat GPM Hative Besar merupakan bagian yang utuh dalam proses pengenalan Allah. Gereja dilihat sebagai representasi kehadiran Allah yang terus berkarya dalam sejarah kehidupan manusia. Dengan kata lain, Gereja adalah Tubuh Kristus yang harus mencerminkan kasih dan pengorbanan Kristus. Gereja adalah buah sulung Kerajaan Allah yang harus mencerminkan  keadilan, kedamaian dan kesejateraan.  Pada bagian ini, gereja dilihat sebagai suatu gerakan umat Allah yang sedang menjalankan misi Allah. Hal yang sangat penting dari kehadiran gereja di dunia adalah menjalankan misi Allah. Dalam pemahaman inilah, maka pelayanan gereja terhadap kaum miskin adalah pelayanan yang membebaskan.
Sebagai gereja harus melibatkan diri dan berjuang untuk membebaskan kaum miskin dari pemahaman yang keliru maupun sistem sosial yang berlaku dan mengakibatkan sebagian anggota jemaat tidak dapat menikmati fasilitas secara merata (sarana air bersih dan jalan). Hal tersebut merupakan salah satu tugas gereja untuk mengatasi masalah kemiskinan. Dalam mengatasi kemiskinan haruslah dimulai dari akar masalah atau penyebab suatu masalah. Dengan kata lain, pelayanan gereja terhadap kaum  miskin bukanlah berarti menghapus kemiskinan, melainkan berusaha mengurangi faktor penyebab kemiskinan.
Keprihatinan terhadap kaum miskin juga menjadi bagian dari tugas pengutusan yang tidak menjadikan kaum miskin sebagai objek untuk berbuat amal. Jika demikian, kaum miskin tidak menjadi bagian dari subjek perubahan melainkan menjadi pasif bahkan sebagai pelengkap dari sebuah perubahan.[67] Tindakan solidaritas yang dilakukan, tidaklah berarti dapat membasmi kemiskinan melainkan sebagai konsekuensi dari kepercayaan kepada Allah. Kepercayaan inilah yang mendorong sikap solidaritas terutama untuk untuk mencerminkan tindakan Kristus dalam kehidupan sehari-hari atau Kristus menjadi pola dalam kehidupan.[68] Hal yang sama pula disampaikan di dalam Mat.25:31, dst. Kaum miskin haruslah dilihat sebagai orang  yang dipergunakan Allah untuk membentuk sejarah keselamatan. Pada situasi inilah gereja terpanggil untuk melaksanakan tugas profetis. Keterpaggilan gereja inilah mestinya menolong orang sesuai kebutuhan dan kemampuannya.
B.    PELAYANAN YANG MEMBERDAYAKAN  KAUM MISKIN
Dalam kehidupan yang selalu dinamis pontesi kemiskinan dapat saja terjadi. Hal ini menggambarkan adanya ketidakselarasan atau ketidakseimbangan kehidupan yang menyebabkan penderitaan. Kondisi yang demikian pun dipengaruhi oleh hubungan timbal-balik antara ciptaan. Manusia hidup dengan sumber daya alam yang telah tersedia, maka manusia harus mampu menjaga dan melestarikannya untuk tetap produktif tanpa harus tergantung terhadap bantuan alam. Ketika hal ini tidak dapat dilakukan maka terjadilah kesenjangan sosial atau kemiskinan[69].
Di satu sisi, ketidakmampuan manusia dalam mengelola alam juga dipengaruhi oleh paradigma berpikir yang sempit. Artinya, paradigma berpikir yang berdampak positif akan membawa manusia untuk mencapai kesejateraan hidup. Namun, paradigma berpikir yang negatif atau keliru akan membawa manusia pada kemiskinan. Di sisi lain, ketidakmampuan tersebut juga di pengaruhi oleh sistem pelayanan yang tidak adil bahkan tidak memperhitungkan martabat manusia secara utuh.
Hal inilah yang dialami oleh sebagian anggota Jemaat GPM Hative Besar yang hidup dalam kondisi kemiskinan. Di satu sisi, kaum miskin di Jemaat GPM Hative Besar hidup dengan sumber daya alam yang telah tersedia. Namun, kaum miskin tidak mampu mengelola alam yang telah tersedia sebagai akibat dari lemahnya sumber daya manusia. Di sisi lain, kaum miskin juga membutuhkan sarana prasarana yang dapat menunjang produktifitas, seperti akses terhadap jalan maupun transportasi untuk dapat menjual hasil kebunnya. Situasi tersebut memaksa manusia untuk cepat “puas” dengan apa yang dimiliki, meskipun nyaris mencukupi kebutuhan hidup mendasar.[70] Artinya, mentalitas hidup yang hanya berorientasi pada masa kini tanpa memikirkan masa depan. Pola hidup yang demikian berorientasi pada kehidupan yang tidak produktif tetapi konsumtif. Kehidupan seperti ini, menjadikan manusia tidak memiliki sumber pendapatan atau modal untuk menunjang produktivitas melainkan menciptakan ketergatungan terhadap alam.
Cara hidup yang dipengaruhi oleh paradigma berpikir yang keliru maupun pelayanan yang tidak menyentuh sumber penyebab masalah (kemiskinan) sangat perlu untuk di transformasi. Artinya, dalam upaya membawa kaum miskin keluar dari kondisi kemiskinan tidak hanya dibatasi dengan pemberian materi (pangan), pelayanan gratis (kesehatan) maupun modal usaha. Namun, perlu adanya perubahan sosial baik dalam diri kaum miskin maupun sistem yang berlaku.
Upaya membantu kaum miskin seperti di atas telah lazim digunakan oleh lembaga pemerintahan bahkan juga dilakukan oleh gereja. Tindakan seperti ini sama sekali tidak membebaskan kaum miskin dari situasi ketidakberdayaan melainkan menciptakan ketergantungan dan menjadikan kaum miskin sebagai objek belas kasihan. Secara khusus pelayanan terhadap kaum miskin yang dilakukan oleh gereja di Jemaat GPM Hative Besar. Pelayanan yang sangat menonjol adalah pelayanan diakonia karitatif yang merupakan pelayanan yang sangat cepat dan mudah (tanggap darurat). Bentuk pelayanan ini adalah mengunjungi orang sakit, mengunjungi orang dalam penjara dengan membawa makanan dan memimpin renungan, menyediakan beras untuk membantu keluarga miskin serta mendirikan poliklinik gratis atau murah untuk orang miskin.[71] Setelah itu pelayanan diakonia reformatif atau pembangunan yang telah direncanakan tetapi tidak dapat dilaksanakan karena lebih memprioritaskan pembangunan gereja secara fisik.
Pelayanan diakonia reformatif melihat kemiskinan sebagai akibat dari kebodohan, kemalasan dan kurangnya modal.[72] Diakonia ini lebih mengarah kepada pelayanan secara individu. Dengan kata lain, fokus pelayanannya hanya kepada orang yang mengalami kemiskinan dan tidak melihat kepada sistem sosial yang juga turut mempengaruhi terjadinya kemiskinan. Sehingga orang yang tidak memiliki modal usaha diberikan modal, begitu pula anak-anak yang berprestasi dari keluarga yang kurang mampu diberikan beasiswa.
Di satu sisi, pelayanan seperti ini bertujuan untuk membantu ekonomi keluarga demi meningkatkan kesejateraan. Di sisi lain, pemaknaan terhadap kesejateraan tidak hanya dibatasi pada upaya pemberiaan bantuan, melainkan kesejateraan memiliki makna yang sangat kompleks. Kesejateraan dari aspek materi dan jasmani meliputi kemakmuran, kepastian, pekerjaan dan kesehatan tubuh. Sedangkan dari aspek psikis dan sosial meliputi hubungan baik dengan sesama maupun spritualitas. Kesejateraan juga menyangkut hal-hal yang bersifat normatif, seperti pandangan hidup.[73] Sehingga diakonia yang dilakukan sangat perlu untuk memahami hal-hal yang telah disebutkan di atas.
Diakonia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ibadah orang percaya. Liturgi dan diakonia merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Dalam Roma 12:1 Paulus memakai kata-kata “ibadahmu yang sejati” untuk menghubungkan ibadah dan kehidupan. Dalam surat-suratnya Paulus menarik garis yang jelas antara pertemuan jemaat dan pengabdian seluruh hidup kepada Allah dan sesama, terutama sesama yang lemah dan menderita.
Kata “sejati” menurut H.N.Ridderbos dalam komentarnya atas Roma 12:1 dapat disamakan dengan “rohani” (band. 1Petrus 2:5). Dalam hidup orang Kristen bukan ritual lahariah itulah yang diutamakan, melainkan penyembahan dalam Roh Kudus dan kebenaran.[74]
Panggilan gereja dalam melayani kaum miskin tidak hanya sebatas berkhotbah di setiap ibadah minggu maupun ibadah-ibadah yang lain dan mengharapkan kaum miskin mengalami perubahan. Namun, perlu diselaraskan dengan sebuah tindakan yang nyata. Perubahan mestinya diusahakan, sebab upaya mengubah paradigma berpikir yang keliru dan telah di bangun turun-temurun atau terinternalisasi dalam diri seseorang membutuhkan waktu yang cukup panjang. Namun, hal ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan berbagai media sebagai upaya untuk merangsang cara berpikir seseorang dalam mengusahakan kehidupan yang layak. Artinya, kehidupan yang layak adalah kehidupan yang tidak berkekurangan maupun tidak berkelebihan, melainkan berkecukupan atau adanya keseimbangan hidup.
Ibadah yang sejati tidak hanya dihubungkan dengan upacara kebaktian seseorang, tetapi dalam bentuk mempersembahkan seluruh kehidupan kepada Allah sebagai persembahan yang hidup dan berkenan kepada Allah. Diakonia terhadap orang miskin merupakan ibadah kepada Allah. Nabi Amos, Yesaya, dan para nabi lain mengingatkan bahwa ibadah yang benar adalah melepaskan belenggu tali kemiskinan. Dalam Yesaya 58:6 ditegaskan:
“Bukan! Berpuasa yang Kukehendaki, ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk”.[75]
Pelayanan yang dilakukan terhadap orang miskin adalah pelayanan yang membebaskan bukan menciptakan ketergantungan. Pelayanan untuk membebaskan disebut sebagai diakonia transformatif. Diakonia ini bukan sekedar memberikan uang tetapi pemberdayaan orang miskin. Artinya, pelayanan ini sebagai bentuk menyadarkan orang terhadap situasi yang dialami sehingga orang dimampukan untuk kuat berjalan sendiri. Pelayanan diakonia transformatif ditunjukkan oleh sikap Petrus dan Yohanes terhadap orang lumpuh di depan pintu Gebang Indah Bait Allah (Kis.3). Bilamana Petrus dan Yohanes tidak melestarikan cara hidup memberi sedekah kepada orang lumpuh melainkan menyadarkan dan membangkitkan si lumpuh dari kelumpuhannya. Bagi si lumpuh terjadi manusia baru dan dunia baru.[76]
Selain itu pula, dalam memahami diakonia transformatif dapat dilihat pada cara Yesus memilih kedua belas murid. Kedua belas murid dipilih dari kalangan yang berbeda-beda dan merupakan orang-orang yang termajinal (dipandang sebagai orang-orang berdosa) pada zaman Yesus. Bilamana kelompok tersebut berasal dari petani, nelayan, pedagang biasa, pemungut cukai dan tokoh politik. Tindakan Yesus dalam mengorganisir kelompok tersebut adalah untuk mencapai keseimbangan terhadap struktur sosial yang tidak adil. Langkah yang dilakukan Yesus adalah memahami karakter dan keunikan dari masing-masing murid. Yesus tidak menciptakan ketergantungan melainkan dibentuknya kelompok kerja yang tidak mengandalkan kekuatan individu (bekerja  sama). Pada bagian ini, Yesus tidak memposisikan diri sebagai pemimpin melainkan menjadi pendamping dan motivator bagi murid-murid-Nya.
Diakonia transformatif dipahami sebagai suatu bentuk pelayanan yang dapat mengorganisir rakyat maupun melayani orang miskin dan termarjinal. Fokus diakonia ini, yaitu;
1)     Rakyat sebagai subjek, bukan objek,
2)     Tidak karitatif tetapi preventif,
3)     Tidak di dorong oleh belas kasihan tetapi keadilan,
4)     Mendorong partisipasi rakyat,
5)     Memakai alat analisis sosial dalam memahami sebab-sebab kemiskinan,
6)     Melakukan penyadaran terhadap rakyat,
7)     Mengorganisasi rakyat.[77]
Pada diakonia ini tidak hanya melihat kaum miskin secara individu melainkan juga menyentuh struktur masyarakat yang menciptakan ketidakadilan. Namun, bukanlah berarti diakonia transformatif lebih ideal dari diakonia karitatif dan reformatif, melainkan ketiganya memiliki  hubungan timbal-balik. Diakonia karitatif dan reformatif dapat dijadikan sebagai pintu masuk diakonia transformatif. Hal ini dapat dilakukan, sangat tergantung terhadap situasi kemiskinan yang dihadapi oleh kaum miskin. Artinya, dalam memberikan bantuan terhadap kaum miskin sangat penting untuk memperhatikan faktor penyebab terjadinya ketidakberdayaan seseorang. 
Kaum miskin yang berada di Jemaat Hative Besar juga membutuhkan hal sama, seperti yang dilakukan oleh Petrus dan Yohanes maupun yang dilakukan oleh Yesus dengan mengorganisir kelompok inti. Kaum miskin bukanlah orang yang tidak memiliki sesuatu untuk dilakukan demi memperoleh kehidupan yang layak. Bukan juga orang yang selalu membutuhkan bantuan-bantuan materi dan mengharapkan belas kasihan dari orang lain. Namun, dalam keadaan yang  serba sulit kaum miskin masih memiliki kekuatan untuk dapat mempertahankan hidup.
Cara yang dilakukan adalah dengan mengusahakan atau melakukan berbagai pekerjaan. Hanya saja dalam upaya mempertahankan hidup, kaum miskin terjebak dalam paradigma berpikir yang keliru (hidup atau bekerja cukup untuk hari ini) maupun upaya tersebut tidak ditopang oleh sarana prasarana yang memadai, sehingga menyebabkan ketidakberdayaan atau kemiskinan.
Pelayanan terhadap kaum miskin tidak hanya terbatas secara fisik, kecerdasan otak, ketrampilan maupun aspek ekonomi dan teknologi tetapi haruslah bersifat menyeluruh. Dalam hal ini meliputi ketanguhan iman, moral, akhlak, etika dan kepribadian dalam menunjang nilai-nilai kemanusiaan. Inti dari pelayanan yang memberdayakan adalah memperhatikan martabat manusia. Dengan kata lain, dalam meningkatkan harkat dan martabat memiliki ciri sebagai manusia yang telah dibangkitkan kepercayaan dirinya (dimanusiakan). Nilai dari sebuah pelayanan menstinya  berawal dan berakhir pada pribadi manusia yang diciptakan sesuai dengan citra Allah.[78]


BAB IV
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Berdasarkan uraian keseluruhan bab yang telah terlewati, maka penulis dapat memberikan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
·       Kemiskinan yang alami oleh sebagian anggota Jemaat GPM Hative Besar di pengaruhi oleh dua hal yang saling berkaitan, baik dalam diri kaum miskin sendiri maupun dari luar. Kondisi ini dialami sebagai bentuk dari perilaku hidup yang konsumif. Cara hidup seperti ini bukan berarti tidak baik melainkan perlu ada peningkatan hidup. Artinya, pekerjaan yang dilakukan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan tetapi juga dapat dimanfaatkan untuk menjadi modal usaha. Begitu pula dengan tingkat pendidikan yang rendah yang juga sangat mempengaruhi pola pikir seseorang dalam melakukan aktivitas (upaya untuk peningkatan kualitas hidup). Peningkatan kualitas hidup tidak hanya dapat dilakukan oleh salah satu pihak saja atau kaum miskin sendiri tetapi juga membutuhkan kerja sama dengan pihak yang lain terutama gereja.
·       Jumlah angka kemiskinan berdasarkan kriteria yang dipakai sangatlah kecil. Bila dibandingkan dengan jumlah anggota jemaat secara keseluruhan. Namun, dengan jumlah yang demikian perlu ada penanganan lebih serius. Sebab apabila dibiarkan, jumlah tersebut sewaktu-waktu akan meningkat.
·       Pelayanan yang dilakukan oleh gereja tidak dapat menciptakan pembebasan bagi kaum miskin untuk keluar dari kemiskinan yang dialami atau tidak menyentuh akar-akar penyebab kemiskinan. Namun, menciptakan ketergantungan bahkan pelayanan yang dilakukan hanya melihat kaum miskin sebagai objek belas kasihan tanpa menjadikan kaum miskin sebagai subjek yang mengusahakan perubahan bagi dirinya sendiri. Dengan kata lain, dalam mengusahakan perubahan kaum miskin mestinya diarahkan untuk dapat menolong dirinya sendiri. Sehingga untuk mencapai perubahan itulah dibutuhkan adanya motivator.
·       Setiap kaum miskin memiliki potensi masing-masing yang belum diketahui atau belum diorganisir, baik secara individu maupun kelompok.
·       Untuk mencapai perubahan bukan hanya dengan kerja keras dan memiliki keilmuan yang cukup. Namun, dibutuhkan juga motivasi dan kesadaran maupun kreativitas dalam mengupayakan kehidupan yang layak. Itu berarti, perubahan haruslah dilakukan secara menyeluruh.


B.    SARAN
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka penulis menyarankan beberapa hal antara lain:
·       Dalam upaya membebaskan kaum miskin dari faktor-faktor penyebab kemiskinan, ada dua pendekatan yang perlu dilakukan oleh gereja, yaitu
1.     Pendekatan individu
Pada bagian ini, gereja perlu melihat kekuatan atau potensi yang ada pada masing-masing individu, untuk saling melengkapi. Kekuatan-kekuatan tersebut, antara lain; usia, pekerjaan maupun pandangan hidup. Untuk mengetahui pandangan hidup dapat dilakukan komunikasi dua arah (bertukar pikiran). Ketika hal ini telah dilakukan, maka langkah selanjutnya adalah memetakan usia dari setiap orang. Kemudian dihubungkan dengan pekerjaan yang dilakukan. Pada tahap ini, setiap individu  dilatih untuk memanfaatkan pekerjaan yang dilakukan sebagai sumber permodalan (membuka usaha). Dengan kata lain, modal usaha dapat dilakukan atau diperoleh dari masing-masing individu tanpa gereja yang harus memberikan modal.


2.     Pendekatan kelompok struktur
Pada pendekatan ini tentu bersumber dari diakonia transformatif yang selalu menekankan interaksi dua arah atau partisipasi bersama. Itu berarti, gereja perlu membangun mitra kerja dengan pemerintah. Kedua lembaga tersebut berfungsi sebagai pendamping atau pendorong bagi kaum miskin. Selain itu pula, perlu dibangun misi bersama bahwa yang dilakukan adalah demi meningkatkan martabat manusia. Hal ini dapat dilakukan dengan memperhatikan sarana pra sarana yang menunjang kebutuhan manusia maupun melihat aspek pendidikan yang ditempuh oleh masing-masing orang. Upaya mengorganisir kaum miskin di Jemaat GPM Hative Besar, berkaitan dengan beberapa aspek, seperti;
1.     Kondisi jalan yang belum merata
2.      Kebutuhan air bersih (sanitasi lingkungan)
3.      Akses terhadap pasar (harga pasar)
4.      Pemberian upah (orang yang bekerja sebagai nelayan maupun tukang sapu jalan)


















DAFTAR PUSTAKA
Bakhit.I, dkk, Menggempur akar-akar kemiskinan, Jakarta: Yakoma-PGI, 2001
Banawiratma.J.B dan Muller.J, Bertelogi Sosial Lintas Ilmu, Yogyakarta: Kanisius, 1993
Blomberg.C.L, Tidak Miskin Tetapi Juga Tidak Kaya, Jakarta: BPK GunungMulia, 2011
Brownlee.M, Tugas manusia dalam dunia milik Tuhan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004
Bosch.D.J, Transformasi Misi Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005
De Jonge.Ch, Menuju Keesaan Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010
De Santa Ana.J, Ed. Towards a Church of the Poor. Ithaca: Maryknoll: Orbis Books, 1957
------------------------, Good News To The Poor, ----------------
Elwood.D.J, Teologi Kristen Asia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006
Hendriks, I.W.J dan Talakua.R.J, Materi kuliah; Teologi Kontekstual Alkitabiah 2
Kirchberger.G dan Prior.J.M, ed. Cara bergereja secara baru di Asia, Ende: Nusa Indah, 2001
Nazir.M, Metode Penelitian, Bogor: Ghalia Indonesia, 2005
Noordegraaf.A, Orientasi Diakonia Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004
Renstra Jemaat GPM Hative Besar, tahun 2012-2015
Singgih.E.G, Reformasi dan Transformasi Pelayan Gereja, Yogyakarta: Kanisius, 1997
Sairin.W, Pengembangan sumber daya manusia menyongsong abad 21; menyosong millennium ketiga, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000
Sukamto,Kemiskinan = Kutuk, Yogyakarta: Andi, 2013
Usman.H dan Akbar.P.S,Metodologi Penelitian Sosial, Jakarta: Bumi Aksara,2000
Widyatmadja.J.P, Yesusdan Wong Cilik, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010
Yewangoe.A.A, Theologi Crusis di Asia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009







[1] Bakhit.I, dkk, Menggempur akar-akar kemiskinan, (Jakarta: Yakoma-PGI, 2001), hlm.2
[2] Renstra jemaat
[3] Ibid
[4] Ibid
[5] Malcolm Brownlee, Tugas manusia dalam dunia milik Tuhan (Jakarta:2004), hlm.80
[6]I.W.J.Hendriks dan R.J.Talakua, Materi kuliah; Teologi Kontekstual Alkitabiah 2, disampaikan Tanggal 10 Oktober 2011
[7] J.B.Banawiratma dan J.Muller, Berteologi sosial lintas ilmu, (Yogyakarta:1993), Hlm.126
[8] Renstra jemaat, Op.Cit
[9] Weinata Sairin, Pengembangan sumber daya manusia menyongsong abad 21; menyosong milenium ketiga, (Jakarta: 2000), Hlm. 57
[10] .W.J.Hendriks dan R.J.Talakua, Op.Cit
[11] J.B.Banawiratma dan J.Muller, Op.Cit, Hlm.252
[12] Bakhit.I, dkk, Op.Cit. Hlm.6
[13] I.W.J.Hendriks dan R.J.Talakua, Op.Cit
[14] Sukamto, Kemiskinan = Kutuk, (Yogyakarta : 2013), Hlm.69
[15] Malcolm Brownlee, Op.Cit, Hlm.81
[16] Julio De Santa Ana,ed.Good news to the poor. Ithaca: Maryknoll, 1957, hlm.36
[17] Christiaan De Jonge, Menuju Keesaan Gereja (Jakarta:2010), hlm.155
[18] David.J.Bosch, op.cit. hlm.668
[19] A.A.Yewangoe, Theologi Crusis di Asia (Jakarta, 2009), hlm.292-293
[20] Emanuel.G.Singgih,Reformasi dan Tranformasi Misi Gereja (Yogyakarta, 1997), hlm.15
[21] Moh.Nazir, Metode Penelitian (Bogor:2005), hlm.54
[22] Husaini Usman dan Purnomo.S.Akbar, Metodologi Penelitian Sosial (Jakarta:2000), hlm.86
[23] Renstra Jemaat GPM Hative Besar
[24] Ibid
[25] Ibid
[26] Hasil wawacara dengan bapak Yosep Siwasiwang,  tanggal 26 November 2013, ibu Doli Helaha, tanggal 4 Desember 2013
[27] Hasil wawancara dengan oma Paul Markus, oma Cory Lelapari, ibu Au Nunumete, bapak Henderiko Uspessy, Oma Fin Mahubessy, tanggal 27 November 2013
[28] Renstra jemaat, Op.Cit
[29] Hasil wawancara denga ibu Ma Rihentus, tanggal 29 November 2013
[30] Hasil keputusan Sidang Jemaat tahun 2013
[31] Hasil wawancara dengan ibu Be Lelapary (majelis / guru SD), tanggal 28 November 2013
[32] Daftar raskin tahun 2012, dipakainya daftar tersebut karena menurut salah seorang pegawai desa, perubahan nama penerima raskin tidak jauh berbeda dengan tahun 2013
[33] Ibid
[34] Weinata Sairin, Op.Cit, Hlm. 60
[35] Pada tabel kondisi rumah berjumlah 30 orang karena perhitungannya berdasarkan kepala keluarga pada masing-masing rumah. Selain itu pula, angka 18 untuk orang yang memiliki rumah semi permanen di dalamnya terdapat 6 keluarga yang merupakan representasi dari perangkat pelayan.
[36] Wawancara dengan ibu Min Rihentus (majelis), tanggal 9 Febuari 2014. Keluarga tersebut telah menetap di Jemaat Hative Besar selama 15 tahun. Namun, sayangnya rumah yang ditempati bukanlah rumah milik pribadi melainkan rumah tersebut adalah milik keluarga Buton yang mengunsi akibat kerusuhan. Sehingga rumah tersebut diserahkan kepada keluarga ibu Min untuk menempatinya. Akan tetapi, tanah yang ditempati telah dijual oleh pemilik sebelumnya kepada pengusaha (cina). Karena itu, keluarga ini akan dipindahkan. Namun, belum ada kepastian untuk lokasi pemindahan. Adapula yang telah menetap selama 24 tahun maupun 30 tahun, juga mengalami nasib yang sama. Diakui bahwa, tanah tersebut belum bersertifikat karena orang yang menjual telah meninggal.
[37] I.Bakhit, dkk, Op.Cit, Hlm. 47
[38] Hasil wawancara dengan bapak Oni Hendriks (guru SD, majelis), tanggal 2 Desember 2013
[39] Hasil wawancara dengan ibu Min Uspessy (guru SD, majelis), tanggal 28 November 2013
[40] Hasil wawancara dengan ibu Nona Tuasun (majelis), tanggal 9 February 2014
[41] Hasil wawancara dengan bapak Yosep Siwasiwang, Op.Cit
[42] Hasil wawancara dengan bapak Odi Talahaturuson (tuagama), tanggal 3 Desember 2013
[43] Laporan umum pelayanan tahun 2014
[44] Hasil wawancara dengan bapak Deki Garmanase, tanggal 27 November 2013,  ibu Yani sigit, tanggal 28 November 2013
[45] Hasil wawancara dengan ibu Sin Helaha, ibu Ma Rihentus, Op.Cit, ibu Dessy Lodrikus, ibu Welly Lodrikus, tanggal 3 Desember 2013, oma Fin Mahubessy,Op.Cit. Dalam proses penjualan ada yang menjualnya sendiri tetapi ada pula yang menitipkan kepada tetangga. Sebagai imbalannya diberikan uang sebagai penghargaan (ongkos lelah). Untuk menjual olat ada yang mengumpulkannya hingga tiga hari stelah itu baru dijual. Kemudian  untuk waktu berjualan pada jam 4 pagi serta ada yang memilih tempat berjualan di pasar Passo bahkan ada yang di Mardika.
[46] Hasil wawancara dengan ibu Uli Sariwatin, ibu Emi Uspessy, ibu Ete Uspessy,  tanggal 26 November 2013
[47] Hasil wawancara dengan  ibu Cey Manusama, tanggal 27 November 2013, ibu Ida Nunumete, ibu Sri Nunumete, tanggal 3 Desember 2013
[48] Hasil wawancara dengan   ibu Doly Helaha, Op.Cit
[49] Renstra jemaat, Op.Cit
[50] Ibid
[51] Hasil Keputusan Sidang Jemaat, Op.Cit
[52] Ibid
[53] Hasil keputusan sidang jemaat tahun 2013
[54] Ibid
[55] Evaluasi hasil keputusan sidang jemaat tahun 2012 dan 2013. Di dalam hasil keputusan sidang, anggaran pembinaaan dan pengembangan umat (pelayanan Pemuda, Perempuan dan Laki-laki) melainkan yang dianggarkan hanyalah pelayanan ibadah-ibadah.
[56] Laporan umum pelayanan tahun 2014, Op.Cit
[57] Renstra Jemaat, Op.Cit
[58] Hasil wawancara dengan ibu Nona Tuasun (majelis), Op.Cit
[59] Hasil wawancara dengan Pdt.H Liliefna (Ketua Majelis Jemaat), tanggal 18 Maret 2014
[60] J.P.Widyatmadja, Yesus dan Wong Cilik, (Jakarta:2010), Hlm. 44
[61] A.A.Yewangoe, Op.Cit, Hlm.293
[62] Craig.L.Blomberg, Tidak Miskin Tetapi Juga Tidak Kaya (Jakarta:2011), hlm.131
[63] David.J.Bosch, Op.Cit,  Hlm.154
[64]J.B.Banawiratma dan J.Muller,Op.Cit, hlm.132
[65]Julio De Santa Ana, Ed.Towards a Church of the Poor. Ithaca: Maryknoll, 1957, hlm.125
[66] Ibid,  hlm.138
[67] Aloysius Pieris,  Berteologi dalam konteks Asia, (Yoyakarta: 1996), Hlm.53
[68] Douglas J.Elwood, Op.Cit, Hlm.292
[69] Dauglas J.Elwood, Teologi Kristen Asia, (Jakarta: 2006), Hlm.91
[70] A.A.Yewangoe,  Op.Cit, Hlm. 266
[71] Josef.P.Widyatdja, Op.Cit, Hlm.35
[72]Ibid, Hlm.43
[73] A.Noordegraaf, Orientasi Diakonia Gereja, (Jakarta:2004), Hlm.206
[74] Ibid, Hlm. 145
[75] Josef.P.Widyatdja, Op.Cit, Hlm.192
[76] Ibid, Hlm. 198
[77] Ibid, Hlm. 45
[78] Georg Kirchberger dan John Mansford Prior, ed. Hidup Mengereja secara Baru di Asia, (Ende: 2001), Hlm.71

Komentar

Postingan Populer